Tempo hari saya membeli sepatu Thrifting. Terus terang, ketika membeli itu, saya tidak tahu kalau itu disebut Thrifting atau barang bekas impor.
Istilah Thrifting ini sebenarnya juga baru saja saya ketahui dari perbincangan di sebuah grup alumni di Facebook.
Itu seolah saya ditunjukkan oleh mesin AI pada Facebook, setelah saya membeli sepatu itu. Maklum, saya memotret sepatu itu dengan hape dan fotonya saya upload di Facebook.
Dan, baru kemarin ada seorang mahasiswa menghadap saya minta bimbingan proposal skripsi. Dia mau buat aplikasi Thrifting. What!
Kembali pada cerita beli sepatu. Penjualnya adalah dua orang anak muda. Yang satu sepertinya juragannya, hanya duduk di pojok sambil melihat saja. Yang satu lagi melayani saya.
Ada banyak sepatu yang dijual, mereknya ternama semua. Adidas, Nike, dan New Balance. Ada yang bagus kualitasnya, lebih banyak yang abal-abal.
“Sampean dapat dari mana?” tanya saya.
Dia mengaku kalau membeli dalam bentuk ball atau karung-karung dari seseorang. Lalu dijual lagi eceran. Dia juga mengaku tahu harga barang aslinya.
“Adidas itu berapaan? Bisa dicoba?” tanya saya. Dia memberi saya kursi bakso untuk duduk dan mencoba sepatunya.
“Sesak, berapa ukurannya ini? Ada lagi? Berapa harganya?”
Hampir semua sepatu yang dipajang sama harganya, 250 ribu.
Saya dibiarkannya memilih sendiri. Akhirnya menemukan merek yang sama yang bahannya agak sedikit berbeda. Tampak lebih berkualitas. Meski warnanya agak pudar.
“Itu bekas,” kata dia.
Memang, meski dari jauh kelihatan sama, sama-sama sepatu, tapi kalau disentuh, diraba-raba, dielus-elus, lalu dicoba, bisa terlihat jelas kualitasnya.
Saya tertarik untuk membelinya. Saya belum cek di Tokopedia. Tiba-tiba datang bapak-bapak juga mencari sepatu yang sama.
Dia tertarik dengan sepatu yang baru saja saya pegang. Lalu mencobanya.
Wah… kayaknya mau beli bapak itu. Keduluan dibeli nih. Pas gak bawa uang lagi.
Akhirnya saya pamit pulang, tetapi ditahan bapak itu.
“Pak, gak jadi kah… mau pilih yang mana?” tanya dia.
“Silakan dibeli, barang bagus ini. Bisa pilih ini atau itu, silakan, saya mau ambil uang dulu,”
Akhirnya, terjualah dua pasang sepatu itu. Dibeli bapak itu dan saya… eh.
Tahu tidak?
Ternyata Thrifting dilarang pemerintah lewat UU Perdagangan dan UU Cipta Kerja. Selain itu, ada Permendag 18/2021 dan Permendag 40/2022.
Kenapa dilarang?
Pertama, untuk melindungi industri dalam negeri. Thrifting dianggap dapat mengancam perdagangan dalam negeri. Barang thrift luar negeri dijual sangat murah.
Dampaknya, produk lokal jadi sepi. Industri dalam negeri bisa mati. Ekonomi meroket, tapi roketnya turun.
Kedua, barang bekas luar negeri tidak diketahui asalnya. Pemakai sebelumnya juga tidak jelas. Ketidakjelasan ini berpotensi menjadi perantara virus dan bakteri yang mengancam kesehatan.
Aduh… semoga aman wes…