
Sebagai penulis zaman now, saya mengalami banyak asam garam, baik suka maupun luka. Tulisan-tulisan saya yang tersebar baik melalui media Internet, media massa, maupun jejaring sosial seolah merangkum kenyataan bahwa inilah konsekuensi menulis untuk publik.
Bagi saya, asam garam ini merupakan pengalaman yang belum cukup membuat diri ini belajar dalam hal tulis menulis. Mulai dari bagaimana menggali sumber, menyusun diksi dan narasi, mengatur kata dan kalimat, menyusun alur paragraf, mencari rujukan dan referensi, dan yang lebih penting, jika itu ditujukan untuk publik di Internet, maka tulisan harus memiliki relevansi dan aksesibilitas yang sangat memadai.
Sebuah tulisan yang, menurut saya, memiliki seolah ‘nyawa’ adalah tulisan yang mampu menyentuh pembaca untuk melakukan aksi. Tulisan tersebut dianggap mampu menyelami diri pembaca, seolah mengirimkan signal yang membuat hati tersentuh, tersihir untuk kemudian bertindak. Ia mampu membuka semua indera pembaca, hati, untuk kemudian berpikir dan bertindak.
Meski demikian, semampu penulis menulis dan menyebarkan tulisannya, kritik dan masukan kadang menyertainya. Tapi yang perlu digarisbawahi adalah, kritik dan masukan berasal dari profesi yang sama sebagai penulis. Jurnalis dengan jurnalis. Peneliti dengan peneliti. Jika tidak, yang muncul adalah cemoohan, bully, yang sangat mungkin tidak berimbang karena tidak menguasai konteks dan akar masalah. Sehingga timbul pelecehan. Ini yang saya temui di Internet.
Pagi ini saya tersenyum kecut setelah membaca tuntas artikel ini, seolah saya menemukan pembenaran atau justifikasi atas pendapat saya di atas. Antar penulis saling cemooh dan mem-bully.
Suatu kali, Idrus, pengarang cerita pendek terbaik di Indonesia pada masanya, ringan saja berkata kepada Pramoedya Ananta Toer, “Pram, kamu itu tidak menulis. Kamu berak!”
Pramoedya sering mengungkit kejadian itu. Boleh jadi ia dendam. Namun, pengalaman itu jelas tidak mencegahnya meneruskan tradisi cemooh di kalangan penulis.
Bagi saya, tampak wajar dan hal biasa karena mereka adalah sama-sama penulis. Cemoohan gaya mereka, meski terdengar nyelekit dan menyakitkan bagi yang mendengarnya, tapi saya rasa merekalah sendiri yang tahu maksudnya. Kadang sambil tertawa-tawa. Mereka tampak akrab. Tapi bisa jadi, mereka bercanda di publik dengan tujuan mendapatkan perhatian. Orang menyebut Gimmick, salah satu cara jalan pintas untuk dikenal publik.
Tapi, itu tidak berlaku di Internet. Di Internet akan lebih banyak tantangan. Bukan saja kritikan dan masukan berasal dari semua kalangan, tapi bully-an dan makian akan tambah banyak. Berarti akan banyak suka dan luka. Konsekuensi logis.
Siapkah Anda menjadi penulis untuk publik di Internet?
Semoga Allah memberikan perlindungan kelancaran kesuksesan dan kebarokahan. Aamin.