
Motor listrik seukuran Yamaha NMax atau Honda PCX. Foto: dok. pribadi
HARI Sabtu (7/10) kemarin saya ikut sosialisasi motor listrik. Terus terang sejak awal mulai diperkenalkan, saya sangat tertarik untuk memilikinya. Rencananya akan saya gunakan untuk dalam kota, untuk pergi bekerja atau mengantar anak sekolah.
Dalam sosialisasi itu, saya melihat beberapa motor yang ditawarkan salah satu vendor. Secara fisik sangat menarik. Ukurannya besar seperti Yamaha NMax atau Honda PCX.
Saat tiga motor itu dipamerkan, saya tertarik dan mencoba merasakan bagaimana enaknya mengendarai motor listrik. Begitu saya naik dan memegang gasnya, speedometer digitalnya langsung menyala otomatis. Keren.
Saat presentasi dimulai, beberapa informasi spesifikasi motor ini saya potret. Ada hal yang membuat peserta yang menjadi ragu. Untuk tipe T1800 dan TX1800, misalnya, maksimal kecepatan yang hanya 70-75 kpj. Baterei 1 slot dan hanya sampai 65 km.
Kedua tipe tersebut, menurut saya, cocok dengan fungsi yang saya butuhkan di awal, untuk dalam kota saja. Jarak antara rumah dengan tempat kerja hanya 6 km. Pulang pergi 15 km. Berarti baterei bisa tahan untuk 4-5 hari. Artinya, hemat Pertalite atau Pertamax ± 3 liter.
Bagaimana jika ingin ke luar kota, ke Samarinda 120 km? Di tengah perjalanan bisa-bisa charging baterei lagi dong?
Seperti sejak awal, membeli barang itu harusnya sesuai kebutuhan. Membeli motor listrik harusnya juga sesuai kebutuhan. Soal gaya bisa nomor 27.

Untuk ke Samarinda, misalnya, kalau tidak ingin ribet, memang lebih cocok dengan Tipe TX3000. Kecepatannya bisa mencapai 90 kpj. Baterai 2 slot dan jarak sampai 120 km.
Berapa harganya?
Ini yang saya tidak tahu karena saya tidak mengikuti presentasi sampai selesai. Saya kemudian bertanya kepada teman-teman saya yang ikut presentasi dari awal sampai akhir.
“Motor listrik ini tadi bagaimana skema pembiayaannya? Ada 3 tipe, berapa harga masing-masing ya?” tanya saya di sebuah grup WhatsApp yang diikuti rekan-rekan.
Apa jawabannya?
Tidak ada yang bisa menjawab, tetapi ramai komentar dibanding hari-hari biasanya. Kira-kira 99.99% tanggapan mereka meragukan.
“Tanjakan gn guntur kuat ga yach motor listrik nya?”
“Kalo arah turun dijamin sama org nya kuat pak wkwkw,”
“Terus naiknya ditarik pakai tali,”
Dan komentar yang lain sama saja, sama meragukannya. Tampaknya semua jawaban mencoba membuat saya berpikir ulang sebelum membeli. Padahal, saya butuh jawaban soal harga.
“Pak subur kalau saya menilai masalah baterai jarak tempuh cuma 70 km kalau habis nunggu 2 jam ngisi cas. Kalau habis di perjalanan nebeng sama orang sekitar. Kalau mau. Jadi waktu kita banyak terbuang menunggu 2 jam. Naik gunung beban nya berat kaya nya kurang,”
Jawaban terakhir ini disukai anggota yang lain.
Yup, begitu lah di media sosial. Seringkali jika bertanya tentang sesuatu, maka bukan jawaban yang pas yang didapat. Syukurlah saya cuma tersenyum dan tertawa.
Saya jadi ingat seorang psikolog, Daud Antonius, membuat status di akun Facebook-nya. “Tidak semua orang bisa menjadi solusi atas apa yang kamu sampaikan. Beberapa dari mereka hanya sekadar ingin tahu saja.”
Tak lama kemudian saya mendapatkan nomor kontak Sales motor listrik itu. Malam itu saya menghubungi Sales itu.
Saya mendapat tanggapan hangat dari Sales tersebut. Ia langsung mengenali dan menyebut nama saya. Saya dikirimi daftar harga 3 motor tersebut ditambah 1 motor paling kecil tipe MX1200 seharga 18.7 juta. Tipe ini kira-kira seukuran Yamaha Mio lama. Ada review terkait keandalan motor ini.
Untuk tipe T1800 seharga 35 juta dan TX1800 39 juta. Bahkan, untuk TX3000 harganya 56.5 juta. Meski nantinya semua tipe mendapat subsidi 7 juta, tapi motor besar ini masih terasa mahal untuk saya.
Ini mungkin yang menjadi catatan usai bertemu dengan salah satu dealer motor listrik. Barangkali saya masih perlu mencari informasi lebih detail tentang produk motor listrik lainnya.