Salah satu referensi sumber informasi di kompas.id: Jika Tak Berhasil Gaet ”Darah” Keluarga Jokowi, PSI Nyaris Dibubarkan. Foto: tangkapan layar
Analisis Strategi PSI dan Masa Depan Politik Figur di Indonesia
Mortgaging Idealisme. Ini adalah sebuah frasa metaforis yang kuat untuk menggambarkan sebuah fenomena dalam politik, organisasi, atau bahkan kehidupan pribadi. Istilah ini tidak akan Anda temukan di kamus formal, tetapi sangat efektif untuk menjelaskan sebuah konsep yang kompleks.
Secara harfiah, mortgage berarti menggadaikan. Anda menyerahkan aset berharga (seperti sertifikat rumah) kepada bank sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman uang yang Anda butuhkan saat ini. Anda berjanji akan membayar kembali pinjaman tersebut. Jika berhasil, Anda akan mendapatkan kembali aset berharga Anda. Jika gagal, Anda akan kehilangan aset itu selamanya.
Pengakuan yang Membuka Tabir
Dalam panggung politik yang kerap dipenuhi eufemisme dan retorika, pengakuan jujur dari seorang elite partai adalah momen langka yang patut dicermati.
Pernyataan Ketua Dewan Pembina PSI, Jeffrie Geovanie, dalam kongres partainya bukanlah sekadar keluh kesah, melainkan sebuah manifestasi terbuka dari strategi politik yang paling fundamental: kelangsungan hidup. Ucapannya bahwa PSI harus “dimakamkan” jika gagal mendapatkan “darah Jokowi” adalah sebuah diagnosis brutal terhadap kondisi internal partainya sekaligus sebuah pertaruhan besar yang mencerminkan paradoks dalam demokrasi Indonesia.
Lahir dengan DNA sebagai partai anak muda, meritokratis, dan berbasis ideologi progresif, PSI kini secara sadar melakukan sebuah manuver yang tampak kontradiktif dengan citra awalnya. Pengangkatan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum, yang didahului oleh ultimatum dari dewan pembina, bukanlah sekadar regenerasi kepemimpinan. Ini adalah sebuah studi kasus tentang pertarungan sengit antara idealisme institusional dan pragmatisme elektoral, sebuah fenomena yang akan menentukan tidak hanya nasib PSI, tetapi juga arah kematangan politik bangsa dalam dekade mendatang.
Kegagalan Institusionalisasi dan Antitesis Partai Ideal
Sebuah partai politik yang ideal, dalam kerangka teori demokrasi, adalah institusi yang kekuatannya bersumber dari dalam. Kekuatan itu berupa ideologi yang koheren, platform programatik yang solutif, dan sistem kaderisasi yang mampu melahirkan pemimpin secara organik. Partai adalah sebuah gagasan yang hidup, bukan sekadar kendaraan yang menunggu penumpang populer.
Dari perspektif ini, pernyataan Jeffrie Geovanie adalah sebuah pengakuan atas kegagalan institusionalisasi PSI. Ultimatum untuk “mendapatkan Kaesang” adalah penegasan bahwa ideologi, program, dan kader-kader yang telah berjuang selama bertahun-tahun dinilai tidak cukup kuat untuk mendulang suara.
Partai, dalam pandangan elitenya sendiri, telah sampai pada titik di mana eksistensinya tidak lagi bergantung pada nilai-nilai yang diperjuangkan, melainkan pada asosiasi dengan figur kekuasaan eksternal.
Ini adalah antitesis dari partai ideal. Alih-alih membangun loyalitas dari akar rumput melalui perjuangan gagasan, PSI memilih jalan pintas dengan “mengimpor” popularitas.
Mekanisme e-Voting yang diselenggarakan untuk memilih Kaesang, meskipun tampak demokratis, menjadi kehilangan substansinya ketika dibingkai oleh narasi “hidup atau mati” yang mendahuluinya. Proses tersebut lebih menyerupai sebuah aklamasi yang dirancang secara strategis ketimbang sebuah kontestasi gagasan yang murni.
Pragmatisme Elektoral
Namun, mengutuk strategi PSI sebagai kegagalan idealisme semata berarti mengabaikan realitas lanskap politik Indonesia. Dalam ekosistem di mana parliamentary threshold (ambang batas parlemen) menjadi hantu yang menakutkan bagi partai-partai baru dan menengah, pragmatisme seringkali menjadi satu-satunya bahasa yang dipahami.
