
Tangkapan layar IG Malaka Project.
DALAM beberapa hari ini di timeline IG muncul semacam iklan dari Malaka Podcast, yang kali ini menghadirkan Bagus Muljadi, seorang Assistant Professor dari University of Nottingham, bersama host Ferry Irwandi.
Keduanya berdiskusi membahas persoalan riset di Indonesia, tantangan dunia pendidikan, dan pentingnya membangun narasi sebagai sebuah bangsa.
Awalnya, menurut Bagus, riset universitas di Indonesia disebutnya tidak berhubungan dengan industri. Keduanya disebutnya jalan sendiri-sendiri. Apalagi, misalnya, kurikulum tidak update.
Ia kemudian memberikan solusi radikal yang menurutnya bisa diuji dengan pertanyaan pertama, apakah pendidikan itu komoditas ekonomi atau bukan? Jika jawabannya adalah komoditas, maka menurutnya diperlukan quality control.
Jika di pasar bebas, maka quality control diserahkan mekanisme pasar. Jika pemerintah yang mengontrol seperti di Jerman dan Prancis, maka berdasarkan pengalamannya ada yang sukses. Menurut Bagus, yang terpenting adalah quality control.
Bagus menyebut, jika universitasnya bayar, SPP-nya naik, lalu apa quality control-nya? Ia kemudian menyarankan dengan mencoba tes yang disebutnya radikal berikut ini:
Saya lulusan Universitas A. Selama 5 tahun, saya tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Apakah boleh saya menuntut universitasnya? Pasti yang tidak berprestasi tutup semua itu universitas.
Kita lihat, bapak yang tidak tahu sebenarnya, dia buta akan hierarki universitas mana yang lebih bagus. Tapi, dia uang sekolahnya itu dia tabung seumur hidup kerja dia untuk membayar anaknya uang sekolah. Ternyata universitasnya abal-abal, gitu ya, sembarangan, segala macam, bapaknya tidak tahu kan.
Nah, anaknya sekarang bukan hanya mengorbankan uang bapaknya, tapi 5 tahun waktunya untuk keluar dan gelarnya tidak bisa dipakai.
Kejahatan atau bukan itu? Oke. Itu kalau kita jualan barang, kita bisa balikin barang ya. Kalau kita ke dokter, dokternya memberi obat salah, kita bisa menuntut dia karena malpraktik. Kalau kita beli jasa dari universitas, jasanya tidak bisa dipakai, apa yang bisa kita lakukan? Nothing.
**********
Terus terang, pernyataan Bagus Muljadi membuat banyak orang menjadi pusing kepala. Tidak heran, di kolom komentar IG muncul perdebatan panjang. Masing-masing orang punya pendapat yang berbeda.
Apalagi, jika para komentator mudah menjatuhkan vonis, ad hominem, menyerang pribadi yang tidak ada kaitannya dengan konteks, hanya karena ketika pendapatnya tidak sesuai dengan pendapat orang lain.
Terus terang, saya sendiri tersenyum kecut mendengar Podcast ini. Masak sih perguruan tinggi di Indonesia pemerintahnya tidak ikut mengawasi?
Lha terus Kemendikti Saintek untuk apa? Adanya BAN PT, LAM PT, LLDIKTI, BNSP, dan lembaga lainnya apakah tidak mengawasi kualitas perguruan tinggi? Bukankah sudah banyak perguruan tinggi yang ditutup atau diberi sanksi pemerintah karena bermasalah secara kualitas?
Apalagi, toh sekarang ini sudah banyak perguruan tinggi di Indonesia, baik negeri maupun swasta yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Banyak yang punya akreditasi unggul dan Internasional, bukan?
Pernyataan saran Bagus Muljadi itu kemudian saya lemparkan ke sebuah tools AI untuk dianalisis. Simak jawaban AI atas saran Bagus Muljadi berikut ini, diawali beberapa poin yang bisa ditelaah sebagai berikut:
1. Kekecewaan dan Frustrasi:
- Kegagalan Mendapatkan Pekerjaan: Saran ini menunjukkan seseorang yang merasa sangat frustrasi karena setelah lulus dari universitas, ia tidak berhasil mendapatkan pekerjaan selama 5 tahun. Ini menunjukkan adanya kekecewaan yang mendalam terhadap sistem pendidikan atau pasar kerja.
