
Saat ini banyak sekali para pengguna baru media sosial yang tiba-tiba muncul dan meledak dengan jumlah yang besar. Data APJII yang saya peroleh menunjukkan, di tahun 2017 tercatat layanan yang paling banyak diakses di Indonesia adalah aplikasi Chatting dan media sosial.
Besarnya pengguna layanan ini mendorong para ilmuwan untuk menggunakan media sosial yang dimanfaatkan untuk menyebarkan ide maupun temuan mereka.
Penggunaan media sosial (a.k.a Twitter, Facebook, Instagram, Whatsapp, etc.) memiliki potensi digunakan untuk menyebarluaskan informasi ilmiah secara lebih luas. Hasil penelitian, temuan maupun ide-idenya dibagikan bukan saja kepada komunitas ilmiah mereka saja yang terbatas, tetapi juga kepada masyarakat di luar komunitas dengan jangkauan pengikut yang lebih banyak.
Upaya berbagi ide maupun temuan ini diharapkan akan mendorong para ilmuwan untuk menginvestasikan temuan-temuannya di dalam memanfaatkan kehadiran media sosial dengan jangkauan (pengaruh) ilmiah yang lebih luas hingga kepada para pengambil keputusan.
Sebagaimana diketahui, komunikasi merupakan bagian integral dari budaya ilmiah. Zaman dulu, para ilmuwan terkemuka seperti Charles Darwin menulis buku tentang asal-usul spesies yang ditujukan baik untuk audiens populer maupun non-spesialis. Artinya, hanya untuk kalangan sendiri atau kelompoknya.
Sekarang yang terjadi sudah sangat berbeda. Pertama, dengan teknologi Internet dan jejaring sosial, laju komunikasi sains terjadi sangat cepat. Kedua, informasi yang dibagikan dalam sejumlah unit yang lebih kecil, seperti yang diusung Twitter dan Whatsapp. Dan ketiga, cara pendistribusian atau pengirimannya jauh lebih banyak dan cepat.
Ketiga tren ini telah mencapai puncaknya dalam penggunaan media sosial oleh para ilmuwan untuk berbagi penelitian mereka. Syaratnya, penelitian tersebut mudah diakses dan relevan bagi pengguna media sosial yang memiliki potensi — untuk memanfaatkan temuan, ide, maupun hasil penelitian — di luar kelompok ilmuwan.
Jadi, penekanan disini pada aksesibilitas dan relevansi yang sejalan dengan tujuan ilmuwan menyebarkan hasil penelitiannya, dan meninggalkan jargon lama di era “post-truth” atau politik pascakebenaran yang menekankan emosi mengalahkan informasi faktual.[1]
Di Indonesia, kita tentu ingat para ilmuwan yang menggunakan media sosial dan memiliki pengaruh yang besar, baik kepada masyarakat luas di luar komunitasnya maupun para pengambil keputusan di lingkungan pemerintah.
Di bidang Astronomi ada Pak Thomas Djamaluddin yang aktif menulis di blog pribadinya memberikan pencerahan secara umum. Adapula Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat BNPB Pak Sutopo Purwo Nugroho yang aktif di Twitter. The Straits Times menyebutnya sebagai “pejabat Indonesia yang paling sering dikutip dalam berita selama bencana berlangsung“. Dan masih banyak lagi ilmuwan lainnya sesuai dengan bidang keahlian dan kepakaran masing-masing.
Ini tentu saja berbeda dengan ketika media apapun dapat dipakai untuk mengirim pesan yang lebih menonjolkan opini ketimbang fakta. Dengan media sosial, setiap orang dengan mudah mempublikasikan opininya sendiri dan bertubi-tubi (viral). Akibatnya, fakta yang sesungguhnya akan tenggelam oleh derasnya suara pembawa pesan.
Bila masyarakat berdiri di atas fakta-fakta yang dimanipulasi, dipoles, disembunyikan, dilepaskan dari konteksnya, dan kemudian pendapat individu atau kelompok lebih ditonjolkan sebagai kebenaran, maka masyarakat ini sesungguhnya rapuh.[2] Kita tentu tidak berharap begitu.
Referensi:
[1] Scientists on Twitter: Preaching to the choir or singing from the rooftops?
[2] Era Post-Truth: Kebenaran Jadi Komoditas
[3] Etika Media di Era Post-Truth
1 thought on “Ini Alasan Ilmiah Ilmuwan Kudu Sering Berbagi Ide Maupun Temuan di Media Sosial”