
Rektor Undip Prof. Suharnomo tampak di layar disaksikan undangan para orangtua wisudawan periode ke-179, Rabu (30 Juli 2025). Foto: dok. pribadi
Alhamdulillah syukur, akhirnya saya dan ibunya anak-anak bisa menghadiri wisuda si sulung di Universitas Diponegoro Semarang Jawa Tengah. Ia berhasil mendapatkan gelar sarjana dalam waktu yang cepat, 4 tahun kurang 2-3 bulan, dengan predikat cumlaude.
Prof. Heru Susanto, panitia wisuda, dalam laporannya menyebut lebih dari 66% dari 5.378 wisudawan periode ke-179 ini meraih predikat cumlaude. Suatu jumlah yang luar biasa.
Saya ingat, 25 tahun yang lalu, zaman ketika wisuda, jumlah wisudawan yang cumlaude bisa dihitung dengan jari. Sekarang, prestasi ini sudah biasa. Dari tahun ke tahun, beberapa perguruan tinggi juga melaporkan hal yang sama, selalu naik persentasenya.
Dalam wisuda yang berlangsung dari Senin sampai Jumat ini, saya mencatat beberapa hal. Pertama, kami berdua hadir sebagai orang tua bersama ribuan orang tua lainnya. Rasanya, saya paling muda. Para undangan tampak rambutnya putih semua hehe…
Kedua, tentu saja saya mencatat beberapa poin laporan, baik dari ketua senat, laporan panitia, perwakilan wisudawan, dan yang terakhir adalah pesan-pesan Rektor.
Misalnya, saya menggarisbawahi laporan Ketua Senat Akademik, Prof. Edy Rianto mengucapkan terima kasih kepada para orang tua wali atas dukungannya selama ini. Saya merasakan bahwa ucapan terima kasih ini penting sekali.
Prof. Edy juga mengatakan, lulusannya paling cepat memperoleh pekerjaan. Rektor Prof. Suharnomo pun mengamini. Rektor menyebut, tahun lalu studi QS World University Ranking, untuk employability rate adalah yang paling cepat mendapatkan pekerjaan.
“Alhamdulillah. 92,8% tracer study, anak-anak Undip mendapatkan pekerjaan di 6 bulan pertama dengan gaji 1-2 (kali) UMR, melanjutkan studi, atau memiliki usaha yang memiliki penghasilan sama dengan 1-2 UMR,” terang Rektor.
Tingginya serapan kerja, menurut Rektor, lantaran lulusan memiliki karakter sebagai pekerja keras, loyal, dan “nrima” (tidak banyak menuntut).
Mengutip laporan World Economic Forum, Rektor menggarisbawahi keterampilan terpenting di masa depan bukanlah murni teknologi, melainkan keterampilan manusiawi.
Keterampilan seperti berpikir analitis, resiliensi (ketangguhan), kepemimpinan, dan kreativitas menempati urutan teratas, membuktikan bahwa sisi kemanusiaan tetap menjadi yang utama.
Untuk itu, Rektor memberikan dua nasehat praktis untuk para wisudawan: jangan mager (malas gerak) dan jangan baper (bawa perasaan). Saya memahami, nasehat ini mengingatkan kepada para wisudawan untuk selalu bersyukur.
Dengan melakukan tindakan nyata, gak mager, gak baperan, bukan hanya menjadi lulusan yang bersyukur, tetapi juga menjadi sarjana yang berkontribusi di banyak hal, banyak bidang dan inovatif.
“Anak-anakku, era sekarang ini, kata Alvin Toffler, para futurolog, mengatakan di The Third Wave, illiterate di era sekarang ini adalah orang-orang yang bukan tidak bisa membaca atau menulis, tetapi orang-orang yang tidak mau belajar sesuatu yang baru,” kata Rektor.
Rektor menekankan bahwa kunci sukses di era sekarang adalah kemauan untuk terus belajar hal-hal baru dan keluar dari zona nyaman.
Selain itu, jejaring sosial (networking) dianggap sebagai “mata uang” masa depan yang sangat penting. Memperluas silaturahim akan membuka pintu rezeki.
“Anak-anakku, Bapak Ibu yang berbahagia, pada hari ini kami serahkan kembali anak-anak yang sangat luar biasa ini kepada Bapak Ibu. Mudah-mudahan kita sama-sama berdoa, anak-anak kita mendapatkan kesuksesan,” pesan Rektor.
“Jangan lupa sertakan dalam doa-doa tahajud, dalam sedekah-sedekah, dan dalam doa-doa novena untuk anak-anak kita tercinta. Mudah-mudahan sukses hari ini dan ke depan dan selamanya,” pungkasnya.
Perjalanan Kereta Api
Dalam perjalanan pulang, saya duduk bareng dengan seorang bapak-bapak di sebuah kereta api bandara, dari Stasiun Tugu ke YAI.
“Bapak, mau terbang kemana?” tanya saya, menyapanya mengawali obrolan. Saya tertarik mengajaknya ngobrol setelah melihat barang bawaannya yang banyak, satu buah koper tanggung, satu tas punggung, dan beberapa oleh-oleh bakpia tugu.
Dengan ramah, Ia mengatakan akan ke Pekanbaru, Riau. Ia lalu menunjukkan tiket pesawat yang ada di telepon genggamnya. Satu Batik Air, dan satu tiket lagi Super Air Jet.
“Ke Jakarta dulu, baru ke Pekanbaru jemput anak. Nanti pulangnya ke Jakarta, baru ke Sorong Papua,” katanya.
Ia lalu bercerita punya tiga orang anak, semuanya sedang studi. Semuanya masuk jalur mandiri yang biayanya sangat besar. Saya mendengar, dia menyebut ada yang sampai 300 juta untuk prodi kedokteran.
Anak-anaknya ada yang di Ambon ambil kedokteran dan sekarang sedang penempatan, satu di Yogyakarta, dan satu lagi di Pekanbaru.
“Saya asli Medan, lama di Medan, tapi sekarang tinggal di Sorong Papua,” katanya, dengan logat Medan. Ia juga pernah tinggal di Bontang Kaltim, di PT Badak LNG.
Dari ceritanya itu, pikiran saya jadi ikut terbang kemana-mana. Kok bisa jauh-jauhan. Saya membayangkan, pasti bapak ini banyak hidup di jalan, terbang kesana kemari.
“Kalau naik kapal bisa 5 hari perjalanan,” timpalnya.
“Kenapa tidak anaknya saja yang dari Pekanbaru datang ke Jogja jemput Bapak?” tanya saya, nakal.
Dan, jawabannya membuat saya geleng-geleng kepala. “Saya harus hadir. Harus datang untuk memberi dukungan…” tegasnya, tanpa meneruskan dukungan apa.
Saya mengerti, ini adalah dukungan moril, dukungan emosional, bagian dari upaya seorang pemimpin keluarga dalam membangun hubungan yang harmonis. Ini bukan berarti keluarganya tidak harmonis, tetapi sebagai pemimpin keluarga, ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk selalu berkomunikasi, membangun keluarga yang harmonis.
Tiba di terminal YAI, saya ulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Selamat jalan, Pak,” ujar saya. Dia membalas selamat jalan juga sambil terkekeh.
Kok, sepertinya ada yang salah dengan ucapan selamat saya? Mungkin harusnya selamat berpisah kali, ya?