- Perasaan Tidak Adil: Keinginan untuk menuntut universitas menunjukkan adanya perasaan tidak adil. Ia merasa bahwa universitas tidak memberikan apa yang seharusnya ia dapatkan, yaitu bekal untuk mendapatkan pekerjaan. Ini mengindikasikan bahwa ia merasa telah dirugikan.
2. Kritikan terhadap Sistem Pendidikan:
- Kualitas Universitas: Pernyataannya “pasti yang tidak berprestasi tutup semua itu universitas” menyiratkan kritik terhadap kualitas beberapa universitas. Ia merasa bahwa ada universitas yang tidak memberikan pendidikan yang berkualitas, sehingga lulusannya sulit mendapatkan pekerjaan.
- Hierarki Universitas: Ia menyebutkan bahwa ada bapak yang tidak tahu “hierarki universitas mana yang lebih bagus.” Ini mengindikasikan bahwa ada perbedaan kualitas antar universitas yang mungkin tidak diketahui oleh banyak orang sehingga mereka memilih universitas yang kurang baik.
- Jasa Pendidikan: Ia menyamakan jasa pendidikan dengan barang atau jasa lain seperti dokter. Menurutnya, jika jasa pendidikan (universitas) tidak memberikan hasil yang diharapkan (lulusan bisa kerja), maka konsumen (mahasiswa) seharusnya memiliki hak untuk menuntut ganti rugi.
3. Sudut Pandang yang Radikal:
- Tuntutan terhadap Universitas: Ide untuk menuntut universitas atas kegagalan mendapatkan pekerjaan bisa dianggap radikal. Ini adalah pandangan yang tidak lazim dan menantang norma yang ada dalam masyarakat kita.
- Penyamaan dengan Barang dan Jasa: Menyamakan pendidikan dengan barang atau jasa dalam konteks bisnis juga merupakan pandangan yang radikal. Pendidikan seharusnya memiliki nilai yang lebih dari sekadar transaksi komersial.
4. Empati terhadap Orang Tua:
- Pengorbanan Orang Tua: Ia menyoroti bagaimana orang tua bekerja keras dan menabung untuk membiayai pendidikan anak, namun pada akhirnya sia-sia karena anaknya tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Ini menunjukkan adanya rasa empati terhadap pengorbanan orang tua dan kekecewaan mereka.
- Kerugian Ganda: Ia menjelaskan bahwa bukan hanya uang yang hilang, tapi juga waktu 5 tahun yang telah dikorbankan tanpa hasil yang memuaskan. Ini memperlihatkan bahwa ia menyadari kerugian yang dialami oleh dirinya sendiri dan orang tuanya.
5. Ketidakberdayaan:
- Tidak Ada Solusi: Ia merasa tidak berdaya karena meskipun sudah berusaha, ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan tidak ada mekanisme yang bisa ia gunakan untuk meminta pertanggungjawaban dari pihak universitas.
- “Nothing” : Kata terakhir “nothing” mencerminkan perasaan putus asa dan ketidakberdayaan yang ia rasakan.
Mengapa jasa pendidikan tidak sama dengan barang atau jasa lain seperti dokter?
Baik, mari kita bahas lebih lanjut mengenai jasa pendidikan dan mengapa tidak bisa sepenuhnya disamakan dengan barang atau jasa lain seperti dokter, atau yang disebut Bagus Muljadi komoditas ekonomi.
Jasa Pendidikan: Lebih dari Sekadar Transaksi
Jasa pendidikan, terutama di tingkat perguruan tinggi, adalah suatu bentuk layanan yang kompleks dan melibatkan banyak aspek. Berbeda dengan barang atau jasa yang umumnya menghasilkan produk fisik atau hasil yang langsung terlihat, jasa pendidikan berfokus pada pengembangan:
- Pengetahuan: Menyediakan dan memfasilitasi pembelajaran berbagai disiplin ilmu.
- Keterampilan: Membekali siswa dengan keterampilan praktis yang relevan dengan bidang studi mereka.
- Pikiran Kritis: Mengembangkan kemampuan berpikir analitis, logis, dan kreatif.
- Nilai dan Etika: Menanamkan nilai-nilai moral dan etika yang penting dalam kehidupan bermasyarakat.
- Karakter: Membantu siswa membangun karakter yang kuat dan bertanggung jawab.
- Persiapan Masa Depan: Membantu siswa mempersiapkan diri untuk memasuki dunia kerja atau melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.
