Pagi itu sy rebahan di balai-balai. Sembari menunggu ibunya anak-anak menyiapkan sarapan, sy membaca pesan-pesan yang masuk di ponsel.
Tiba-tiba sy terkantuk, snap, dan ponsel pun lepas dari genggaman. Prak! Jatuh di lantai. Antara sadar dan tidak, sy biarkan ponsel itu, dan lanjut memejamkan mata.
Tak berapa lama, sy dibangunkan ibunya anak-anak.
“Mas, si mbak minta 60ribu buat beli novel disuruh gurunya,” katanya.
Mata masih setengah terpejam, bangun. Seketika sy ingat di meja belajarnya bertumpuk puluhan buku novel dan buku cerita.
“Kemarin ujian bahasa Indonesia nilainya rendah, gurunya memberi tugas membeli novel yang sama sekali baru dan belum pernah dibaca,” urainya.
Kok bisa?
Bukankah ia sering membaca novel?
Puluhan, bahkan lebih seratusan sudah dibacanya? Bahkan tugas-tugas sekolahnya menunjukkan ia mampu membuat cerita sendiri?
Lalu, mana mungkin nilai bahasanya rendah?
Seketika sy mencoba mengingat kembali dan menyadari betapa pelajaran Bahasa Indonesia itu memang sulit sekali. Sy pernah membaca kesalahan bahasa pada artikel yang ditulis orang yang berpendidikan tinggi.
Sy juga pernah membaca tulisan orang yang gemar membaca, menulis, bahkan puluhan bukunya diterbitkan penerbit, tapi masih sering memperbarui status yang mengandung banyak kesalahan bahasa pada jejaring sosialnya.
Lho. Kok tahu salah sih? Apakah itu berarti sy lebih ahli dan mampu menilai seseorang berbahasa Indonesia? Emm… bagaimana ya. Kan ada skalanya. Sejauh mana, paling tidak seberapa kadar penguasaan berbahasa Indonesia yang kita ya kan. Jika Anda membaca tulisan sy ini pun saya yakin banyak menemukan kesalahan menulis. Iya, bukan?
Sy kira hal ini tergantung siapa yang menilai. Tergantung sudut pandang, dari sudut pandang mana menilai kita sesuai kadar penguasaannya. Oleh karena itu, yang terjadi adalah, kemungkinan jika menilai benar, ya berarti benar menurut pemahaman si penilai, meskipun sebenarnya, mungkin juga, secara teori salah. Tidak konsisten. Double Standard.
Itulah, mengapa Bahasa Indonesia itu menjadi serasa sulit dipelajari. Kesepakatan dalam standar berbahasa seringkali diabaikan. Kadang menjadi subyektif. Dinilai dari dan kepada siapa. Atau, hanya kesalahan ketik satu kata saja, maka itu berarti salah semua. Mengapa? Karena tetap saja dianggap kurang teliti! Dan itu menyebabkan nilai kita jarang mendapat sempurna, 100 atau A, untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Nah, sulit bukan?
Tetapi, dalam berkomunikasi, yang penting komunikan sama-sama mengerti. Persoalannya hanya bagaimana menyusun kosa-kata yang tepat untuk menggambarkan maksud komunikan agar saling memahami. Apalagi dengan Bahasa Indonesia, bahasa ibu. Mudah sekali. Semua orang Indonesia seharusnya tentu bisa.
Mirip seperti bahasa pemrograman. Itu juga keahlian menyusun kosa kata bahasa pemrograman. Ada kata atau baris kalimat yang mengalami perulangan sekali, dua kali hingga beberapa kali. Ada yang rekursif hingga puluhan kali. Macam-macam. Subyek-predikat-obyek pada sebuah kalimat tunggal, menjadi dasar semantik yang diterapkan dalam pemrograman.
Ternyata, program juga sekumpulan kata dan kalimat. Hanya permainan kata-kata yang disusun sedemikian rupa, hingga dikompilasi menjadi sebuah program. Coba saja. Hanya kesalahan ketik saja, yang seharusnya titik koma diganti titik dua, maka program tidak bisa dijalankan atau terjadi galat. Sederhana bukan?
Lalu, apa masalahnya? Masalahnya ituuu …
“Mas, cepet dia mau berangkat sekolah,” senggol ibunya anak-anak, yang menyadarkan sy mikir terlalu lama.
“Angsulnya balikin,” kataku sambil menyerahkan selembar uang kertas 100 ribu.
“Nggak, angsulnya buat aku…” katanya sambil ngeloyor… hehe… 😀
Semoga Allah paring manfaat barokah. Aamiin.