Foto saya ketika mengajar. Foto yang asli diperbaiki oleh ChatGPT sehingga tampil lebih tajam dan profesional. Dok. pribadi
Pagi ini, Jumat (31/10/2025), jadwal saya ‘nongkrong’ di lab, ngoding bareng mahasiswa. Momen favorit saya: live coding, menyelesaikan kasus sederhana membuat aplikasi posting artikel blog dengan PHP.
Seperti biasa, saya awali menggambar antarmuka sederhana, membuat algoritma, lalu menulis kode baris per baris. Menjelaskan kenapa variabel ini dinamai begitu, dan kenapa struktur logikanya begini.
Harapannya, para pemula ini bisa menangkap “jiwa” dari problem-solving dan logika pemrograman.
Saking asyiknya saya fokus ngoding sampai selesai, tak terasa hingga eksekusi program berjalan lancar. Saya kemudian cek satu persatu garapan mereka, keliling melihat layar komputer masing-masing.
Dan… makjreng!
Ketemu seorang mahasiswa yang dengan santainya menunjukkan layar komputer sambil tersenyum.
Isinya? Hasil kode ChatGPT. Terus terang, saya langsung hilang mood campur rasa malas. Galau, kalau UTS besok, kayak apa sudah?
Kenapa Hasil Kode AI di Kelas Pemula Itu Berbahaya?
Mungkin dia berpikir, “Kan hasilnya benar! Lagian, kerjaan jadi lebih cepat!”
Tunggu. Dalam konteks belajar, yang paling penting bukan hasil akhirnya, tapi proses untuk mencapai hasil itu.
Setidaknya, berikut ini alasannya:
1. Kematian Logika dan Skill Problem-Solving
Saat live coding, sebenarnya mahasiswa diajak menyusun logika berpikir. Bagaimana memecahkan masalah dengan algoritma, menentukan alur data dari input, validasi, hingga data tersimpan di database.
Jika mahasiswa hanya memasukkan prompt dan langsung mendapatkan kode, mereka melewatkan proses “perjuangan” itu. Logika berpikir tidak terbentuk.
Ibaratnya, mereka langsung makan kue yang sudah jadi, tanpa tahu cara mencampur telur, tepung, mengaduk, dan mengatur suhu oven hingga kue memiliki rasa yang enak.
2. Tumpulnya Skill Debugging
Programmer sejati 80% waktunya habis cuman untuk debugging, mencari dan memperbaiki error, bukan ngoding dari awal.
Hasil kode ChatGPT mungkin berjalan mulus di awal. Tapi, begitu ada sedikit perubahan kasus atau error tak terduga, mahasiswa yang terbiasa instan akan langsung bingung.
Mereka tidak punya pengalaman merasakan “sakitnya” menemukan syntax error atau logic error sendiri sehingga tidak tahu dimana masalahnya.
3. Lahirnya Generasi Copy-Paste
Di dunia kerja, perusahaan tidak mencari orang yang jago copas kode dari internet atau AI, tetapi justru mencari Pemecah Masalah (Problem Solver).
Jika mahasiswa terbiasa mengandalkan AI untuk setiap baris kode, yang dilatih hanyalah kemampuan menyalin dan menempel (copy-paste), bukan kemampuan berpikir kritis dan berinovasi. Kebiasaan copas adalah jalan pintas menumpulkan skill.
4. Isu Etika dan Reputasi Profesional
Mengklaim kode yang sepenuhnya dibuat oleh AI sebagai hasil kerja sendiri termasuk ke dalam ranah plagiarisme digital.
Meskipun konteksnya tugas kuliah, kebiasaan ini akan terbawa hingga dunia profesional. Reputasi programmer yang hanya mengandalkan kode copas menjadi taruhan.
AI cuma Asisten, Bukan Juru Kunci
Gen AI seperti ChatGPT, adalah tools yang luar biasa jika digunakan dengan etika dan porsi yang tepat.
Bagaimana cara cerdas menggunakannya saat belajar?
- Sebagai Konsultan: Tulis dulu kode Anda sendiri. Jika buntu, minta AI untuk menganalisis dan mengoreksi kode yang sudah dibuat.
- Sebagai Penjelas Konsep: Tanyakan, jelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana, misalnya, apa itu Closure dalam JavaScript dan beri contoh kode.
- Sebagai Pair Programmer (Teman Diskusi): Minta AI untuk memberi saran, misalnya, bagaimana cara refactor (memperbaiki) kode agar lebih efisien dan clean.
Jangan jadikan AI sebagai tukang ketik yang bekerja dari A hingga Z. Tetapi, jadikan teman berdiskusi yang membantu kita bertumbuh.
Tujuan kita belajar pemrograman bukan sekadar bisa membuat program, tetapi membangun logika dan mentalitas sebagai programmer tangguh.