
Ibnu Khaldun. Grok AI.
Di tengah hiruk pikuk demonstrasi dan gejolak sosial yang mewarnai negeri dan negara orang lain, kita dihadapkan pada sebuah musuh tak kasat mata namun sangat berbahaya: tsunami informasi yang dipenuhi kabar simpang siur, isu yang tak terverifikasi, hingga hoaks yang secara sengaja dirancang untuk menyesatkan.
Fenomena ini bukanlah isapan jempol belaka. Kita telah menyaksikan bagaimana beberapa anggota dewan legislatif mengaku menjadi korban fitnah keji. Akibatnya, rumah mereka dijarah oleh orang tak dikenal, seolah-olah masyarakat begitu mudah tersulut amarahnya untuk melakukan tindakan anarkis.
Bahkan, kekecewaan akibat disinformasi ini merembet hingga ke ranah personal. Masih terngiang keluhan seorang mantan menteri keuangan di media sosial tentang lukisan bunganya yang raib, sebuah metafora pedih tentang hilangnya rasa aman, kepastian hukum, dan nilai-nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab di tengah badai kebohongan.
Namun, siapa sangka, pergulatan melawan berita bohong ini sejatinya telah dibahas secara mendalam ratusan tahun silam oleh seorang filsuf dan sejarawan Muslim terkemuka, Ibnu Khaldun (1332–1406).
Dalam karya monumentalnya, Al-Muqaddimah, yang bahkan menjadi salah satu buku bacaan favorit pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, Ibnu Khaldun mendedikasikan satu bab khusus untuk pentingnya kritik terhadap berita (naqd al-akhbar).
Ibnu Khaldun, yang diakui sebagai Bapak Sosiologi, Historiografi, dan Ekonomi, mengingatkan bahwa tidak semua kabar yang sampai ke telinga kita layak dipercaya mentah-mentah.
Menurutnya, banyak berita telah dibumbui oleh fanatisme buta, kepentingan politik, atau sekadar emosi sesaat penyebarnya. Ia menegaskan bahwa kebohongan adalah sesuatu yang alami dan tak terhindarkan dalam catatan sejarah dan peradaban.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah metodologi yang kuat untuk menyaringnya. Gagasannya yang tertuang lebih dari enam abad lalu kini terasa semakin relevan di era digital.
Berikut adalah “filter hoaks” ala Ibnu Khaldun yang dapat menjadi panduan kita dalam mengarungi lautan informasi kontemporer:
1. Gunakan Akal Sehat dan Logika (Kritik Internal)
Ibnu Khaldun menekankan pentingnya menimbang sebuah berita dengan akal sehat. Jika sebuah informasi terasa janggal, tidak masuk akal, atau bertentangan dengan logika dasar, jangan langsung menelannya.
Ia pernah mencontohkan bagaimana sejarawan Al-Mas’udi meriwayatkan kisah Nabi Musa yang mampu mengumpulkan 600.000 tentara Israel di padang gurun. Ibnu Khaldun dengan kritis menganalisis bahwa secara logistik dan geografis, Mesir dan Suriah pada masa itu tidak mungkin menampung pasukan sebesar itu. Ini adalah contoh penerapan kritik internal, yakni berita diuji konsistensinya dari dalam.
2. Periksa Kesesuaian dengan Realitas Sosial (Kritik Eksternal)
Sebuah berita harus diuji sesuai dengan tabiat peradaban atau realitas sosial yang berlaku. Apakah informasi tersebut sesuai dengan kondisi, hukum alam, dan kebiasaan masyarakat pada saat itu?
Ibnu Khaldun mencontohkan kisah Alexander Agung yang konon menyelam ke dasar laut menggunakan peti kaca untuk menggambar monster laut. Menurutnya, ini mustahil.
Seorang raja tidak akan mempertaruhkan nyawanya untuk hal seperti itu, dan ketiadaannya di singgasana justru bisa memicu perebutan kekuasaan. Di era sekarang, ini berarti kita harus bertanya: “Apakah berita ini sesuai dengan konteks sosial, politik, dan budaya yang ada?”
3. Cek Kredibilitas dan Motif Pembawa Berita
Siapa yang pertama kali menyebarkan informasi? Apakah sumbernya dapat dipercaya? Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa seringkali pembawa berita memiliki motif tersembunyi, seperti keinginan untuk menyanjung penguasa atau mencari ketenaran.
Kepercayaan berlebihan pada satu sumber tunggal adalah salah satu pintu masuknya kebohongan. Di dunia maya, ini berarti kita harus waspada terhadap akun anonim atau portal berita yang tidak jelas rekam jejaknya.
4. Hindari Fanatisme dan Keberpihakan (‘Ashabiyyah)
Ibnu Khaldun mengidentifikasi fanatisme kelompok atau ‘ashabiyyah sebagai salah satu penyebab utama distorsi informasi.
Ketika jiwa seseorang sudah berpihak pada suatu opini atau kelompok, ia cenderung menerima informasi yang mendukung pandangannya tanpa investigasi kritis.
Sebaliknya, informasi dari pihak lawan akan langsung ditolak. Sikap partisan ini membuat pikiran tertutup dari kebenaran. Karena itu, penting untuk selalu membuka diri terhadap sudut pandang yang berbeda.
5. Kritis terhadap Angka dan Data yang Dilebih-lebihkan
Seperti kritiknya terhadap jumlah pasukan Nabi Musa, Ibnu Khaldun mengajarkan untuk tidak mudah terpesona oleh klaim angka yang fantastis.
Berita yang melebih-lebihkan jumlah peserta demonstrasi, korban, atau data statistik lainnya seringkali bertujuan untuk memprovokasi emosi dan menciptakan kesan dramatis, bukan untuk menyajikan fakta.
Jika setiap individu dalam masyarakat bersedia menerapkan kelima filter dari Ibnu Khaldun ini, niscaya kita tidak akan mudah terprovokasi oleh berita bohong.
Demonstrasi dapat terus berjalan sebagai pilar demokrasi yang sehat, sebuah ekspresi kebebasan berpendapat, tanpa harus terjerumus ke dalam anarki destruktif.
Menjarah rumah orang lain, melakukan perundungan, apalagi jika pemicunya adalah hasutan hoaks, jelas merupakan tindakan yang mengingkari akal sehat dan nurani.
Mari kita belajar dari kearifan Ibnu Khaldun: gunakan akal, periksa fakta, dan jangan biarkan diri kita menjadi pion dalam permainan para penyebar kebohongan.
Di era banjir informasi saat ini, kemampuan untuk memfilter berita bukan lagi hanya tugas para jurnalis, melainkan telah menjadi tanggung jawab fundamental setiap individu.
Sebab, satu klik “share” yang dilakukan tanpa berpikir panjang berpotensi memicu kekacauan yang dampaknya bisa meluas tak terkendali.