
Tampaknya, penjualan tandon berbagai ukuran bulan ini cukup tinggi. 10 tandon yang terlihat di foto itu semuanya barang baru yang masih terbungkus plastik. Tandon-tandon itu baru tiba di sebuah toko bangunan. dok. pribadi
“Gimana? Naik 20 ribu. Jadi 120 ribu,” kata ibunya anak-anak pagi tadi mengabarkan harga air satu tandon 1.200 liter telah naik.
Hari ini saya minta Ibunya anak-anak pesan air satu tandon. Ini adalah tandon keempat sejak lebih satu bulan yang lalu saya mulai membelinya lagi.
Pasalnya, stok air di tandon mulai menipis. Maklum, di akhir pekan banyak butuh air untuk berbagai macam keperluan rumah tangga.
Layanan Water Treatment Plant (WTP) di perumahan beberapa hari ini kembali bermasalah. Selain karena musim kemarau, juga ada masalah lain yang saya kurang tahu persis.
Akibatnya, jadwal suplai air ke rumah-rumah warga mengalami penundaan, entah sampai kapan. WTP ini dikelola swasta, terpisah dari PDAM yang dikelola pemerintah kota.
Warga satu RT, terutama ibu-ibu, pada gelisah. Mereka sama bertanya-tanya sampai kapan air kembali mengalir.
Saking berharapnya air mengalir, meskipun debitnya kecil sekali, tapi itu sangat berharga. Bayangkan, selama dua jam kran dibuka, bisa terkumpul empat gayung air itu sudah bersyukur!
Air bersih terasa begitu mahal seperti intan berlian. Sampai-sampai jarang terlihat warga yang menggunakan air untuk menyiram halaman rumah atau jalanan sekadar untuk meredam debu terbang.
Beberapa warga masih ditemui berbagi air dengan tanaman yang dirawatnya. Juga berbagi dengan hewan peliharaan.
Tapi, ada juga warga yang berbagi air dengan tetangganya. Meski beberapa timba saja, tapi tentu saja itu sangat berarti. Tetangganya itu mengaku sudah beberapa hari air di rumahnya tidak mengalir. Kabarnya, mandi dengan air galon. Lhuk!?
Rasa empati, tenggang rasa, tolong menolong, dan jiwa sosial kegotongroyongan warga tumbuh. Satu dua orang warga pun berinisiatif menyewa jasa sumur bor hingga keluar air yang mengalir deras tiada henti.
Saya pernah bertanya pada salah satu warga tersebut berapa ongkos jasa sumur bor. Katanya, 20 juta sampai berhasil keluar air. Saya diberinya nomor kontak penyedia jasa tersebut.
“Mau dibor dimana?” kata ibunya anak-anak. Ia tampaknya kurang setuju.
Di tempat tinggalnya dulu juga menggunakan sumur bor, di pesisir laut. Hingga beberapa puluh tahun berjalan, mungkin 30 tahun, air tanah itu masih berwarna kuning. Air bor itu digunakan untuk produksi ratusan balok es para nelayan. Warga sekitar kadang butuh air itu.
Oleh karena itu, saya sendiri mengandalkan air tandon yang diisi ulang. Bisa dari tadah air hujan, WTP, atau air tanah yang dibeli dari jasa penyedia air tandon.
Selain dapat informasi dari penjualnya, air tanah itu juga terasa hangat hingga panas di kulit. Bayangkan, air satu tandon itu panas! Kadang butuh dua sampai tiga hari baru kembali normal.
Untuk air WTP, saya tidak lagi menggunakan mesin pompa air untuk menyedot air. Pasalnya, Ibu saya pernah menasehati agar tidak menggunakan mesin pompa karena akan menyedot air yang bukan hak saya. Bisa jadi, air tandon punya tetangga ikut tersedot.
Kejadian ini pernah saya alami. Suatu ketika turun hujan lebat. Saking lebatnya, saya berhasil mengumpulkan air satu tandon penuh. Tidak sampai lama, air dalam tandon itu habis tanpa sisa.
Kemana larinya air itu?
Setelah dilakukan penelusuran jalur pipanisasi, sampai pada kesimpulan, air itu kembali melalui saluran utama dan keluar rumah.
Seorang teman menyarankan dipasang klep otomatis untuk menahan air keluar. Karena harga klep tidak murah, solusinya adalah cukup buka tutup kran meteran secara manual saat digunakan saja.
Hari ini, meski beberapa tempat sudah mulai diguyur hujan, tapi tampaknya belum begitu merata digunakan oleh seluruh warga. Buktinya, saya sendiri akhirnya memesan air tandon.
Saya jadi ingat, persoalan air bersih di kota ini sudah berlangsung cukup lama. Dari sebelum wali kota saat ini juga sudah pernah terjadi polemik.
Problem air bersih di kota ini juga menjadi alasan yang digunakan beberapa pihak pada awal mula pendirian IKN.
Para ahli, pakar, peneliti, hingga akademisi turun tangan memberikan sumbangan pikiran untuk mengatasi problem air bersih di kota penyangga IKN ini.
Pengambilan air tanah dalam jumlah besar bukan solusi terbaik, tetapi justru sangat berbahaya di masa depan. Dampaknya, terjadinya penurunan tanah seperti yang dialami sebagian besar wilayah Jakarta dan instrusi air laut.
Pembangunan waduk tampaknya menjadi pilihan yang bijak. Beberapa waduk sudah dibangun, termasuk, kabarnya, Bendungan Semoi Sepaku di IKN juga diharapkan akan menyuplai warga kota ini.
Namun, gagasan desalinasi, yakni mengubah air laut menjadi air bersih layak minum ini juga ideal dan layak terwujud. Gagasan ini terasa cocok untuk memenuhi hajat hidup warga kota yang sebentar lagi akan menjadi kota cerdas ini.
Kabarnya, ada tim yang akan berangkat ke China bulan depan untuk studi desalinasi. Kadang saya juga berpikir, kalaupun akhirnya desalinasi benar-benar terwujud, terus bagaimana suplainya sampai ke rumah ya?
Itulah kenapa sejak awal bulan ini saya membeli tandon baru untuk cadangan menyimpan air bersih. Cadangan sewaktu-waktu digunakan jika air tandon utama habis.
Tampaknya, penjualan tandon berbagai ukuran bulan ini cukup tinggi. 10 tandon yang terlihat di foto itu semuanya barang baru yang masih terbungkus plastik. Tandon-tandon itu baru tiba di sebuah toko bangunan.
Penjualnya tampak sangat cerdas. Punya kecerdasan bisnis yang sangat bagus. Terbukti, saya kembali lagi di toko itu 2-3 hari kemudian, ternyata tandon ludes bak kacang goreng.
(*)