“Hari ini Hari Batik, mari merasakan kasta…” ujarku pagi ini pada istri, ketika bersiap berangkat kerja. Ia tersenyum dan membalas. “Baju ini juga ada kastanya,” akunya pada baju muslimah hitam yang ia kenakan.
“Tidak, saya merasakan batik berbeda. Jika baju biasa tidak terlihat mahal atau tidak, tapi kalau batik, orang akan melihat dari jauh saja sudah tahu berapa “nilai” batiknya,” begitu balasku.
Itu perbincangan ringan saya dengan istri pagi ini di Hari Batik, 2 Oktober 2019. Maka ketika ada anjuran mengenakan pakaian batik terbaik di Hari Batik, saya membayangkan masing-masing orang akan mengenakan batik terbaiknya. Ya, terbaik menurut yang mengenakan dan yang dimilikinya.
Setelah kita sama-sama mengenakan batik terbaik menurut kita sendiri, maka… taraa… yang mengerti dan paham tentang batik akan bisa memberi “nilai” masing-masing orang yang berbatik. Betulkah?
Menurut sumber ini, batik memiliki “kasta” berdasarkan teknik produksinya, antara lain.
- Batik tulis. Dikerjakan dengan menempelkan malam pada kain dengan menggunakan canting sebelum dicelup dengan pewarna.
- Batik cap. Dikerjakan dengan menempelkan malam menggunakan cap tembaga sebelum dicekup dengan pewarna.
- Batik kombinasi, antara cap dan tulis.
- Batik coletan, dikerjakan dengan tulis atau cap, namun pada bagian-bagian tertentu diberi warna menggunakan kuas.
- Batik kombinasi printing dan tulis/cap. Ada yang rajin memberikan sentuhan batik pada kain printing bermotif batik. Biasanya pola dasar dikerjakan dengan printing, sementara detil atau isen-isen dilakukan dengan batik, meski dapat pula sebaliknya, misalnya mengisi bagian-bagian tertentu dengan teknik sablon.
- Batik printing. Kain ini berkategori BBB, alias “batik bukan batik”, yaitu kain yang menggunakan motif batik sebagai hiasan dan diproduksi dengan teknik cetak.
Kasta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tingkat atau golongan. KBBI menyebut Kasta/kas·ta/ n golongan (tingkat atau derajat) manusia dalam masyarakat beragama Hindu. Seiring dengan perkembangan bahasa, kasta diserap berbagai tingkatan sosial masyarakat.
Terkait cara produksi atau pembuatan pun, orang memiliki penilaian sendiri dan memberikan “kasta”. Tak heran, sampai saat ini masih banyak dijumpai orang-orang yang tampaknya cukup mengerti semua hal terkait batik. Mereka menunjukkan, baik terang-terangan ataupun sembunyi, tidak menerima batik printing sebagai bagian dari batik. Pasalnya, mereka menyebut batik printing ini tidak memiliki nilai batik yang sesungguhnya.
Menurut mereka, batik akan bernilai jika menunjukkan kualitas kriya batik dengan teknik canting. Canting dikerjakan manual dengan tangan manusia, menghasilkan pola gambar yang tidak konsisten dan memiliki tingkat kerumitan berbeda-beda. Sedangkan batik cap atau printing menghasilkan pola seragam dan produksinya massal.
Pada foto di atas, saya menyebut batik printing, karena motif dan jenisnya saya tahu sama persis seperti yang saya miliki. Ya, batik bapak itu sama persis punya saya. Saya diberi batik itu di Balikpapan, sedangkan bapak yang ada digambar itu ada di Pantai Pulau Merah Banyuwangi. Jauh sekali ya, tapi kok sama bajunya?
Sumber lain menyebutkan, sebenarnya bukan mutlak sistem kasta, tetapi lebih kepada sistem pemisahan struktur agar tidak tercampur aduk antara satu dengan yang lain. Pemagaran melalui simbolisasi dan tata cara paling jelas bentuknya pada batik-batik bermotif “larangan” yang diciptakan hanya untuk sang raja dan permaisuri yang berada di lingkungan keraton Mataram dan turunannya.
Terkait simbolisasi, corak atau motif batik pada zaman dahulu menjadi salah satu cara orang menilai derajat sosialnya. Berasal dari kalangan mana, dan bagaimana bibit, bebet, dan bobot seseorang hanya dari motif batik yang dipakai. Selain itu sebagai identitas ketika sebuah acara keraton Jawa yang digelar, juga prosesi adat pernikahan misalnya, akan menyesuaikan motif busana batik tertentu.
Masih ingat beberapa waktu yang lalu media massa ramai membicarakan pak Anies Baswedan bertemu pak Jokowi? Kala itu pak Anies mengenakan batik dengan corak parang. Media massa pun berasumsi apa maksud di balik batik parang. Kompas.com menyebut makna tersembunyi di balik motif batik. Sedangkan Kumparan menyebut makna batik parang. Dan banyak media menyebut demikian.
Pak Anies meminta hal itu tidak perlu dimaknakan lebih jauh. Cukup biasa saja. Dengan banyaknya asumsi penilaian terkait simbolisasi, dikhawatirkan akan mengarah pada prasangka yang tidak diharapkan dan dapat menimbulkan kerugian.
“Enggak, overanalyze nanti,” kata pak Anies.
Meski demikian, dengan Hari Batik ini saya coba memahami bahwa warisan budaya dan keanekaragaman budaya Indonesia patut kita syukuri. Ada perbedaan bukan berarti dimaksudkan untuk melahirkan kasta atau kelompok-kelompok tertentu di masyarakat. Tapi hendaknya kita jadikan pelajaran bahwa dengan kekayaan budaya, menjadikan kita semakin bijaksana (wisdom) dalam hidup bermasyarakat.
Oklah kalau begitu, dari sini paling tidak kita tahu asal muasal batik dan mengapa Unesco memasukkan dalam daftar warisan budaya tak benda.
Istilah “Karya Agung Budaya Lisan dan Takbenda Warisan Manusia” yang dipakai UNESCO bertujuan meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya warisan budaya lisan dan takbenda sebagai suatu unsur hakiki dari keberagaman budaya.
Selamat Hari Batik, semoga membawa keberkahan bagi kita semua. Aamiin.