Strategi “Kaesang Gambit” ini, dari sudut pandang pragmatisme elektoral, adalah langkah yang sangat rasional. Politik Indonesia secara historis dan kultural masih sangat figur-sentris. Pemilih, terutama di segmen massa, cenderung membangun ikatan personal dengan seorang tokoh ketimbang ikatan ideologis dengan sebuah partai. “Efek Jokowi” adalah modal politik paling berharga dalam satu dekade terakhir, dan PSI hanya berupaya menambangnya secara langsung.
Dengan merekrut Kaesang, PSI tidak hanya mendapatkan seorang ketua umum; mereka mendapatkan akses instan terhadap citra, jaringan, dan warisan elektoral dari figur presiden paling populer dalam sejarah modern Indonesia. Ini adalah cara paling efisien untuk menembus kebisingan politik dan menarik perhatian media serta pemilih. Dalam kalkulasi politik yang dingin, menukar idealisme institusional yang abstrak dengan potensi konkret kursi di Senayan adalah sebuah transaksi yang dianggap sepadan.
Pedang Bermata Dua dan Pertaruhan Masa Depan
Apakah strategi ini akan membuat PSI berkembang dan selaras dengan masyarakat Indonesia 10 tahun lagi? Jawabannya terletak pada sifat dari strategi ini sendiri: sebuah pedang bermata dua.
Di satu sisi, ini adalah pertaruhan yang bisa menghancurkan. Fondasi yang dibangun di atas popularitas seorang figur sangatlah rapuh. Relevansi politik dinasti tidaklah abadi; ia akan memudar seiring berjalannya waktu. Jika PSI gagal mentransformasikan “efek Kaesang” menjadi kekuatan institusional yang riil dalam 5 hingga 10 tahun ke depan, partai ini akan menghadapi krisis eksistensial yang jauh lebih besar ketika modal politik pinjamannya itu habis. Mereka berisiko kehilangan identitas awal tanpa berhasil membangun identitas baru yang kokoh, menjadikannya sekadar catatan kaki dalam sejarah politik Indonesia.
Di sisi lain, ini adalah kesempatan emas. Jika Kaesang, terlepas dari cara ia naik, mampu membuktikan diri sebagai pemimpin yang kompeten dan visioner, ia bisa menggunakan platform ini untuk melakukan apa yang gagal dilakukan para pendahulunya: membangun partai yang sesungguhnya. Dengan sumber daya dan perhatian yang kini mereka miliki, PSI memiliki kesempatan untuk merancang program yang berdampak, memperkuat struktur hingga ke daerah, dan memulai proses kaderisasi yang serius. Jika ini terjadi, maka langkah pragmatis hari ini dapat dilihat di masa depan sebagai sebuah “dosa asal” yang diperlukan untuk mencapai kebaikan yang lebih besar.
Cermin bagi Demokrasi Indonesia
Kisah PSI dan Kaesang lebih dari sekadar drama internal sebuah partai politik. Ia adalah cermin yang memantulkan wajah demokrasi Indonesia saat ini: sebuah arena yang terjebak antara cita-cita modernisasi politik berbasis institusi dan realitas kultur patronase berbasis figur.
PSI mungkin akan berhasil melenggang ke Senayan pada pemilu berikutnya. Namun, pertanyaan yang lebih besar bukanlah tentang kelangsungan hidup PSI, melainkan tentang kesehatan demokrasi kita.
Apakah kita sebagai masyarakat akan terus memberi insentif pada model politik jalan pintas ini? Ataukah dalam 10 tahun ke depan, pemilih akan semakin dewasa, menuntut substansi program dan rekam jejak institusional di atas sekadar popularitas turunan?
Pada akhirnya, PSI telah membuat pertaruhannya. Mereka telah me-mortgage idealisme pendiriannya untuk membeli tiket elektabilitas. Apakah investasi ini akan berbuah menjadi sebuah institusi politik yang matang atau hanya sebuah gelembung popularitas yang siap meletus, waktu yang akan menjawabnya.
Namun yang pasti, trajektori PSI akan menjadi salah satu barometer terpenting untuk mengukur kemajuan atau kemunduran demokrasi di Indonesia.
Referensi:
[1] Cerita Jeffrie PSI Minta Ada “Darah Jokowi” agar Partainya Tidak Mati
[2] Pendiri PSI Minta Grace Natalie Nangis-nangis Agar Jokowi Bergabung
[3] Pendiri: Kalau Tak Dapat ‘Darah’ Keluarga Pak Jokowi, Kita Tutup PSI
[4] Jika Tak Berhasil Gaet ”Darah” Keluarga Jokowi, PSI Nyaris Dibubarkan