
Tangkapan layar pejabat negara, Wapres Gibran Rakabuming Raka. Diakses Rabu, 23 April 2025, pukul 11.29 Wita.
Oleh: Subur Anugerah
Dosen/Penulis
Monolog pejabat negara di YouTube yang menekankan pentingnya bonus demografi dan potensi generasi muda memang terasa membakar semangat. Dengan semangat retoris yang kuat, ia menyampaikan bahwa generasi muda bukan sekadar bonus, melainkan “jawaban atas tantangan masa depan“.
Namun, di balik narasi penuh gairah itu, kita perlu bertanya: apakah substansinya cukup kuat untuk menjawab kompleksitas persoalan bangsa?
Monolog tersebut seolah mengandalkan retorika populis progresif, menggaungkan optimisme tanpa disertai landasan kebijakan konkret. Dalam teori politik, hal ini sering dikategorikan sebagai bentuk democratic responsiveness yang bersifat simbolik. Ia mendengar aspirasi rakyat, tapi belum tentu menjawabnya secara substansial.
Misalnya, ketika generasi muda disebut sebagai kekuatan utama bangsa, namun kenyataannya, generasi muda masih berjuang menghadapi tingkat pengangguran yang tinggi, akses pendidikan yang tidak merata, dan tantangan sosial digital yang makin kompleks.
Lebih jauh, dari perspektif hukum dan tata negara, monolog ini kurang menekankan pada rule of law atau supremasi hukum yang menjadi fondasi negara demokratis. Tidak ada penegasan bagaimana negara akan memastikan keadilan sosial dan perlindungan hukum bagi generasi produktif tersebut. Bahkan, peran institusi negara lainnya, seperti DPR, lembaga yudikatif, dan pengawasan masyarakat sipil, nyaris absen dalam narasi.
Dari sisi sosial budaya, memang menarik ketika sang pejabat menyebut film animasi dan Timnas U-17 sebagai bukti kiprah anak muda. Namun, ini belum menjawab keresahan struktural di lapangan: kesenjangan budaya antarwilayah, pengaruh budaya global terhadap nilai lokal, dan minimnya dukungan sistematik bagi industri kreatif akar rumput.
Kita membutuhkan lebih dari sekadar contoh inspiratif; kita butuh kebijakan afirmatif yang sistemik.
Yang lebih mengkhawatirkan, monolog ini nyaris tidak menyentuh krisis iklim, ketahanan pangan, dan ketimpangan digital sebagai tantangan masa depan. Isu-isu ini sangat relevan bagi generasi muda yang akan mewarisi bukan hanya peluang, tetapi juga krisis yang tengah berlangsung.
Kita sepakat bahwa pembangunan bangsa bukan hasil kerja satu atau dua pemerintahan. Namun pengakuan atas kerja kolektif masa lalu mestinya tidak berhenti pada seremoni. Ia harus dijadikan landasan untuk transparansi kebijakan dan keterlibatan publik dalam pengambilan keputusan nasional.
Dalam teori pembangunan politik (Lucian Pye), kemajuan suatu bangsa bukan diukur dari narasi indah yang dibangun elitnya, melainkan dari kemampuan sistem politik dan sosial untuk menjawab realitas warganya secara adaptif dan akuntabel.
Dengan demikian, penting bagi pejabat publik tidak hanya memberi semangat, tetapi juga memberi arah. Monolog seperti ini seharusnya menjadi pintu pembuka bagi diskursus publik yang lebih luas—bukan menutupnya dengan slogan-slogan motivasional belaka.
Indonesia butuh lebih dari semangat. Kita butuh keberanian menghadapi realitas.