“Mohon, kalau kasih undangan rapat jangan lewat SMS atau Whatsapp, pakailah surat undangan dengan nama yang ditujukan lengkap,” kata seseorang suatu ketika.
Kalimat di atas bisa jadi banyak yang sudah mengungkapkannya dan orang mendengarnya. Walaupun mungkin orang mengatakannya dengan kalimat berbeda, tapi maksudnya sama, sama-sama menolak cara-cara instan manusia jaman now. Alasannya, dianggap kurang tepat dan kurang menghargai.
“Teknologi itu memudahkan, tapi jangan menggampangkan dong. Kan masih ada cara-cara yang lebih elegan, misalnya, kalau komunikasi gunakan kalimatnya yang lebih halus, lebih sopan, atau setidaknya ada etika, tata krama, rasa hormat antara pengirim dengan penerima,” alasan mereka yang lain.
Dua kalimat di atas tampaknya pernah diucapkan orang-orang dulu yang mengalami jaman susahnya tanpa teknologi informasi dan komunikasi, yang pernah merasakan susahnya berkirim undangan rapat, berupaya untuk kompromi dengan teknologi. Mereka tidak menolak kehadiran teknologi, namun mereka berharap penggunaannya tetap memerhatikan etika berkomunikasi.
Akhirnya muncul kalimat penerimaan seperti ini, “Jangan gunakan Whatsapp, gunakan saja SMS, lebih sopan, penting, tampak lebih mendesak daripada Whatsapp yang kadang aktif Internet-nya,” kata yang lain.
“Tidak apa-apa kalau kenal saya undang lewat Whatsapp, tapi kalau gak kenal sebaiknya gunakan kartu undangan,” ujar yang lain.
Entah mulai kapan penggunaan SMS dinilai lebih sopan daripada Whatsapp. Mungkin karena biayanya lebih mahal sehingga dianggap lebih sopan? Padahal dulu, di awal kehadiran SMS juga mengalami penolakan. Ia dianggap kurang sopan jika digunakan untuk mengundang atau memberi tahu seseorang.
“Kalau penting telepon dong, jangan SMS!” kata mereka. Padahal, mereka yang baru kenal SMS kala itu pun seolah lupa bahwa dulunya menelpon orang tua itu dianggap tidak sopan. “Jangan lewat telpon, datanglah berkunjung ke rumah…”
Kini, seiring mobilisasi yang makin meningkat, lambat laun penggunaan Whatsapp makin banyak diterima khalayak. Berawal dari keluarga, RT, ormas, pejabat, sampai kalangan menteri pun juga merasai enaknya Whatsapp.
Beberapa kolega malah menggunakan Facebook untuk berkomunikasi, “Tidak tahu nomor teleponnya…” katanya. “Lihat Facebook-nya aktif,” kata yang lain. Jika sudah begitu, penerima akan mudah memakluminya. Lambat laun, cara berkomunikasi seperti ini akan menjadi hal yang biasa di masa yang akan datang. Konon, yang membedakan hanyalah gaya.
Kira-kira sepuluh tahun yang lalu, SMS diprediksi akan digantikan dengan teknologi baru. Waktu itu belum terbayang nama teknologi yang ada seperti saat ini. Kini, tanda-tandanya mulai tampak. Senjakala SMS.
“Bisa minta nomor teleponnya, Pak,” kata mas-mas penjaga di Living Plaza.
“Ini ada Whatsapp-nya? Baik, kalau ada informasi baru nanti saya kabari lewat Whatsapp ya, Pak,” katanya.
Esoknya, sesuai janjinya ia mengabari lewat Whatsapp. “Infoin saja ke saya kalau mau ke sana, nanti saya yang nemenin,” balasnya. Sepertinya, ia sudah merasa mengenal saya, mudah akrab cepat sekali. Saya terkesan dengan caranya berkomunikasi.
Benar. Kehadiran teknologi sulit bisa dihindari dan ditolak. Teknologi kini menjadi sarana atau alat untuk membantu memenuhi hajat hidup orang banyak. Hanya saja, penggunaannya tergantung cara kita, diingatkan bahayanya jika disalahgunakan, diberitahu keuntungannya jika mampu memanfaatkannya.
Suka tak suka, mau tak mau, teknologi terus berkembang. Masyarakat pun kini mulai merasakan ketergantungan dengan teknologi, menjadi bagian dari budaya jaman now, yang terbiasa menyelesaikan cara-cara usang dan tradisional, ter-disrupsi dengan cara-cara modern dan menguntungkan.
Kredit gambar: Greg Rokisky, purereinvention.com