
Mendapat sertifikat dan tiket menginap sehari semalam di Hotel Grand Jatra. Foto: Istimewa.

Alhamdulillah. Tahun ini saya berkesempatan mengikuti Call for Paper Seminastika 2019 yang diselenggarakan Universitas Mulia di Hotel Grand Jatra Balikpapan, Rabu (16/10). Seminar Nasional yang diselenggarakan untuk kedua kalinya ini bertajuk Embracing Industry 4.0, Towards Sustainable Smart Application. Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar dan sukses, plus surprise.
Selain Bapak Jauhar Effendi, Plt Assisten Pemerintahan dan Kesra mewakili Gubernur Kalimantan Timur, juga hadir narasumber dari UTeM Melaka Malaysia Prof Masilla dan Dr Valentine J Gandhie dari Inggris. Sayang sekali, untuk menulis rangkuman para narasumber lumayan bikin pegel. Tapi sebagian materi Gubernur Kaltim bisa diakses di situs resmi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Tampak ratusan orang, baik dari akademisi, peneliti, maupun professional ikut berpartisipasi sebagai peserta dan pemakalah. Mereka berasal dari Aceh, Jakarta, Papua, dan Kalimantan hingga luar negeri antusias membagikan dan mempresentasikan pengalaman dan karyanya. Mereka juga tampak siap berdiskusi lebih lanjut mengingat waktu presentasi yang terbatas. Hanya 15 menit untuk presentasi dan tanya jawab.
Tahun ini penyelenggaraan Seminastika bersamaan dengan Seminar Internasional ICSINTESA. Keduanya menerapkan seleksi sangat ketat. Sempat saya melihat beberapa paper calon peserta yang ditolak dan dihapus. Adapun hasil Seminastika berupa prosiding ber-ISSN, cetak maupun online. Sedangkan ICSINTESA masuk dalam jurnal terindeks Scopus.
Meski tahun ini belum terindeks Sinta, saya yakin, seiring berjalannya waktu Seminastika akan terindeks Sinta. Terindeks Sinta menunjukkan jumlah sitasi pada sejumlah artikel dalam jurnal atau prosiding tersebut. Semakin banyak sitasi, maka semakin tinggi skala terindeks. Misal pada Sinta, memiliki skala 1 sampai 6. Google Scholar ada h-index. Semakin banyak sitasi pada jurnal tersebut, berarti semakin banyak digunakan sebagai rujukan atau referensi.
Itulah kenapa terindeks Scopus, terindeks Sinta, terindeks Google Scholar itu sangat penting sebagai bentuk penghargaan reputasi dan penghormatan kepada penulis atau peneliti. Meski salah satu di antaranya memunculkan kontroversi di kalangan akademisi karena metodenya, tapi itu tidak berarti menghilangkan penghargaan dan pengakuan Nasional maupun Internasional terhadap karya cipta para peneliti.
Bagi peneliti, masuk dalam jurnal terindeks Scopus, terindeks Sinta, terindeks lain-lain yang keren-keren itu adalah gengsi. Dengan masuk di sana, memiliki h-index tinggi misalnya, maka itu akan mengangkat reputasi peneliti. Karir meningkat. Akan menjadi pilihan, sebagai sebuah kebanggaan, atau sebagai bentuk rasa syukur telah berhasil mengimplementasikan keahliannya atau kepakarannya sesuai bidang ilmu dan pengetahuan yang ditekuninya.
Tidak heran, di luaran sana ada yang sampai terobsesi hanya karena ingin namanya masuk dalam jurnal terindeks Scopus. Cukup ditulis menjadi penulis anggota bersama belasan nama-nama anggota yang lain. Beragam tujuan, banyak motivasi. Mungkin sekadar kebanggaan, terpandang, atau sekadar untuk menaikkan jabatan fungsional misalnya. Mari luruskan niat.
Oleh karena itu, meski ada kesempatan memasukkan tulisan pada ICSINTESA, saya mencoba untuk curiosity pada Seminastika. Saya pikir, apalah artinya masuk dalam jurnal terindeks Scopus, jika karya atau tulisan itu tidak memiliki makna? Heleuh… mulai Humblebragging!
Tidak. Ini bukan Humblebragging. Mungkin tepatnya adalah pembelaan. Membela diri karena tidak sempat menulis paper Bahasa Inggris, atau tidak percaya diri pada paper-nya sendiri dan tidak bisa cas-cis-cus Bahasa Inggris, atau terlalu malas dan perhitungan tidak mau keluar uang pendaftaran, atau ngeles karena hal lain? Halah…
Mungkin, yang tepat barangkali membela diri dari anggapan bahwa kualitas artikel pada suatu jurnal dinilai hanya pada sistem indeksasi saja. Lantaran yang satu Nasional tidak terindeks, dan yang satunya lagi skala Internasional terindeks Scopus misalnya. Sehingga seorang peneliti merasa gengsi memasukkan paper-nya ke dalam prosiding biasa. Padahal, seringkali prosiding biasa diikuti banyak peneliti pemula yang ingin belajar pada yang lebih ahli atau pakar.
Bukankah “khoirukum anfa u’hum linnass”?
Jadi, bukan saja masuk dan dikenal di komunitas sendiri khusus kalangan high-profile saja. Seorang ahli malah menyarankan para peneliti sering-sering ngetwit dan berbagi hasil risetnya untuk memberikan pengaruh pada politisi atau para pengambil keputusan. Inilah, kadang saya menemukan para pegiat, akademisi, peneliti, yang sudah berpengalaman tinggi masih juga turut menjadi pemakalah dalam sebuah prosiding yang diikuti para pemula.

