KATA melek ini berasal dari bahasa Jawa. Moto melek, artinya kedua mata yang tidak terpejam alias terbuka. Sekarang kata melek sudah masuk bahasa Indonesia. Jika digabung dengan kata lain, melek hukum misalnya, maka artinya sudah bukan terbuka lagi. Tetapi sadar hukum. Belajar mengerti hukum. Begitu kurang lebih.
Yup. Hari ini selama seharian saya sedang belajar hukum, terutama hukum terkait kehidupan rukun tetangga. Rukun dengan tetangga-tetangga lainnya juga maksudnya. Bukan berarti sekarang ini saya sedang tidak rukun, tapi ada hal-hal yang saya perlu tahu dan mengerti tentang hukum yang diatur oleh negara perihal kehidupan bertetangga.
Soal mendirikan rumah misalnya. Atau soal memelihara hewan di permukiman penduduk. Atau yang sering jadi polemik terkait parkir kendaraan di pinggir jalan di kampung. Atau juga soal tarikan sumbangan dan lain-lain. Walaupun tak lebih dari 10 persoalan, tapi ternyata untuk membahas itu semua sampai detil memerlukan penjelasan dan data yang lumayan banyak.
Data? Iya, data terkait putusan pengadilan misalnya. Apalagi data terkait hal yang dijadikan bukti hukum jika terjadi perselisihan atau sengketa di pengadilan.
Loh. Ini mau ada sengketa kah?
Tidak. Kan sudah dijelaskan di awal bahwa ini tentang melek hukum. Belajar mengerti hukum. Sehingga jika ke depan timbul persoalan-persoalan terkait hukum, setidaknya sudah mempelajari dan siap dengan berbagai bukti yang diakui sah secara hukum. Meski sebenarnya berharap tidak ingin terjadi persoalan hukum sampai di pengadilan.
Saya jadi ingat Bapak (almarhum) yang dulu bersengketa di pengadilan terkait tanah. Bapak memiliki bukti-bukti yang sah secara hukum. Meski pada akhirnya Bapak menang, tapi biaya perkara untuk itu semua cukup banyak. Saking banyaknya, Bapak sampai mengambil jatah pensiun dan berimbas pada jumlah pensiun pokok sampai sekarang. Begitu kurang lebih.
Ok lanjut. Di dalam kehidupan bertetangga, dari apa yang saya pelajari tadi, para ahli atau konsultan hukum memberikan saran jika terjadi perselisihan maka hendaklah diselesaikan dengan cara kekeluargaan lebih dulu. Jika tidak bisa kekeluargaan, maka gunakan mediasi, misalnya melalui pak RT, pengurus RT, menggandeng orang yang dituakan, atau tokoh masyarakat setempat. Jika upaya terakhir ini tidak bisa, maka langkah terakhir melalui pengadilan.
Oleh karena itu, dari pengalaman Bapak di atas, sebisa mungkin hindari bersengketa di pengadilan. Karena efeknya, imbasnya, dampaknya bisa sampai jangka panjang. Dalam peribahasa Jawa, “Kalah dadi awu menang dadi areng,” Kalah jadi abu, menang jadi arang. Artinya, baik yang kalah maupun yang menang sama-sama mengalami kerugian.
Belajar hukum ini saya batasi dulu topiknya tentang membangun rumah. Terutama rumah yang saling berdempetan satu sama lain. Rumah Kopel.