
Ilustrasi. Mahasiswa bimbingan dengan dosen. Foto: Grok AI
KEMARIN ibunya anak-anak cerita kalau si sulung menangis gegara ketika bimbingan skripsi dan ditanya dosennya, dia tidak tahu.
“Dia bilang tidak tahu,” kata ibunya.
Tidak tahu bagaimana? Apakah dia menjawab tidak tahu? Atau memang benar-benar tidak tahu jawabannya sehingga tidak menjawab dengan benar? Saya tidak tahu persisnya.
Saya kemudian titip menjelaskan pada ibunya agar nanti kalau curhat lagi, ibunya bisa sampaikan penjelasan saya ini.
Terus terang, dia tidak pernah curhat ke saya. Saya sendiri tidak secara langsung sering bertanya kepadanya tentang perkembangan skripsinya. Kenapa? Bagi saya, ini sensitif sekali. Terlihat sepele bagi yang bertanya, tapi bagi yang ditanya akan terasa rese.
Sama seperti ketika lebaran. Anak-anak pulang, keponakan dari rantau datang, jangan suka bertanya pada mereka tentang hal-hal sepele, seperti kapan lulus? Kapan nikah? Kapan kerja, atau dimana sekarang? Sibuk apa di rumah?
Saya mafhum, mengerti, karena pernah mengalami sendiri. Oleh karena itu, saya serahkan pada ibunya, yakni orang yang lebih dekat dan sering jadi tempat curhat anak-anak.
Meski demikian, apabila ada kesulitan soal administrasi, misalnya, maka saya baru turun tangan untuk membantunya, seperti mengurus beasiswa atau mengurus kehilangan STNK ke kantor polisi. Ada berkas-berkas yang harus dilengkapi, ke sana kemari.
Nah, soal bimbingan dengan dosen ini, saya titip pesan pada ibunya. Ada tiga hal mengapa dosen marah ketika mahasiswa menjawab tidak tahu.
Begini menurut pengalaman saya, mengapa dosen marah:
1. Ketika dosen telah menjelaskan suatu teori, dia banyak berharap penjelasannya dimengerti oleh mahasiswa. Setidaknya, dengan jawaban mahasiswa yang terungkap, dosen akan mengetahui bagian mana yang belum dipahami oleh mahasiswa sehingga dosen akan menjelaskan kembali. Jadi, jika jawaban mahasiswa adalah “tidak tahu”, maka dosen akan menilai mahasiswa tidak menyimak penjelasannya.
2. Mahasiswa asal menjawab. Ini juga dosen akan menilai mahasiswa tidak peduli, abai, dan/atau tidak menyimak dengan baik sehingga dosen akan marah. Seringkali, mahasiswa ada di hadapan dosennya, tapi pikirannya tidak.
3. Mahasiswa tidak respek. Bisa dilihat dari sikapnya. Saya pernah mengusir mahasiswa yang mau menghadap saya. Dia datang, lalu menyeret kursi kaki besi itu sehingga suaranya melukai hati. Saya tidak peduli siapa dia.
Bagaimana seharusnya mahasiswa merespons jika memang belum tahu jawabannya, tapi tidak ingin membuat dosen marah?
Jika memang belum tahu jawabannya, tapi tidak ingin membuat dosen marah, maka hendaknya mahasiswa meminta dosen memberikan waktu untuk mempelajari kembali bagian yang belum tahu jawabannya, sembari meminta izin agar dosen memberikan petunjuk atau arah dimana jawaban yang bisa dipelajari mahasiswa secara mandiri.
Pendekatan ini dinilai bijaksana, dewasa, dan mencerminkan sikap akademik yang sehat. Mengapa? Ini memberi kesan bahwa mahasiswa bertanggung jawab, tidak menghindar. Dosen biasanya sangat menghargai.
Hal ini memberikan ruang kepada dosen untuk berperan sebagai pembimbing, bukan penguji. Membuat bimbingan menjadi lebih efektif, karena dosen bisa mengarahkan ke referensi yang tepat daripada hanya mengulang penjelasan.
Ini juga menunjukkan sikap respek bahwa mahasiswa menghargai waktu dan pemikiran dosen. Peran dosen sebagai mitra intelektual, bukan hanya sebagai “penilai.” Ini memperkuat hubungan yang sehat dalam proses bimbingan, dengan membangun kepercayaan bahwa mahasiswa mampu menyelesaikan secara mandiri.
Dengan demikian, mahasiswa menunjukkan sikap belajar yang matang dan profesional, sesuatu yang seharusnya menjadi standar mahasiswa tingkat akhir. Dengan respon seperti itu, bahkan dosen yang awalnya mulai kesal bisa jadi justru lebih semangat membantu.
Saat bimbingan skripsi, tesis, atau disertasi, mahasiswa hendaknya menghindari jawaban “tidak tahu”. Oleh karena itu, mahasiswa sebaiknya memahami hal-hal sebagai berikut:
1. Tanggung Jawab Akademik Mahasiswa
Mahasiswa pada tahap skripsi, tesis, atau disertasi dianggap sudah berada pada level independent learner, artinya mahasiswa dituntut aktif mencari tahu, membaca, dan berpikir kritis. Jawaban “tidak tahu” menunjukkan kurangnya inisiatif dan tanggung jawab terhadap tugas ilmiah yang sedang dijalani. Ini bisa mengecewakan dosen, karena dianggap mahasiswa tidak menjalankan perannya dengan serius.
2. Proses Bimbingan Bukan Sekadar Mengajar
Bimbingan bukan lagi proses “mengajar dari nol”, melainkan proses pendampingan intelektual. Saat dosen bertanya, itu bukan hanya untuk menguji pengetahuan, tetapi untuk memancing diskusi, melihat arah berpikir mahasiswa, dan menilai kematangan akademiknya. Jawaban “tidak tahu” memutuskan proses itu dan membuat dosen kesulitan untuk menilai atau membantu secara tepat.
3. Jawaban “Tidak Tahu” Seringkali Tidak Jujur, Tapi Malas atau Takut
Dosen bisa membedakan antara ketidaktahuan dan ketidakjujuran, karena memang belum sampai pada materinya dan menunjukkan usaha belajar. Jawaban “tidak tahu” muncul lantaran dari sikap pasif, malas, atau tidak siap. Jika jawaban itu pertama kalinya, maka bisa dimaklumi dan dibimbing. Tapi, jika itu jawaban kedua kalinya dan seterusnya, maka bisa dianggap sebagai bentuk kemalasan intelektual. Ini yang membuat dosen marah.
4. Hubungan Respek dan Upaya
Menjawab asal-asalan atau menjawab “tidak tahu” tanpa usaha mencari sebelumnya bisa dianggap sebagai kurang respek terhadap waktu, usaha, dan ekspektasi dosen. Sebaliknya, mahasiswa yang menjawab dengan jujur tapi menunjukkan usaha. “Saya belum menemukan jawabannya, tapi saya sudah membaca A dan B, dan masih mencoba memahami bagian ini”, maka jawaban seperti ini akan lebih dihargai.
5. Dosen Adalah Refleksi Ilmiah
Dosen sering kali memproyeksikan standar ilmiah dan idealisme akademik kepada mahasiswa. Saat mahasiswa jauh dari standar itu, misalnya, tidak tahu hal yang seharusnya sudah diteliti, dosen merasa kecewa, karena melihat kurangnya keseriusan dalam mengembangkan keilmuan.
Semoga sukses ya, Nak!