
Ilustrasi Ghibli Style: Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) Rudy Mas'ud (kiri) menyapa Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (kanan) dengan sebutan "Gubernur Konten" saat menghadiri rapat antargubernur bersama Komisi II DPR di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, pada Selasa (29/4/2025). Foto: Grok AI
Oleh: Subur Anugerah
Dosen/Penulis
Akibat keaktifan Gubernur Dedi Mulyadi di media sosial, sejawatnya menyebut sebagai ‘gubernur konten’. Adalah Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud ketika rapat dengan Komisi II di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (29/4).
Gubernur Dedi tak masalah dengan sebutan itu. Ia justru memamerkan anggaran iklan Pemprov Jabar turun setelah dirinya aktif di media sosial.
“Alhamdulillah dari konten yang saya miliki itu bisa menurunkan belanja rutin iklan. Biasanya iklan di Pemprov Jabar kerja sama medianya Rp50 miliar. Sekarang cukup Rp3 miliar tapi viral terus,” kata Gubernur Dedi.
***
Di tengah derasnya arus konten viral yang membanjiri lini masa, ada satu hal mendasar yang perlahan-lahan terkikis: hak rakyat atas informasi yang lengkap, kritis, dan jujur.
Hari ini, kita hidup dalam zaman di mana seorang pejabat publik bisa menyampaikan program, klaim keberhasilan, bahkan membentuk persepsi publik hanya melalui unggahan berdurasi satu menit, lengkap dengan musik dramatis dan pencahayaan profesional.
Tapi, apakah itu cukup?
Kita tidak bisa menyangkal bahwa media sosial telah menjadi alat komunikasi yang efektif. Cepat, murah, dan menjangkau jutaan orang dalam sekejap.
Namun, efektivitas ini datang dengan harga mahal: hilangnya mekanisme pengujian informasi. Tidak ada verifikasi data, tidak ada tanya balik, tidak ada konteks. Yang ada hanya narasi sepihak yang dirancang untuk terlihat sempurna tanpa ruang untuk keraguan atau kritik.
Pejabat publik hari ini semakin mahir menjadi konten kreator. Dari walikota, gubernur, hingga wakil presiden.
Namun, mereka lupa bahwa negara bukanlah kanal YouTube, dan rakyat bukan sekadar penonton yang cukup diberi hiburan.
Konten milik pejabat tak pernah netral. Ia lahir dari niat membentuk persepsi, bukan menyampaikan kompleksitas realitas.
Dengan kata lain, informasi yang tidak dimediasi oleh prinsip jurnalisme rawan menjadi instrumen propaganda.
Demokrasi tidak tumbuh dari efek suara dan transisi video, tetapi dari ruang dialog yang sehat, yang memungkinkan publik bertanya, mengkritisi, dan memahami kebijakan secara utuh.
Demokrasi yang sehat membutuhkan publik yang cerdas, dan publik yang cerdas membutuhkan informasi yang berlapis, bukan yang dipermak algoritma untuk mendulang views dan likes.
Media massa, meski sedang terpuruk secara ekonomi, tetap memiliki fungsi yang tak tergantikan: memfilter fakta dari opini, membedakan data dari dusta, dan memberi konteks dari sekadar cuplikan.
Ketika media ditinggalkan, kita tidak hanya kehilangan sumber berita, tetapi malah justru kehilangan penyeimbang kekuasaan.
Ingatlah, konten viral bisa menghibur, tapi hanya jurnalisme yang jujur yang bisa mencerahkan.
Rakyat itu sebenarnya tidak butuh janji-janji dalam format sinematik. Mereka butuh kejelasan tentang kemana pajak mereka digunakan, siapa yang bertanggung jawab atas kegagalan program, dan bagaimana keputusan publik diambil.
Maka dari itu, kita harus kembali menegaskan hak rakyat: bukan hanya atas informasi, tapi informasi yang lengkap, kritis, dan jujur. Ini bukan soal nostalgia terhadap masa lalu media, tapi soal menjaga masa depan demokrasi.
Kita paham saat ini sulit menemukan media yang benar-benar independen dan bebas dari pengaruh politik maupun ekonomi, karena hampir semua aspek kehidupan telah menjadi bagian dari industri.
Kebebasan berekspresi dan berpendapat sering kali berbenturan dengan kebijakan yang justru membatasi ruang publik.
Reformasi yang terjadi belum diikuti oleh perubahan cara pandang pemerintah terhadap pentingnya partisipasi publik. Tanpa perlunya diskursus publik yang lebih luas, artinya pemerintah masih enggan membuka ruang diskusi bagi warga untuk terlibat dalam isu-isu penting yang menyangkut kehidupan rakyat.
Di sisi lain, masyarakat juga belum sepenuhnya memahami batas dan tanggung jawab dalam kebebasan berpendapat. Lebih dari satu dekade setelah reformasi, negara dan rakyatnya masih terus mencari makna sejati dari kebebasan itu sendiri.
Inilah pentingnya informasi yang lengkap, kritis, dan jujur sebagai bagian dari pendidikan bagi rakyat. Rakyat bukan sekadar menjadi penonton. Rakyat adalah pemilik sah negeri ini. Dan pemilik berhak tahu, bukan hanya sekadar percaya.