
“Rezeki itu haknya ALLAH, bahkan ada malaikat yang bertugas membagi semua rezeki kepada seluruh mahkluk ciptaan-Nya. Tugas kita hanyalah ikhtiar dengan cara yang benar dan halal, maka rezeki itu akan mengalir, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Terbagi, menyebar kemana-mana, kadang hadir sesuai dengan yang direncanakan, kadang hadir dengan cara tak terduga.”
Itu kutipan lead dalam sebuah tulisan Saptuari (39) di grup media sosial yang dikelolanya. Tulisan lengkapnya berjudul Lariskan Jualan Temanmu! Salah satu seri tulisannya, Minggu (23/9/2018).
Secara personal saya tidak kenal Saptuari. Aduh, siapalah saya. Saya mah bukan siapa-siapa. Lewat tulisan dan aksi-aksinya di jejaring sosial itulah saya justru belajar darinya. Terima kasih, Mas!
Nah. Kemarin, dalam salah satu sesi mengajar, saya memberikan contoh penerapan Big Data untuk industri. Salah satu contoh yang sering dipaparkan dalam materi kuliah adalah Starbucks!
Kenapa harus Starbucks?
Saat itu saya katakan, saya belum menemukan usaha kopi lokal sejenis yang telah menggunakan Big Data untuk mendukung bisnisnya. Forbes menuliskan, Starbucks: Using Big Data, Analytics And Artificial Intelligence To Boost Performance.
Disebutkan, ketika Starbucks meluncurkan program hadiah (reward) dan aplikasi selulernya (mobile app), secara tidak terduga terkumpul data yang luar biasa besar. Data ini kemudian digunakan untuk mengenal pelanggan dan mengekstrak informasi tentang kebiasaan membeli kopi.
Saat itu, aplikasi selulernya digunakan lebih dari 17 juta pengguna, sedangkan program reward-nya memiliki 13 juta pengguna aktif. Kepada para pengguna aktif inilah data dalam jumlah besar itu terkumpul. Data ini berisi perihal tentang apa, di mana, dan kapan pelanggan membeli kopi dan produk pelengkap lainnya. Termasuk juga mengumpulkan data cuaca, liburan, dan data promosi.
Haem… hebat ya. Tapi, sampai sekarang saya belum sama sekali mampir ngopi di Starbucks, eh… Alasannya, selama ini saya mendapat informasi bahwa untuk membeli secangkir kopi di sana, gosipnya sih, sangat mahal.
Saya pun sebenarnya ingin membuktikan kehebatan rasa kopi racikan Starbucks. Tapi kok ya saya malah mampir di cafe sebelahnya, Excelso Coffee dan Coffee Bean. Pada dua kompetitor Starbucks ini, saya pun benar-benar membeli dan membuktikan bahwa secangkir kopi di cafe itu minimal 30 ribu. Sedangkan untuk segelas Coffee Latte Es minimal 50 ribu.
Kembali ke kuliah, saat itu saya katakan ke mahasiswa bahwa kopi Indonesia sebenarnya numero uno, number one, nomor satu deh. Saya merasa menyesal karena baru akhir-akhir ini tahu rasanya menikmati kopi. Pasalnya, selama ini yang saya tahu ya hanya kopi Kapal Api, kemudian kopi ABC. Kasihan deh lu! 😀
Saat ini banyak muncul cafe dengan sajian kopi lokal yang tidak kalah rasanya. Cafe-cafe ini berdiri di hampir setiap kelurahan kota-kota di seluruh Indonesia. Munculnya banyak cafe ini biasanya menimbulkan persaingan bisnis.
Saya melihat trend cafe dan kopi itu semakin menggeliat setelah munculnya filem Filosofi Kopi karya De Lestari. Aksi Ben dan Jody cukup apik. Di akhir cerita, mereka ingin mendorong petani kopi lokal untuk ‘naik derajat’. Mereka, petani kopi, kudu dibantu bersaing dengan kopi impor yang masuk di negeri yang kaya alamnya ini.
Jika Anda belum nonton filem ini, silakan saja cari di Youtube.
Nah, dari awalnya ngopi di cafe, nonton filem itu, kemudian gencarnya sosialisasi dari Kementerian Pertanian, saya kemudian juga ingin semakin mengenal kopi dari berbagai daerah.
Dari informasi-informasi itu lah, saya seolah baru membuka mata, membuka pikiran, dan membuka hati untuk ikut menikmati kekayaan alam negeri ini. Lho? Memangnya selama ini kemana saja?
Sebungkus kopi Gayo di Farmers Market yang dulunya seharga 70 ribu lebih untuk 200 gram — yang saya pikir sangat mahal jika dibanding kopi Kapal Api sebungkus — akhirnya saya beli. Saya coba nikmati perbedaannya dengan beli langsung di warung Mie Aceh, yang disaring berkali-kali itu, dan harganya yang sangat murah itu, ternyata rasanya satu rasa. Mantap.
Saat berkunjung ke Surabaya bulan Juni yang lalu, saya dapat kopi Gayo Aceh. Loh kok? Memang, kopi Gayo ini sudah banyak tersebar di seluruh penjuru nusantara, tapi yang saya beli ini bungkusnya agak lain. Harganya hampir 100 ribu per 250 gram.
Ketika di Malang, saya beli sebungkus kopi lanang produksi Malangsari. Harganya 27 ribu. Rasanya pahit, baru kali ini tahu kopi pahit. Menariknya, kopi ini ada di pajangan khusus dan dijual di Toko Sarinah.
Tahukah Anda Toko Sarinah Malang? Ya, toko yang terkenal dengan baju batik produksi lokal dengan harga impor itu… Ehem…
Di Bali, saya beli kopi lokal di Padi Collection Ubud. Sebungkus harganya 44 ribu untuk 120 gram. Mahal? Iya, tapi maklum, ini memang harga untuk wisawatan asing. Mantap rasanya. Saya baru tahu ternyata ada harga yang lebih mahal, kira-kira 5x lipatnya, ketika saya temukan di daerah Kuta, di sebuah Art Market Jalan Dewi Sartika.
Di Makassar, saya mampir di toko kelontong. Pedagangnya orang Tionghoa. Ternyata juga menjual kopi lokal Toraja. Harganya hanya 20 ribu saja untuk 120 gram. Paling murah. Tapi soal rasa, saya malah paling suka.
Inilah. Gara-gara itu semua, saya jadi suka kopi. Apabila ada banyak orang suka kopi lokal, maka bisa diharapkan petani lokal juga ikut bangkit. Pengusaha lokal bangkit. Pelanggan lokal juga bisa menikmati. Dari hulu sampai hilir, semuanya dinikmati sendiri. Melariskan usaha sesama anak bangsa.
Nah, munculnya cafe-cafe di berbagai daerah dengan andalan kopi racikan aslinya masing-masing, ini membuat saya bertanya-tanya, kenapa tidak menggunakan Big Data untuk meningkatkan layanan dan kepuasan pelanggan, seperti Starbuck?
Anda mau melariskan usaha saya juga? Mendorong saya agar terus semangat dan terus menulis cerita-cerita, yang semoga inspiratif dan membuka mata, pikiran, dan hati?
Klik saja iklan-iklan di website ini. Ehm… 😀
Semoga manfaat barokah. Aamiin.