Tepat pekan lalu, ketika malam itu aku keluar sebuah gedung besar, berjalan gontai menuju tempat parkir kendaraan. Tubuh letih, badan loyo, tapi pikiran berkecamuk usai acara gawe besar se-kota ini.
Mestinya, masih ada pekerjaan yang, belum sepenuhnya kelar, tapi tubuh ini ingin segera pulang, bertemu dan memeluk anak istri. “Duh, apa yah… enaknya apa ya…” itu selintas pertanyaan di kepala ketika bokong ini sudah duduk di atas kendaraan,
Petugas parkir lalu lalang di belakangku, tandanya akan menarik ongkos parkir. Kulihat di belakangnya ada gerai pizza topi merah yang terkenal itu, hmm… kayaknya enak… menggoda sekali, tapi mahal… pikirku.
Baiklah, sekali-sekali beli makanan agak mahal tak mengapa, asal bisa membawa rasa senang orang-orang di rumah. Aku pun turun dari kendaraan, lalu masuk gerai. “Sy mau bawa pulang, dimana pesannya mbak?” tanyaku pada mbak cantik berjilbab.
Sy ditunjukkan di kasir, ada tulisan “Take away”, dan di dinding belakang dia beberapa bingkai piagam atau sertifika. Salah satunya bingkai halal MUI.
“Bapak mau pesan apa?” tanya kasir sembari memberi sy buku menu. Aku buka buku itu, ada banyak menu, semua foto pizza macam-macam, cakep, menggiurkan, menarik sekali. Ada harga, ada rupa.
“Kalau ini apa mbak?” tanyaku sambil menunjuk salah satu foto pizza paling murah.
“Yang ini tidak pakai pinggiran, Pak, kalau yang dua ini pakai pinggiran semua,” kata mbaknya.
“Ini daging halal ya mbak,” tanyaku lugu.
“Wah… kalau nggak halal sy gak kerja disini dong, Pak,” katanya sambil telunjuknya menunjuk jilbab hitamnya.
“Oh… begitu, ok deh… saya pesan yang rekomendasi ini saja mbak, grilled steak, yang ukuran medium ya, pinggiran keju,” ujarku.
Sepanjang perjalanan pulang, ada rasa lega usai melaksanakan amanat besar, sambil membayangkan di rumah pasti anak-anak senang dengan oleh-oleh pizza. Pizza ini seperti hadiah besar, pikirku, hadiah untuk memberi penghargaan pada diri sendiri usai menyelesaikan tugas besar.
Malam itu, pelan-pelan aku masuk teras rumah, tapi suara kendaraan masih terdengar. Kulihat istri masuk dapur dan menyiapkan teh hangat.
“Waow… pizzaaa…” katanya.
Kami pun cepat-cepat ingin melahap pizza, satu potong pizza sudah lebih dulu disisihkan untuk Nenek. “Eit… tunggu dulu, dipotret dulu…” kataku. “Ntar mau di-upload Facebook.”
Tapi, setelah kuamat-amati hasil jepretan fotoku, terasa ada yang kurang cantik. Jika dibanding dengan foto yang di buku menu terasa sedikit mengganjal, kok kayaknya beda ya?
Aku cari-cari di Google dan menemukan gambar yang sama persis dengan yang di buku menu. Betul, ada banyak perbedaan. Ya, inilah harapan versus kenyataan. Foto di iklan selalu lebih cantik.
Esoknya
“Kata nenek, pizzanya enak, kapan-kapan kalau nenek punya duit katanya mau beli buat kita,” bisik ibunya anak-anak.
Alhamdulillah… nenek tidak peduli rupa pizza yang berantakan, tapi… mungkin ini kira-kira yang disebut dengan barokah… 😀