
Pagi ini usai mandi saya lihat jam tangan sudah menunjuk pukul delapan lewat. Sambil buru-buru memungut barang-barang penting yang bercecer di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas, sebuah kartu undangan pernikahan yang ada di atas tumpukan buku, jatuh dan terserak di lantai.
“Oh, undangan pernikahan minggu yang lalu…” saya menggumam.
Sambil memungutnya di lantai, perhatian saya beralih ke sebuah buku di meja yang tadinya tertutup kartu undangan itu.
Buku yang kubeli beberapa pekan yang lalu, yang sampai detik ini sy menulis tulisan ini, masih belum tuntas saya baca. Buku ini saya beli setelah saya membaca beberapa halaman buku Mukadimah karangan Ibnu Khaldun yang fenomenal itu.
Ibnu Khaldun menulis bahwa untuk membedakan suatu berita yang benar dan yang batil, kita hendaknya mengamati kehidupan sosial manusia yang menjadi unsur peradaban, lalu mengidentifikasi keadaan-keadaan yang asli berasal darinya atau yang merupakan cabang darinya.
Untuk memahami apa yang ditulis Ibnu Khaldun di era informasi di jaman sekarang ini terasa semakin kompleks, seperti terkait antara satu ilmu dengan ilmu yang lain. Tulisan Ibnu Khaldun terasa singkat dan sederhana, namun memiliki kekuatan untuk dipelajari dan dipahami detilnya.
Sementara itu, akhir pekan lalu semarak beredar nobar film G30S/PKI. Di film itu diceritakan Kolonel Untung berhasil menguasai RRI dan menyebarkan berita menurut kepentingannya. Pak Harto mendengar siarannya di radio. Dengan gaya kalemnya, Pak Harto tampak berpikir keras seorang diri, kemudian memanggil dan memerintahkan Kolonel Sarwo Edhi Wibowo agar segera merebut RRI dan Telkom kembali.
“Tampaknya PKI ingin mengulang sejarah,” kata Pak Harto di film itu saat berdialog dengan Kolonel Sarwo Edhi.
Sy kemudian tertarik bagaimana Pak Harto, yang diperankan oleh Pak Amoroso Katamsi, berdialog dan memerintah. Rasanya, sekarang baru tahu bagaimana gaya Pak Harto, ekspresi mimiknya diperankan, seperti yang dijelaskan Pak Amoroso Katamsi di media online detik X. Guna urusan gesture ini, Pak Amoros mempelajarinya langsung selama satu bulan bersama Pak Harto.
“Kira-kira berapa lama,” tanya Pak Harto pada Kolonel Sarwo Edhi perihal merebut kembali RRI.
“Dua puluh lima menit,” jawabnya yakin dan mantap.
Sumber media lain mengatakan, Pak Sarwo Edhi akhirnya berhasil merebut RRI dalam waktu 20 menit.
Lalu, mengapa RRI dikuasai Kolonel Untung? Mengapa Pak Harto merebut kembali dan berhasil dengan mudah? Bagaimana kemudian pers di bawah kepemimpinan Pak Harto? Betulkah sejarah selalu berulang?
Buku Kebebasan Pers dan Etika Pers dalam Perpesktif Hukum Islam ini saya sarankan untuk dibaca dan dipelajari untuk membantu menjawab situasi politik tahun yang akan datang. Serbuan informasi yang membanjiri ruang-ruang private diramalkan makin besar. Besarnya serbuan informasi yang terus membanjir, disinyalir makin menyulitkan penggunanya memilah dan memilih mana yang benar dan mana yang batil. Seperti masa renaisance dulu, atau yang terbaru, yakni situasi politik AS masa pemilu yang akhirnya dimenangkan Presiden Trump.
Ibarat permainan bola, ada pemain, pelatih, wasit, dan penonton. Meski tak ikut menjadi pemain, paling tidak sebagai penonton perlu mengetahui siapa-siapa yang menjadi pemain, siapa pelatih, bagaimana strategi dan taktik yang dimainkan sehingga untuk menonton permainan pun menjadi semakin menarik, karena melibatkan emosi.
Harapannya, sebagai penonton tidak ikut larut dan emosi tak tertahankan sehingga meledak, kemudian ikut turun ke lapangan dan ditangkap petugas keamanan. Iya gak?