
Anti-Mainstream Marketing, 20 Jurus Mengubah Banyuwangi. Abdullah Azwar Anas. Foto: dok. pribadi

Sejak buku ini tiba empat hari yang lalu saya menahan diri untuk tidak menulis di sini. Padahal tangan terasa ‘gatal’ dan kepala terasa ingin memuntahkan ‘isi’nya disini. Pokoknya, semua yang menjadi uneg-uneg soal buku ini, dikeluarkan. Dan, malam ini saya sudah tidak tahan lagi.
Yap. Banyuwangi ternyata sangat menggoda. Setelah Juni kemarin saya membolang berdua dengan seorang sahabat, saya merasa terus memikirkannya. Padahal tak ada kerabat atau orang dekat yang ada di sana.
Tapi herannya, di sana saya merasa merdeka, bebas mengukur jalan, menelusuri sudut kabupaten, bahkan menyasar ke kampung-kampung yang entah ada dimana. Dari tengah kota, jalan ke Selatan ke Pulau Merah, lalu ke kaki Gunung Ijen, kembali ke Ketapang, hingga menuju utara Savana Bekol Situbondo.
Ini gara-gara di tahun sebelumnya, untuk pertama kalinya saya transit Stasiun Banyuwangi Baru tengah malam. Kami, anak dan istri, semua empat orang, berjalan kaki menuju Pelabuhan Ketapang dan menyeberang ke Pulau Bali. Yap. Banyuwangi, hanya tempat transit! Tak ada niat waktu itu untuk tinggal barang satu dua hari di sana.
Seiring berjalannya waktu, awal tahun ini terlintas keinginan untuk menelusuri Banyuwangi. Saya kemudian mempelajari apa yang ada di kota, eh, kabupaten ini. Apa yang memikat saya untuk mengetahui lebih banyak soal Banyuwangi.
Banyuwangi terlalu luas untuk ditelusuri sendiri. Apalagi kesannya sempat ‘gelap’. Santet dan sihir terkenal di sana. Ini menggaung di awal reformasi 1998. Kabarnya, saat itu banyak orang terbunuh lantaran dituduh tukang santet dan tukang sihir.
Isu santet dan sihir meluas ke beberapa kota di Jawa Timur. Di Malang ketika itu, muncul isu-isu yang tidak jelas, soal mahkluk horor dan bikin gempar dimana-mana. Seorang ustaz pun bercerita kepada jamaahnya, mempengaruhi sangat meyakinkan, seolah ia melihat dengan kepala sendiri kejadian horor itu. Padahal yang ia terima saat itu hanyalah isu-isu yang tidak jelas. Dulu, belum mengenal hoax.
Yap. Begitulah, kurang lebih saya bisa ikut merasakan aura Banyuwangi, yang dulu-dulunya terkenal serem itu. Tapi ternyata, buku ini seolah membuka mata bahwa ada yang lebih “waow” dari Banyuwangi. Hal-hal buruk yang melekat pada Banyuwangi dulu, kini menjadi Paradoks, dibalik menjadi kekuatan oleh seorang pemimpin daerah, Bupati Abdullah Azwar Anas.
Terus terang, banyak orang enggan atau takut bicara tentang keberhasilan seorang pemimpin daerah. Jangankan membicarakannya, orang menjadi takut karena khawatir dituduh dukung-mendukung pilihan politik, dituduh ikut bermain politik, atau ada maksud tersembunyi lainnya.
Tapi ketika membaca buku ini, maksud semua itu sudah ditulisnya di buku ini. Tak ada salahnya jika pengalaman yang telah diperbuat sang bupati selama dua periode — yang oleh sejumlah kalangan dinilai berhasil membawa perubahan yang significant — dapat dijadikan contoh, referensi, atau pelajaran berharga untuk daerah lainnya. Menurut saya, inilah pelajaran politik yang sesungguhnya yang perlu ditiru.
Buku ini belum tuntas saya baca, tapi kesan pertama, saya nilai sangat apik dijadikan pelajaran untuk diterapkan pada beberapa daerah yang sama ataupun berbeda kondisi alamnya. Bahkan, saya pikir cara marketing yang tidak biasa di buku ini bisa diterapkan untuk sebuah organisasi, korporasi, sekolah, atau bahkan perguruan tinggi. Cara marketing-nya pun bukan cara abal-abal dan trial and error. Ia gunakan referensi yang mapan.
Menurut Mas Yuswohady, orang yang ada di balik buku ini, strategi pemasaran yang diterapkan Bupati Azwar Anas ada dua.
Pertama, menurutnya, sang Bupati menempatkan daerah layaknya sebuah korporasi, Banyuwangi dikelola dengan sangat entrepreneurial.
Kedua, Bupati Anas menggunakan logika pemasaran yang terbalik (paradoks). Menurutnya, Pak Anas selalu nyleneh dalam mensolusikan masalah-masalah yang dihadapi di Banyuwangi. Itulah pola berpikir paradoks atau pola pikir “anti-mainstream” dengan membolak-balik logika dan cara berpikir orang waras.
Saya pikir, pemimpin-pemimpin daerah yang sukses lainnya perlu menulis pengalamannya yang apik ini dalam sebuah buku. Bukan bercertita tentang dirinya sendiri, tetapi problem solving, how to, contoh nyata bagaimana mengatasi berbagai persoalan dengan hasil perubahan yang significant, atau bahkan luar biasa.
Contohnya, Bu Risma Wali Kota Surabaya, perlu juga menulis pengalaman politiknya selama dua kali kepemimpinannya. Keberanian dan keberhasilannya menutup lokalisasi kelas berat Gang Dolly dan Jarak, dapat dijadikan pelajaran berharga yang sama untuk pemimpin lainnya dan masyarakat luas. Bagaimana membangun Surabaya yang besar dan super sibuk itu semakin bergairah.
Hoam… jarum jam menunjuk angka 12 malam. Mata sudah mulai mengantuk. Badan ingin rebahan.
Salam literasi. Semoga bermanfaat.