Jasa pendidikan juga sangat bergantung pada interaksi dan partisipasi aktif dari siswa. Proses belajar tidak hanya tentang menerima informasi, tetapi juga tentang keterlibatan dalam diskusi, penelitian, dan proyek-proyek.
Mengapa Tidak Sama dengan Barang atau Jasa Lain (Misalnya Dokter)?
Meskipun ada beberapa persamaan, jasa pendidikan berbeda dengan barang atau jasa lain (seperti dokter) dalam beberapa hal mendasar:
1. Hasil yang Tidak Terukur dan Langsung:
- Barang: Kita membeli barang dan langsung bisa menilai kualitasnya. Misalnya, membeli baju bisa langsung dilihat jahitan, bahan, dan kesesuaian ukurannya.
- Jasa Dokter: Kita bisa menilai hasil jasa dokter secara langsung, misalnya setelah operasi, kita bisa merasakan perubahan pada kesehatan kita.
- Jasa Pendidikan: Hasil dari pendidikan tidak selalu terlihat secara instan dan mudah diukur. Dampak pendidikan pada pengetahuan, keterampilan, dan karakter seseorang baru bisa terlihat dalam jangka panjang dan sangat dipengaruhi oleh faktor lain di luar kendali pihak universitas (misalnya, kemauan belajar siswa, kondisi pasar kerja, dan lain sebagainya).
2. Peran Aktif Konsumen:
- Barang: Konsumen (pembeli) memiliki peran yang pasif, hanya menerima barang yang sudah jadi.
- Jasa Dokter: Konsumen (pasien) lebih pasif, menerima diagnosis dan pengobatan dari dokter.
- Jasa Pendidikan: Siswa memiliki peran yang sangat aktif. Mereka harus berpartisipasi dalam proses belajar, mengerjakan tugas, berdiskusi, dan melatih keterampilan. Keberhasilan pendidikan sangat bergantung pada motivasi dan usaha siswa.
3. Faktor Eksternal yang Memengaruhi:
- Barang dan Jasa Dokter: Hasilnya seringkali lebih terprediksi dan dikontrol oleh penyedia layanan.
- Jasa Pendidikan: Hasilnya sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kondisi ekonomi, pasar kerja, kebijakan pemerintah, dan lain sebagainya. Universitas tidak memiliki kendali penuh terhadap faktor-faktor ini.
4. Nilai yang Lebih dari Sekadar Transaksi Ekonomi:
- Barang dan Jasa Dokter: Nilai umumnya terukur dalam harga dan kepuasan konsumen.
- Jasa Pendidikan: Memiliki nilai intrinsik yang lebih dalam, seperti pengembangan diri, peningkatan kualitas hidup, dan kemajuan masyarakat. Pendidikan bukan hanya sekadar transaksi ekonomi, tetapi juga investasi dalam masa depan.
5. Hubungan Jangka Panjang dan Kompleks:
- Barang dan Jasa Dokter: Hubungan umumnya bersifat transaksional dan berjangka pendek.
- Jasa Pendidikan: Hubungan antara siswa dan universitas bersifat jangka panjang dan kompleks. Ada hubungan antara dosen, staf, kurikulum, fasilitas, dan lingkungan belajar yang saling memengaruhi.
Kesimpulan:
Jasa pendidikan memiliki nilai dan kompleksitas yang lebih tinggi daripada barang atau jasa lain. Ia melibatkan proses pengembangan diri yang aktif dari siswa dan dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal. Menyederhanakan pendidikan menjadi sekadar transaksi komersial atau menjamin output pekerjaan, akan menghilangkan esensi dan nilai penting dari pendidikan itu sendiri.
Meskipun demikian, universitas tetap memiliki tanggung jawab untuk menyediakan pendidikan yang berkualitas dan relevan serta membekali siswa dengan kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan di masa depan. Namun, hasilnya tidak bisa dijamin dan bergantung pada berbagai faktor.
Jadi, jasa pendidikan jelas bukan komoditas ekonomi. Jika bukan komoditas ekonomi, maka menurut Bagus Muljadi, pemerintah harus konsekuen. Artinya, pemerintah Indonesia harus sesuai dengan apa yang telah dikatakan sebelumnya, seperti dalam Undang-undang dan peraturan yang ada tentang prinsip-prinsip pendidikan itu sendiri dan tidak menyimpang.