“Lagi foto-foto Pak, cari uang receh…” kata saya sambil senyum kepada Pak Yutikno, kepala Security kampus, ketika bertemu saya Minggu sore kemarin.
Mendengar celetukan saya, Pak Yutikno kaget. Cari uang receh? Pikirnya, yang bener aja… mungkin begitu kali ya. Tidak tahu lah.
Sejak awal mengetahui informasi kegiatan itu, saya merencanakan untuk datang. Ada gawe yang tujuannya mengenalkan kampus kepada masyarakat luas. Saya dengar, menurut survei, kampus yang di Samarinda malah kurang dikenal.
Oleh karena itu, sering-sering saja menggelar acara seperti pentas dan lomba-lomba berhadiah yang melibatkan masyarakat. Walaupun hadiah lomba berupa piagam dan sertifikat pun tak mengapa. Kadang, hadiah uang bukan tujuan, cuma hiburan nomor 27.
Jangan dikira hadiah piagam dan sertifikat itu tidak menarik. Saat seleksi SNBP, jalur mandiri, atau beasiswa, semua prestasi dan piagam itu kadang berguna untuk melengkapi persyaratan.
Saya yakin, anak-anak terutama siswa-siswi SMA/SMK sangat senang mengikutinya. Mereka tampak antusias, menikmati, dan merasa mendapatkan manfaat, minimal membangun kepercayaan diri dan karakter mereka.
Ini terlihat dari raut mukanya yang selalu ceria dan tersenyum. Saya senang ketika melihat mereka tampil semangat, badannya meliuk-liuk, bahkan tiba-tiba salto ataupun kayang. Woh!
Untuk itulah, saya sengaja membawa kamera DSLR Nikon lawas. Mungkin produksi zaman Jepang. Kamera ini umurnya mungkin lebih dari 10 tahun, tapi hasilnya jarang mengecewakan.
Memang sih, kesulitannya masih manual. Untuk dapat titik fokus objek gambar yang tajam, saya harus putar lensa dan memotret dalam beberapa kali jepretan. Cekrek, putar lensa, cekrek, putar, cekrek, putar.
Bicara seni, saya tidak tahu ilmunya, tapi suka sekali menikmati hasilnya. Tempo hari, saya menikmati viralnya mahasiswi yang terkenal dengan kata bercyanda. Kok bisa viral? Itulah seninya dia bercanda, gak semua orang bisa. Tapi banyak juga yang mencibir.
Padahal, ada banyak seni, seni tari, seni baris berbaris, seni lukis, seni pidato, seni menulis, seni membaca, seni menggambar, seni desain, seni pemrograman, seni suara, seni berbicara, seni berdebat, seni memasak, seni kuliner, seni mendengar, seni sastra, seni memotret, semua ada ilmunya, ada juga alirannya.
Tanpa seni, hampir semua itu tidak bisa dinikmati dengan enak. Bisa jadi terasa hambar atau garing, betul ya gak?
Sekarang ini muncul seni baru, yakni seni AI. Yup, menggunakan AI butuh ilmu seni tingkat dewa. Hanya orang-orang tertentu yang berhasil menggunakan Prompt AI dengan cepat dan mudah.
Yang gak biasa menggunakan AI, ya jelas sekali enggak bisa lah. Mereka akan bertanya-tanya caranya bikin gemoy: Ini gimana? Ini terus diapain? Waduh, susah banget sih! Tapi suka mencibir dan menikmati hasilnya. Kampret tenan ya kan?
Seni tari pertunjukan, misalnya, bagaimana menikmatinya?
Dia harus punya basis pengetahuan tentang seni tari, seperti pengetahuan tentang gerak tari, rias, busana, iringan, tata lampu, tata panggung, dan semua yang ada hubungannya dengan fungsi seni tari.
Saya tidak memiliki basis pengetahuan seni tari, tapi saya pernah mengetahui usaha mereka berlatih keras berhari-hari. Sebagai awam, saya hanya bisa menikmati para penari dan senyuman yang menawan.
Bagaimana caranya?
Ya dipotretlah. Cekrek, cekrek, cekrek. Jadilah senyuman yang menawan.