
Saat mengikuti Rakor 2022, 27-28 Desember 2022 di Swiss Bellin.
Setelah sekian tahun, mungkin ini pertama kalinya saya mempresentasikan Laporan Pertanggungan Jawab 2022 dan Rencana Kerja 2023. Sebelumnya, cukup melaporkan penggunaan dana atau membuat RKAT. Isinya hanya pekerjaan rutin.
Ini lantaran di tahun ini pula, Pak Rusli, Rektor, menunjuk saya dengan menaikkan posisi sebelumnya.
Sekarang, saya membawahi bagian-bagian. Ada PSI yang sebelumnya saya pimpin. Ada Jaringan, Media Kreatif, dan Pusat Data dan Informasi Akademik.
Masing-masing bagian itu membuat laporan yang saya ‘validasi’ sebelum diteruskan ke Wakil Rektor. Jika tidak valid, saya kembalikan. Begitu kurang lebih. Semua bagian itu harus mendukung Administrasi dan Akademik.
Ada sebagian kecil capaian tahun 2022, tapi lebih banyak perbaikan dan peningkatan di tahun mendatang. Lebih jelasnya, tahun depan semakin bertambah kompleks. Saya sampai gak habis pikir, kok bisa? Semoga dimudahkan.

Omong-omong. Setiap kali kalau bertemu dengan Pak Rusli, saya selalu ditawari ambil es tiga. Ya, S3 Sistem Informasi kerja sama dengan Universitas Gunadarma Jakarta.
“Wis, mari ngene es telu,” atau “Sudah, selesai ini ambil S3,” begitu kata Pak Rusli sambil tertawa.
Sebenarnya, ini kesempatan baik. Biayanya murah banget, semacam beasiswa. Ya sih, ada hati kecil ingin mengambilnya, tapi saya harus tetap rasional.
Bahkan kemarin, seorang teman baru saja rampung S3 dalam lima semester. Lha itu bisa kok, cepat banget. Gampang ya kan? Sepertinya mudah.
Kenyataannya, sudah beberapa teman gugur, tidak selesai, bukan satu atau dua orang saja, mungkin kalau dihitung ada 10 orang.
Mereka padahal cukup pintar dan mampu, tapi ternyata tidak selesai dan terlantar. Mau pindah di perguruan tinggi lain pun bisa jadi harus mengulang dari nol. Bimbingan lagi. Bayar lagi. Lebih besar.
Kalau mengulang dari nol, terus yang 10 tahun sebelumnya ke mana saja? Mau tambah berapa tahun selesai?
Kabar buruk itu menghantui saya juga. Mereka yang pintar dan mampu saja gak pernah selesai. Apalagi… Kabar itu tentu mempengaruhi mood saya.
Ada pertimbangan kenapa kesempatan itu berat untuk saya ambil. Studi S3 itu seperti berangkat perang. Pergi dengan segala bekal dan senjata. Pulang bisa jadi tinggal membawa nama.
Oleh karena itu, tidak heran, saya selalu menemukan buku yang ditulis seseorang ketika sukses menjalani S3. Dia senangnya luar biasa. Dia ingin membagikan catatan memoarnya dan tips sukses yang mengharu-biru. Saking berkesannya.
Tahu gak. Pak Rusli sebelumnya juga pernah bercerita bagaimana kerja kerasnya menyelesaikan S3. Terlilit utang. Di usia menjelang 60 waktu itu, harus pulang pergi ke kampus hanya untuk bimbingan mencari dosennya.
Surabaya Malang pulang pergi. Ditolak dosen. Jatuh bangun. Syukurlah. Empat tahun selesai, tapi terasa 10 tahun.
Ketika mengikuti semacam Boot Camp S3, saya sebenarnya sangat tertarik, terutama bagaimana memulai sebuah riset. Tapi setelah itu dihadapkan pada tekad dan semangat untuk menyelesaikannya. Ini yang berat memikirnya.
Gak ada S3 yang santai, atau paling tidak bisa disambi main-main Facebook, misalnya, mengerjakan proyek, mengerjakan tugas lain-lain.
Ketika pergi keluar kota naik kereta, misalnya, bisa sepanjang jalan pikiran melamun soal riset, jurnal, Scopus. Itu-itu saja. Pulang-pulang di rumah bisa terbawa amarah. Saya pernah mengalami ini.
Ceritanya. Saat itu tesis belum kelar. Pikiran suntuk. Lalu pulang terbang ke luar pulau. Sampai di rumah melihat anak-anak yang masih kecil saat itu seperti terlantar. Susu bubuk yang harus dibeli. Butuh biaya lebih.
Istri pun diam-diam berutang untuk membeli susu. Sempat dirinya kurusan. Syukurlah banyak dibantu mertua.
Ketika wisuda di Yogyakarta, kuajak anak dan istri mengantar. Mereka melihat ayahnya berhasil. Padahal sempat jatuh bangun. Si sulung dan si bungsu berfoto mengenakan toga UGM.
Saya sampai terharu ketika mendengar istri bilang ia diberi sangu tetangga. Namanya Acil Sabar. Dia diam-diam mencegat kami lewat di depan rumahnya. Sambil salam templek. Tidak seberapa, tapi sangat membantu. Terima kasih Acil.
Selesai wisuda itulah saya bertekad mendukung anak-anak. Mereka menjadi penyemangat menyelesaikan studi.
Saat ini si sulung sedang lanjut S1 Undip Semarang. Ia kurang beruntung masuk UGM. Saya bilang semoga nanti bisa S2 dan S3.
Sejauh ini dukungan tampak berhasil. Sekarang baru saja selesai semester tiga. Masih panjang perjalanan. Saya ingin terus mendukungnya meraih cita-cita dan harapan. Saya melihat, dia punya tekad dan kemauan kuat.
Dia berhasil memperoleh beasiswa penuh, sampai Sarjana. Alhamdulillah. Ini tentu saja membuat saya lebih ringan.
Oleh karena itu, ini seperti kesempatan bagi saya untuk ‘lanjut S3’. Semoga bisa dilanjutkan oleh si sulung. Semoga Allah paring perlindungan rahmat hidayah aman selamat lancar sehat sukses dan barokah. Aamiin.