Saya termasuk beruntung bisa ‘foto bareng’ dengan Pak Dahlan Iskan. Saya berada di tengah-tengah ‘diapit’ Pak Dahlan dan Ibu. Ah, tidak. Ini foto tidak sengaja. Tapi please deh, aksi foto bareng ini bukan untuk pansos instead of panjat sosial. Pansos, istilah yang dipakai netizen zaman now untuk menyebut orang yang ingin cepat terkenal atau populer. Salah satu tindakan pansos adalah memanfaatkan foto bareng dengan pesohor atau orang populer. Hehe…
Ceritanya, hari itu saya didapuk menjadi salah satu panitia pelaksana wisuda Sarjana dan Diploma tahun 2019 di Universitas Mulia. Saya masuk menjadi salah satu anggota tim penerima tamu. Tugasnya, mempersilakan tamu undangan mengisi buku tamu lebih dahulu, kemudian mempersilakan dan menuntunnya menuju tempat duduknya. Dengan begitu, diharapkan tamu akan merasa nyaman dan… wes, mantap pokoknya. 😀
Hmm… Kelihatannya sepele ya: menerima tamu, mempersilakan mengisi buku tamu, memberikan buah tangan, dan mengarahkan tamu menuju tempat duduknya. Selesai. Tapi, justru di sinilah masalahnya. Tidak semua tamu mengenal saya. Begitu juga dengan saya yang banyak tidak mengenal mereka. Akibatnya, mudah diduga terjadi kesalahpahaman, meskipun intensitasnya kecil.
Syukurlah, khusus tamu-tamu ‘besar’ seperti Pak Dahlan, Walikota Pak Rizal Effendi, dan pejabat penting lainnya, ada sedikit prosesi penyambutan khusus yang dilakukan penerima tamu yang juga sepantaran. Tampak dalam foto Pak Dr Edi Rachmad mendampingi Pak Dahlan Iskan bersama Ibu. Pak Edi jelas tampak sebaya, seumuran, dan se-level. Pak Edi pernah bertamu di Kantor Ketua MPR yang dulu, Bapak Zulkifli Hasan. Bertamu disana, jelas tidak sembarangan.
Sambil berjalan menuju Ball Room Hotel Novotel, seolah saya menjadi ajudan Bapak-bapak ini. Saya ikut mengantarnya dan mengikutinya dari belakang. Bayangkan, rasanya kok tidak elok jika seandainya saya yang ada di sebelah Pak Dahlan menyambutnya sebagai penerima tamu. Memangnya saya siapa? Tahu dirilah. Hehe…
Yang kedua, saya bersama teman-teman buat foto bareng dan mengucapkan: Salam Literasi! Ya, ini saya sengaja yang mengawali meminta foto bersama Pegiat Literasi, Bapak Satria Dharma. Saya senang bertemu saat itu, lantaran selama ini hanya berkomunikasi lewat Whatsapp atau Email.
Beberapa hal yang Pak Satria lakukan menginspirasi saya. Apa itu? Yak! Jalan-jalan keliling Indonesia menyebarkan virus Literasi, asyik kan? 😀
Bukan itu saja, saya juga ingin jalan-jalan bersama istri ke beberapa manca negara seperti yang Pak Satria lakukan juga bersama istri. Mulai negara yang paling dekat seperti Timor Leste, Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, Burma, Arab, China, Jepang, Korea, Amerika, hingga Eropa.
Sayang, dokumentasi perjalanannya banyak dituangkan dalam bentuk tulisan di blog dan buku. “Di-video-in Pak,” begitu saran saya.
Mengapa? Menurut saya, ini Era Millennial. Era yang berbeda dengan era-era sebelumnya. Perbedaannya terletak pada digitalisasi yang massif menyentuh sendi-sendi kehidupan. Memang blog dan buku itu penting. Menurut saya, blog dan buku masih diperlukan saat ini. Tapi dalam proses disrupsi ini perlu ditambah media lain, yakni video untuk menguatkan blog dan buku. Tepatnya, saling menguatkan, bukan meniadakan salah satu atau keduanya.
Seperti blog ini. Saya masih butuh untuk menulis seperti ini. Menulis itu hobi. Menulis itu kesenangan. Menulis itu manfaat lah… dan menguntungkan. Menulis itu menyembuhkan. Menulis itu belajar. Menulis itu berpikir kritis. Menulis itu kreatif. Menulis itu komunikasi. Menulis untuk kolaborasi. Menulis itu enak. Menulis… ya menulis lah selama tidak membuat Allah marah.
Nah, baik Pak Dahlan maupun Pak Satria, orang-orang yang saya temui hari itu, keduanya memiliki blog sendiri dan suka menulis. Pak Dahlan dengan DI’s Way (https://disway.id) yang mulai dikelola serius oleh tim profesional. Saya dengar, DI’s Way kini berbentuk badan usaha setelah Pak DI tidak lagi di JawaPos. Banyak inspirasi. Tak menarik kalau saya ceritakan di sini.
Sedangkan Pak Satria memiliki blog SatriaDharma.com. Seluruh kontennya diproduksi mandiri. Dikelola sebagaimana biasa blog lain pada umumnya. Dalam sekali kesempatan, Pak Satria membuat cuplikan video perjalanan, tapi tidak sebaik garapan anak-anak milenial yang runtut dan konsisten dalam sebuah sekuel dari awal hingga akhir. 😀
Saya pikir inilah kekuatan generasi lama yang melekat pada Pak DI maupun Pak Satria. Karakter yang kuat. Kekuatannya saat ini ada pada konten yang memiliki pengaruh luas dan terus dipertahankan. Terima kasih atas segala inspirasinya. Semoga sehat selalu ya Pak.
Saya bangga dan senang bisa mempunyai dosen seperti bapak.yang menginspirasi dan bisa membagikan pengalaman ke semua orang dengan cara berfikir yang di mulai dari hal2 kecil dan sepeleh.
ya mas, makasih… yok sama-sama berkarya positif pd bidang masing-masing dan… tetep semangat zzz… 😀