Mungkin karena niat itulah, Alhamdulillah, saya diganjar Best Paper dalam Seminastika 2019 ini. Hadiahnya satu tiket menginap sehari semalam di Hotel Grand Jatra. Seorang wartawan menghubungi saya. Ia bertanya berapa lama saya menyusun paper itu. Saya katakan sangat lama belajarnya, sejak sekira 10th yang lalu. Lho kok?
Iya betul. Untuk menulis dan menjadi Best Paper tidak semudah dan segampang menulis cerita ini. Ada rentetan belajar, latihan, usaha, dan mengerjakan tugas (project) yang tidak mudah. Saya awali dengan mempelajari beberapa literature pendukung. Lantaran sudah melakukan itu semua, maka untuk menulisnya kembali menjadi lebih mudah dan tidak perlu waktu lama.
Untuk itu, menjadi Best Paper di antara puluhan Paper yang berasal dari beragam bidang keahlian dan keilmuan, membuat saya berpikir bagaimana reviewer menilai dan memilih sebuah paper sebagai yang terbaik.
Kadang saya heran sendiri dengan tulisan saya setelah mengikuti presentasi beberapa pemakalah. Saya lihat, makalah mereka bagus-bagus. Saya jadi bertanya-tanya sendiri, masa sih makalah saya paper terbaik, bagaimana menilainya? Saya bertanya kepada teman-teman yang menjadi panitia dan reviewer. Semua bilang tidak tahu. Mereka mengatakan ada banyak reviewer yang menilai dan memutuskan mana paper terbaik.
Esoknya, saya berkesempatan mengikuti undangan Doctoral Bootcamp yang diasuh Ibu Prof Masilla dan Ibu Prof Safiah Sidek. Keduanya mengundang kami, para pengajar Universitas Mulia, untuk bergabung dengan program Doktoral berbagai disiplin ilmu di Universitas Teknologi Melaka Malaysia.

Profesor Masilla ini sangat ramah dan rendah hati. Dari penjelasan Ibu Masilla ini, saya menemukan apa saja yang menjadi point penilaian sebuah research paper. Di antaranya adalah Research Questions, Problem Statements, Objective, dan Impact. Selain itu, Judul dan Abstrak turut menjadi pertimbangan. Dan yang paling penting adalah hindari Scientific of Misconduct atau pelanggaran akademik. Saya yakin para reviewer telah melakukan hal ini semua.
Soal bagaimana menulis research paper yang baik, penjelasannya lumayan panjang, ada banyak gaya. Insyaallah akan saya tulis rangkuman yang saya dapatkan dari Doctoral Bootcamp tersebut di lain kesempatan.
Semoga Allah paring manfaat barokah. Aamiin.