Prof. Abdul Mu'ti pada Dies Natalis ke-60 Universitas Negeri Semarang (Unnes), Minggu (8/6/2025). Foto: Unnes YouTube
Oleh: Subur Anugerah
Sebuah pernyataan tajam datang dari Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Abdul Mu’ti, yang seolah menjadi alarm pengingat di tengah gegap gempita kita merayakan kecanggihan Artificial Intelligence (AI).
AI harus digunakan secara bijak, jika tidak, bukannya membuat manusia semakin cerdas, tetapi sebaliknya, malah semakin culas.
Hal ini diungkapkan pada Dies Natalis ke-60 Universitas Negeri Semarang (Unnes), Minggu (8/6/2025). Prof. Mu’ti mengatakan, hal itu berdasarkan Franklin Foer dalam bukunya berjudul World Without Mind.
Kata “culas”, sebuah kata yang menusuk, memaksa kita berhenti sejenak dari aktivitas scrolling tanpa henti dan bertanya: benarkah kita sedang mengarah ke sana?
Pernyataan Mendikdasmen ini bukanlah tanpa dasar. Beliau menunjuk dua gejala utama dari “keculasan digital” ini: viralisme dan narsisme.
Mari kita jujur pada diri sendiri. Berapa kali kita melihat konten sensasional, dangkal, bahkan hoaks, melesat menjadi viral, sementara diskusi mendalam dan karya berkualitas tenggelam tanpa jejak?
Inilah viralisme, sebuah penyakit zaman, bahwa validasi diukur dari jumlah likes, shares, dan views, bukan dari substansi kebenaran.
Fenomena “no viral, no justice” yang disorot oleh Pak Menteri adalah puncak gunung es dari masalah ini. Sebuah ironi yang menyedihkan. Pasalnya, untuk mendapatkan keadilan seolah harus memohon perhatian lewat algoritma, bukan lewat sistem yang seharusnya bekerja.
Media sosial, yang otaknya adalah AI, telah menjadi panggung raksasa bagi kita untuk memoles citra diri sehingga mendorong seseorang menjadi narsistik.
AI mempelajari apa yang kita sukai, seperti kehidupan yang sempurna, wajah tanpa cela, pencapaian tanpa henti, AI menemukan hal itu, lalu menyuguhkannya kembali dalam dosis yang tak terbatas.
Tanpa sadar, kita terperangkap dalam perlombaan narsistik, membangun “aku” versi digital yang sering kali jauh dari realitas, menciptakan kecemasan dan kerapuhan mental di baliknya.
Siapa Sebenarnya Dalangnya? AI atau Kita?
Sangat mudah bagi siapa saja untuk menuding AI sebagai biang keladi. Namun, menyalahkan teknologi sepenuhnya adalah sebuah penyederhanaan yang berbahaya.
AI, dalam konteks ini, adalah sebuah cermin raksasa yang memantulkan dan memperkuat apa yang sudah ada dalam diri kita: hasrat untuk diakui, keinginan untuk menjadi pusat perhatian, dan kecenderungan untuk mengambil jalan pintas.
Algoritma media sosial tidak memiliki niat jahat. Tujuannya tunggal: membuat kita bertahan di platform selama mungkin. Dan cara paling efektif untuk melakukannya adalah dengan menyajikan konten yang memancing emosi terkuat, mungkin itu tawa, amarah, atau kekaguman.
AI tidak menciptakan keculasan; ia hanya menyediakan panggung, pengeras suara, dan sorotan tanpa henti bagi sisi “culas” dalam diri kita untuk tampil.
Menolak Takdir “Generasi Culas”
Alarm dari Mendikdasmen jangan hanya menjadi keluhan. Ia harus menjadi titik balik, sebuah panggilan untuk bertindak.
Jika kita tidak ingin dicap sebagai “generasi culas”, maka tanggung jawab ada di jempol kita masing-masing. Ada tiga langkah konkret yang bisa kita mulai hari ini:
1. Praktikkan “Diet Digital” yang Sehat.
Kita harus sadar bahwa apa yang kita konsumsi secara digital membentuk cara kita berpikir. Mulailah secara sadar memilih konten. Unfollow akun-akun toksik yang hanya menjual sensasi.
Cari dan dukung kreator yang menawarkan ilmu, karya, dan diskusi substantif. Jadikan linimasa kita sebagai ruang belajar, bukan hanya panggung hiburan dangkal.
2. Dari Konsumen Reaktif Menjadi Kreator Sadar.
Daripada hanya menjadi audiens yang me-retweet atau me-repost, mulailah menciptakan. Gunakan AI dan platform digital untuk menghasilkan karya yang bermanfaat.
Tulis sebuah ulasan buku, bagikan tutorial keahlian, atau mulai diskusi tentang isu penting di lingkunganmu. Geser fokus dari “apa yang bisa membuatku viral” menjadi “nilai apa yang bisa aku berikan”.
3. Tanamkan Literasi Digital Kritis, Bukan Sekadar Teknis.
Inilah peran sentral pendidikan, baik di sekolah maupun di rumah. Mengajarkan anak cara memakai aplikasi itu mudah. Yang sulit adalah mengajarkan mereka untuk bertanya: “Apakah informasi ini benar?”, “Apa niat di balik konten ini?”, “Bagaimana ini memengaruhi perasaanku?”.
Kemampuan untuk berpikir kritis saat berinteraksi dengan teknologi adalah perisai utama melawan keculasan digital.
Pada akhirnya, pernyataan Mendikdasmen adalah sebuah pilihan yang disodorkan kepada kita.
AI akan terus berkembang, menjadi semakin cerdas dan terintegrasi dalam hidup kita. Namun, apakah kita akan memanfaatkannya untuk menjadi lebih cerdas, bijaksana, dan berempati, atau justru tergelincir menjadi pribadi yang culas, narsis, dan haus validasi?
AI tidak memiliki moral. Kitalah yang memberinya arah. Mari pastikan bersama, arah itu menuju kecerdasan sejati, bukan keculasan yang memabukkan.