DALAM beberapa pekan ini saya sedang memikirikan si ragil rencana studi di perguruan tinggi. Dia memang tidak tampak ambis, tidak harus masuk prodi ini prodi itu. Saya kemudian mengajaknya menjadi mahasiswa saya saja. Hehe…
“Ntar dia nuntut loh, kakaknya di Jawa, dia cuma di sini,” bilang ibunya. Rupanya, ibunya punya pandangan lain.
Saya kemudian mencoba meyakinkannya untuk realistis, dengan melihat kemampuan ragil, dan tentu saja kemampuan saya. Semoga Allah memberi rezeki yang banyak yang barokah. Aamiin.
Saya menekankan kepada si ragil bahwa yang menjalani nanti adalah dia sendiri, seperti kakaknya saat ini. Dia harus belajar bertanggung jawab pada masa depannya sendiri.
Sebagai orang tua, tentu saja saya hanya bisa mengarahkan, mendukung, mendorong, mendoakan dirinya untuk selalu dalam perlindungan, diberikan keamanan keselamatan kelancaran dan kebarokahan dalam meraih yang terbaik.
“Okey, kalau begitu mau masuk apa?” tanya saya.
Dia sendiri masih bingung. Ini terlihat pilihannya berubah-ubah. Kadang prodi A di perguruan tinggi lain, kadang prodi B di perguruan tinggi lainnya lagi. Padahal, kedua prodi dan basis perguruan tinggi itu berbeda. Satu pendidikan, yang satu lagi terapan.
Kenapa pilih itu, Nak? Apa dasarnya?
Ia bilang selama ini belajar tentang ilmu A. Ia pernah mengikuti Kerja Praktek di sebuah perusahaan besar, dengan jumlah karyawan cukup banyak. Ia merasakan bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore selama 5 hari kerja dalam sepekan.
Kata ibunya, waktu melaksanakan tiga bulan pertama kerja praktek itu, dia dinilai perusahaan tersebut telah bekerja dengan baik. Oleh karenanya, dia mendapat kesempatan kerja praktek di perusahaan itu lagi tiga bulan berikutnya sampai selesai.
Atas apa yang sudah dilakukannya tersebut, saya menilai itu sudah cukup menjadi portofolio. Dan portofolio itu menjadi bekal saya untuk percaya bahwa dia cukup mengerti bidang ilmu yang ditekuninya.
Berdasarkan hal itu, saya kemudian mencoba ikut cawe-cawe, membantu mengarahkan tempat belajar yang sekiranya cocok dengan portofolionya.
Saya kemudian mengumpulkan beberapa nama perti. Lokasinya paling tidak sudah saya kenal sebelumnya. Saya kemudian melakukan semacam benchmarking, baik swasta maupun negeri.
Kemudian mencari prodi yang sesuai. Dari sini, saya melihat ada prodi baru yang saat ini sedang trending. Prodi ini cukup menarik perhatian. Tampaknya cocok dengan bidang si ragil.
Karena penasaran, saya mempelajari kurikulumnya, membaca detail satu persatu mata kuliah.yang akan dipelajarinya nanti.
Ternyata, meski nama program studinya sama, kurikulumnya jauh berbeda. Di perguruan tinggi A, misalnya, kurikulum prodi ini masuk bidang ilmu A sehingga mata kuliahnya berbasis A. Sedang di perguruan tinggi B, kurikulumnya bidang ilmu D sehingga mata kuliahnya juga berbasis D.
Selain kurikulum, ada tambahan kegiatan lainnya, nggak? Apa saja tambahannya? Mudah diikuti nggak? Cocok nggak? Ini juga menjadi pertimbangan saya untuk dia pilih.
Okey. Pilihan program studi sudah mulai tampak mengerucut. Berikutnya, berapa biayanya, SPP-nya, UKT-nya, sumbangannya? Bagaimana dengan akreditasinya?
Ini penting sekali. Sebab, menurut saya, biaya dengan akreditasi saat ini sangat berhubungan dengan beasiswa, meski tidak selalu begitu.
Di beberapa kali kesempatan saya telah melihat seleksi calon penerima beasiswa. Syarat administrasi yang harus dipenuhi adalah berasal dari program studi terakreditasi minimal B atau Sangat Baik.
Nah, karena ada program studi yang termasuk baru didirikan, maka akreditasinya juga masih awal pendirian.
Meski demikian, adakalanya beasiswa tidak mempertimbangkan syarat akreditasi, meski kesempatan atau peluang untuk itu kecil. Pilihan semakin mengerucut.
Jika kemungkinan gagal tidak mendapat beasiswa, kayak apa?
Ya, UKT harus terjangkau, juga sumbangan pembangunan.
Masalahnya, lagi-lagi ini yang membuat pusing tujuh keliling. Saya melihat UKT di perguruan tinggi yang masuk benchmarking tadi tidak ada yang murah. Meski terjangkau, tapi terasa sangat besar, karena harus dibagi-bagi, harus menabung jauh hari.
Oleh karena itu, ketika perguruan tinggi yang masuk benchmarking itu mulai membuka pendaftaran calon mahasiswa baru, saya teruskan informasi itu kepada si bungsu, apakah dirinya mau ambil atau tidak.
Pertimbangan saya, agar saya mengetahui bagaimana prosesnya sehingga saya bisa mempersiapkan diri jauh hari. Syarat daftar sangat mudah, cukup mengirimkan nilai rapor semester tiga dan empat.
Alhasil, setelah dia mendaftarkan diri, ternyata dinyatakan diterima. Wah, surprise! Alhamdulillah. Padahal, dulu kakaknya sempat ditolak di pilihan pertama.
Di surat pernyataan diterima, tertulis biaya yang harus dipenuhi di semester awal. Dicicil dua kali dalam satu semester. Begitu juga di semester berikutnya, selalu dicicil dua kali.
Besaran UKT mengecil, semakin mengecil sampai semester akhir. Ini berbeda dengan UKT perti lain yang selalu tetap setiap semester. Perti ini tidak menggunakan istilah UKT.
Terus terang, saya membutuhkan waltu panjang untuk menerima hal ini. Saya butuh support juga dari orang-orang terdekat. Setelah itu, saya tanya sekali lagi pada si ragil untuk mengonfirmasi keseriusannya.
Ketika ditanya jadi atau tidak, malah dijawabnya dengan bercanda: gas sudah. Hehe… Dia tidak tahu ayahnya sedang pusing.
Saya berharap dia perlu belajar Basic Mentality, tidak melulu soal kuliah. Saya melihat di pertinya ada materi untuk hal itu, untuk Building Capacity. Ini yang membuat saya cepat mengambil keputusan.
“Gimana, jadi kah?” tanya saya pada Ibunya. Jadi, katanya, yakin.
“Ini ada tabungannya dia di rekening, sisanya tambahin,” kata Ibunya anak-anak.
Okelah kalau begitu. Gaspol jugalah, sudah pada setuju semua.
Bismillah. Mohon doanya. Semoga Allah memberikan keamanan keselamatan kelancaran kesuksesan dan kebarokahan. Aamiin.