
Ketika antri membayar makan siang, pikiran saya menerawang, memikirkan rencana mempersiapkan bahan konsolidasi malam hari. Tiba-tiba seseorang dari belakang, sebelah kanan, menyenggol lengan kanan saya dengan sebuah buku kecil.
“Lima ribu…” terdengar suara perempuan. Saya menoleh melihat buku itu, seorang gadis, remaja, berjilbab biru, persis jilbab biru sekolah SMP si sulung. Ia bersepatu, seperti pulang sekolah.
“Tidak…” jawab saya datar dengan mengangkat telapak tangan kiri membuka lebar.
Ia mundur dan memalingkan wajahnya, persis reaksi si sulung murung jika saya tolak keinginannya. Saya jadi tersentuh penasaran dan memperhatikannya, kok mirip si sulung ya… Ia memakai tas dan menjajakan buku-buku kecil dengan tulisan Arab. Buku saku, mungkin berisi doa harian.
Ia kemudian berbalik, lalu menawarkan ke bapak-bapak di sebelah saya. Sama. Ia men-colek-kan buku itu ke lengan kiri bapak itu. Lalu ditolak dan mundur. Persis, seperti reaksinya pada saya.
Pikiran saya masih berkecamuk. Memikirkan urusan malam hari, antara persiapan, membayar makan siang, sampai sekelebat remaja perempuan ini.
“Ayam, kering tempe, dan minuman mineral ini,” ujarku pada simbok warung.
Selesai membayar, ternyata gadis perempuan ini masih di belakang saya. Ia menawarkan buku-bukunya pada bapak-bapak yang sedang makan siang.
“Dik, ambil makan siang…” kata bapak-bapak pada gadis ini.
“Sana… makan ambil piring… ya… itu nasinya,” kata simbok warung.
Saat itu saya baru sadar, kenapa saya tidak tanggap memperhatikannya dari tadi. Mana instuisiku? Saya hendak membeli bukunya, tapi saya jadi malu. Saya keluar warung sambil pikiran makin berkecamuk. Mungkin masuk warung tidak baca bismillah, pikirku.
Saya menduga, gadis ini seperti masih baru atau pendatang. Bisa jadi, ia tinggal di luar kota.
Saya hanya bisa melihat dan bersyukur, ada bapak-bapak yang tanggap melihat gadis ini dan mengajaknya makan siang. Gadis yang malu-malu, menjajakan buku saku yang semestinya untuk anak-anak sebayanya.
Bukankah kota ini ramah anak sehingga mendapat predikat kota layak huni?
Pikiran saya terus berkecamuk.
Siapa yang tega memaksanya melakukan itu?