HARI ini adalah hari yang berbahagia buat keluarga kami. Salah seorang keponakan menikah dengan pujaan hatinya. Melepas masa lajang.
Mereka saling mengenal sejak masa kuliah S1 dan lulus bareng tahun 2017. Lanjut S2 juga lulus bareng tahun 2019. Kemudian karir pun bareng, sama-sama diterima di tempat yang sama tahun 2022. Semoga samawa sampai kaken ninen.
Lebaran kemarin kalau gak salah, Mase ini ketemu saya di rumah calon mertua. Saya salami dia. Saya pamit pulang sambil bisik-bisik ke dia.
“Wes ndang cepet Mas, arep ngenteni opo. Wes, ojo suwi-suwi…” kata saya.
Yang dibisiki hanya senyum-senyum saja. Saya gak tahu apa dia mengerti atau nggak bahasa Jawa ngoko. Maklum, dia kelahiran Aceh. Hehe…
Nah, hari ini dia akhirnya menikahi keponakan saya. Ini adalah momen pertama keluarga kami ini. Adik-adiknya berusaha datang dari Jawa. Begitu juga keluarga besar dari Aceh ikut datang menyaksikan pernikahan.
Namanya saja keluarga, tentu semua berusaha mengambil peran untuk berbagi, berpartisipasi, apapun bentuknya. Bahkan, jika hanya mampu berbagi doa pun itu bukanlah masalah.
“Jadi photografer?” tanya saya pada Ibunya anak-anak.
“Nggak,” timpal dia, sambil sibuk kemas-kemas paket puding yang siap dibawanya di kondangan.
Memang, sejak beberapa hari terakhir saya melihat banyak cetakan puding berserakan di bawah meja. Saya tidak tahu untuk apa.
Belakangan saya baru tahu. Kemarin, sejak sore sampai tengah malam ibunya anak-anak sedang sibuk membuat puding di dapur.
“Untuk apa?” tanya saya di pintu dapur.
“Untuk besok!” jawab dia sambil umek sendiri masak puding.
Mendengar itu, saya hampir tidak percaya. Pasalnya, kondangan itu kan banyak banget undangannya. Lagian di hotel, pasti sudah ada makanannya.
“Apa gak beli kue saja biar gak repot?” tanya saya.
Dia diam saja. Kali ini dia tampak tidak ingin diganggu. 100 buah puding harus selesai dicetak dan masuk kulkas malam itu.
Dan betul. Paginya, dia buru-buru ke lokasi kondangan. Mau make-up dulu. Sedangkan puding-puding itu dibawa si bungsu ke kondangan. Semua tampak ingin berbagi.
Tinggal saya pagi itu yang belum berangkat. Apa partisipasi saya? Mau jadi penerima tamu? Ah… saya masih memikirkan apa peran yang bisa saya berikan.
Tanpa pikir panjang, saya ambil kamera DSLR lawas yang minggu lalu dipakai memotret sebuah event. Ok siap. Bawa baju, sarung, masukin tas, langsung berangkat.
Sampai di lokasi acara, meski memakai baju, sarung, dan kopiah kondangan khas suku Bugis, saya pun cekrek-cekrek jadi tukang foto pernikahan.
“Ya, silakan baris berjajar. Saya potret dulu ya…” pinta saya pada rombongan keluarga mempelai pria.
“Satu… dua… tiga… cekrek-cekrek,” Alhamdulillah, misi penyamaran aman sudah, gumam saya.
Okey. Saya kemudian melanjutkan peran sebagai photo… eit, bukan, tukang foto amatir saja. Saya tidak ingin mengambil peran photographer yang sedang bekerja.
Dalam konteks ini, saya mencoba merekam momen yang tidak direkam oleh photographer. Kalau dia di side A, saya di side B. Begitu.
Tentu saja, saya harus sampaikan kepada photographer tersebut jika saya juga sedang mengambil gambar. Ini penting agar saya tidak mengganggu dia.
Syukurlah, beberapa momen yang tidak direkam itu tampaknya berhasil saya rekam, misalnya, saya berhasil memotret Rektor Universitas Mulia Prof. Muhammad Ahsin Rifai
Beliau hadir di saat sang photographer sibuk memotret kedua mempelai. Yup, biasanya, dalam event pernikahan, tugas photographer fokus pada kedua mempelai dan keluarga.
Ada sesi tamu undangan foto bersama kedua mempelai. Tapi, tampaknya waktu terbatas bagi tamu penting. Hal ini menjadi perhatian tukang foto amatir seperti saya.
Momen penting lain yang tidak ditangkap photographer adalah seperti gambar ini. Haha… ya jelas sekali. Ini adalah momen khusus yang sangat spesial.
Seorang ayah menyaksikan putri pertamanya menikah. Sang putri siap dipasangkan cincin pernikahan oleh pujaan hati setelah ijab kabul.
Foto ini sangat spesial buat saya. Kenapa? Ya. Kelak, semoga saya juga akan merasakan kebahagiaan yang sama sebagai ayah.
Semoga Allah memberikan aman selamat lancar dan barokah. Aamiin.