
Lebah madu kelulut yang terbang mendekati putik bungan kesukaannya tampak kecil sekali. Apa yang bisa disombongkan dari itu semua? Foto: dok. pribadi
TEMPO hari, menjelang akhir bulan Ramadan ini, saya menerima sebuah pesan. Isinya adalah doa. Doa-doa meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yang ditulis huruf latin dalam bahasa Indonesia. Hurufnya tebal semua, seperti ingin menegaskan. Syukurlah, hurufnya tidak tegak semua, seperti orang berteriak.
Kalimat pertama sampai ketiga berisi doanya langsung meminta ampun kepada Allah. Tapi, di tengah-tengah doa, terselip ucapan tuduhan dan kebencian. Aku tahu siapa yang dia maksud. Terasa sekali seperti aroma tidak sedap.
Ini doa macam apa? Kenapa hatimu selalu dipenuhi kebencian? Saya enggan meneruskan membacanya.
Saya jadi ingat ada sebuah nasehat untuk menjauhi kesombongan, sekecil apapun kesombongan itu. Ia nampak seperti semut hitam di atas sebuah batu hitam di dalam ruang gelap di malam hari tanpa cahaya. Kesombongan, rasanya sulit sekali mengenalinya.
Merasa jauh lebih baik dari orang lain adalah ujub (bangga diri) dan merendahkan orang lain, itu termasuk kesombongan. Merasa sudah paling rajin ibadahnya di bulan Ramadan, itu juga bentuk kesombongan. Merasa ibadahnya pasti dterima Allah Subhanahu wa Ta’ala, itu juga kesombongan.
Bahkan, merasa paling benar, kemudian menghakimi dan mengkritik ibadah orang lain, itu menunjukkan sifat takabur dan kurangnya adab terhadap sesama muslim.
Orang yang berpuasa, shalat tarawih, membaca Al-Qur’an, dan melakukan amal ibadah lainnya di bulan Ramadan, tetapi hatinya dipenuhi kesombongan dan merendahkan orang, maka ibadahnya terancam tidak diterima Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengapa? Karena kesombongan adalah penghalang utama diterimanya amal ibadah.
“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku (beribadah kepada-Ku/berdoa kepada-Ku) akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir [40]: 60)
Penjelasan:
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu“: Ayat ini menunjukkan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia untuk berdoa dan janji-Nya untuk mengabulkan doa tersebut.
“Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku“: Bagian ini adalah inti dari mengapa sombong itu ditolak. Kata “menyembah-Ku” (عِبَادَتِى) dalam konteks ayat ini memiliki makna yang sangat luas, mencakup seluruh bentuk ibadah, dan doa adalah inti dari ibadah itu sendiri. Jadi, orang yang sombong dan enggan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, pada hakikatnya, adalah orang yang sombong dan tidak mau beribadah kepada-Nya.
“akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina“: Ini adalah ancaman yang sangat keras bagi orang-orang yang sombong. Mereka tidak hanya ditolak ibadahnya, tetapi juga akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat.
Tidak hanya enggan berdoa termasuk bentuk kesombongan. Berikut contoh spesifik bentuk kesombongan yang dapat menjadi penghalang diterimanya amal ibadah, khususnya di bulan Ramadan, meskipun seseorang rajin berpuasa, shalat tarawih, membaca Al-Quran, sering itikaf di masjid, dan beramal saleh lainnya:
1. Merasa Lebih Baik dari Orang Lain:
Contoh: Seseorang rajin berpuasa dan shalat tarawih, tetapi dalam hatinya meremehkan orang lain yang mungkin tidak se-rajin dirinya. Ia mungkin berpikir, “Saya lebih baik dari dia karena saya puasa penuh, sedangkan dia tidak.” Atau, “Shalat tarawih saya lebih khusyuk daripada dia.”
Mengapa ini kesombongan? Karena merasa diri lebih unggul dalam ibadah adalah bentuk ujub (bangga diri) dan merendahkan orang lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat hati, bukan hanya tampilan luar ibadah.
2. Pamer Ibadah (Riya’):
Contoh: Seseorang rajin bersedekah di bulan Ramadan, tetapi selalu menceritakan kebaikannya kepada orang lain dengan tujuan agar dipuji dan dianggap dermawan. Atau, ia rajin mengunggah foto-foto saat sedang beribadah di media sosial dengan niat pamer.
Mengapa ini kesombongan? Karena ibadah yang seharusnya ditujukan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, malah dicampuri dengan keinginan untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari manusia. Ini adalah bentuk syirik kecil yang dapat menghapus pahala ibadah.
3. Merasa Sudah Cukup Beribadah:
Contoh: Seseorang merasa sudah cukup beribadah karena telah rutin melaksanakan puasa dan shalat tarawih, sehingga ia enggan menambah ibadah sunnah lainnya seperti membaca Al-Quran lebih banyak, berdzikir, atau berdoa di waktu-waktu mustajab.
Mengapa ini kesombongan? Karena merasa puas dengan amal ibadah yang sedikit adalah bentuk kelalaian dan kurangnya kesadaran akan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang benar-benar beriman akan selalu merasa haus untuk mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Merasa Ibadahnya Pasti Diterima:
Contoh: Seseorang merasa yakin bahwa ibadah Ramadannya pasti diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala tanpa ada keraguan sedikit pun. Ia tidak pernah merasa perlu untuk introspeksi diri, memohon ampunan, atau memperbaiki kualitas ibadahnya.
Mengapa ini kesombongan? Karena merasa pasti diterima ibadahnya adalah bentuk ujub dan kurangnya tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hanya Allah yang berhak menentukan apakah ibadah seseorang diterima atau tidak.
5. Menghakimi dan Mengkritik Ibadah Orang Lain:
Contoh: Seseorang melihat orang lain yang mungkin cara shalatnya berbeda, bacaan Al-Qurannya kurang lancar, atau sedekahnya tidak sebanyak dirinya, lalu ia menghakimi dan mengkritik ibadah orang tersebut.
Mengapa ini kesombongan? Karena merasa diri paling benar dan menghakimi orang lain adalah bentuk takabur dan kurangnya adab terhadap sesama Muslim.
6. Tidak Mau Menerima Nasihat:
Contoh: Seseorang diberi tahu tentang suatu amalan di ramadan, namun dengan sombong menolaknya, dan berkata “Saya sudah tahu”, “Tidak Perlu”, dan sejenisnya.
Mengapa ini kesombongan? Karena menutup kemungkinan adanya kebenaran atau kebaikan yang ditawarkan orang lain, serta merasa sudah cukup ilmu.
Jadi, kesombongan dalam beribadah pun bukan hanya tentang tidak mau beribadah kepada Allah atau pun berdoa, tetapi juga tentang bagaimana sikap hati seseorang dalam menjalankan ibadah tersebut.
Yang terpenting dalam sebuah ibadah adalah apakah ia melakukannya dengan ikhlas, rendah hati, dan hanya mengharap ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan malah dicampuri dengan ujub, riya’, takabur, dan merasa lebih baik dari orang lain.
Semoga contoh-contoh ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas tentang bentuk-bentuk kesombongan yang dapat menghalangi diterimanya amal ibadah, khususnya di bulan Ramadan.