PAGI hari ini saya merasa termotivasi. Mengapa? Ini lantaran di time-line Instagram saya muncul pesan-pesan positif. Akun yang saya follow bilang, ada capaian kecil yang harus dirayakan sebagai upaya mengapresiasi diri sendiri.
Seperti pada hari ini, Ketua Yayasan Ibu Hj. Mulia Hayati, pendiri Universitas Mulia memberikan apresiasi berupa dorongan untuk terus berkontribusi dan berkarya. Beliau menilai karya jurnalistik saya. Diikuti kemudian oleh Bapak Rektor juga mendorong agar tidak lupa menulis paper dan memasukkan di jurnal nasional atau intensional.
Sebenarnya, pimpinan sudah sering kali memberikan pujian dengan memberikan smiley atau stiker jempol. Bahkan mungkin sudah sejak lebih dari 20th yang lalu di awal saya bekerja. Dan, tentu saja hal itu pada akhirnya menjadi sesuatu yang biasa dan tidak lagi istimewa untuk saat ini.
Menurut saya, istimewa atau tidaknya bagi orang lain sangat dipengaruhi oleh kondisi saat itu. Adakalanya mereka memberikan respons yang cukup, namun tidak sedikit yang mengabaikannya lantaran sense-of-sensitive diri mereka dalam kondisi menurun.
Orang bilang, agar rasa sensitif seseorang pada lingkungannya terus terjaga pada kondisi ideal, dia harus berada pada lingkungan yang tepat, juga orang-orang yang tepat dan mendukung dirinya untuk berkembang.
Saya bersyukur berada di lingkungan Sosial Media yang memiliki energi positif. Di antaranya adalah para pesohor itu mampu memotivasi pengikutnya. Lantaran termotivasi itulah, saya berusaha mencatatnya langsung di sini. Jika perlu, saya mencatatnya di sela-sela memantau dan menunggui mahasiswa yang sedang mengerjakan UTS.
Yup, dimulai dari hal-hal kecil, kita dibiasakan untuk mengapresiasinya dengan ucapan syukur Alhamdulillah. Ini penting bagi siapa pun. Memotivasi diri dengan semangat juang meraih harapan dan cita-cita, bisa naik turun seiring berjalannya waktu. Bagaimana agar terus kembali semangat?
Tidak sedikit orang-orang yang pernah demotivation. Misalnya, pernah kan merasakan loyo, lemes, lunglai, kehilangan semangat atau patah hati? Tetapi karena kembali termotivasi, secara perlahan semangat itu mulai tumbuh kembali, mulai bangkit dan tegak berdiri untuk kemudian bertindak mengeksekusi.
Luar biasa bukan?
So, lakukan saja apa yang perlu Anda lakukan, misalnya, berkomitmen menabung uang receh selama satu minggu, sebulan, atau bahkan setahun untuk bisa merayakan Lebaran maupun Idul Kurban. Saya sering terbantu dengan uang receh yang berhasil dikumpulkan ini.
Saya ingat tempo hari Ibunya anak-anak dengan entengnya bilang pada si sulung agar tidak perlu takut mengambil sebagian uang dari beasiswanya untuk jajan.
“Biar dia semangat sudah berusaha,” katanya.
Bukannya apa, saya kadang masih kuatir apabila anak-anak memegang uang dalam jumlah banyak. Orang tua hanya mengingatkan, mengarahkan agar mereka belajar mengelola uangnya sendiri. Mereka perlu belajar Psikologi uang.
Nah, yang menjadi masalah adalah yang namanya belajar itu tidak hanya sekadar teori saja cuma mengandalkan buku bacaan. Mereka butuh praktik. Harus ada uang yang sebenar-benarnya dia kelola dan dalam jumlah yang cukup untuk belajar Psikologi uang.
“Mau ditabung dulu, mau beli laptop,” kata si sulung.
Nah, mengucapkan keinginan ini penting untuk menegaskan komitmen dan berusaha mencapainya. Sebagai orang tua tak henti-hentinya terus mendukung, berusaha mendorong dan berdoa agar tercapai cita-citanya.
Semoga Allah paring aman selamat lancar sukses dan barokah. Aamiin.
Aamiin