PAGI tadi ibunya anak-anak bilang akan mengikuti arisan keluarga siang hari. Ia mengatakan ikut karena namanya sudah terdaftar dalam list arisan tersebut. Tetapi sebenarnya tidak ikut, hanya saja namanya digunakan oleh orang lain.
Secara hukum Islam, ada perbedaan pendapat tentang arisan. Ada ulama yang mengatakan haram dengan berbagai pertimbangan berdasarkan rujukan dalil-dalil. Tetapi ada juga yang mengatakan halal dengan bantahan dan pengertian yang berbeda selama digunakan dalam rangka membantu sesama, tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, menghindari muamalah yang terlarang. Ada pula yang memberi pertimbangan lebih baik menjauhi utang karena arisan membuka pintu utang. Meski utang itu dibolehkan.
Konsultan keuangan malah menyarankan agar jangan mudah berutang. Boleh berutang selama betul-betul terpaksa dan sudah tidak ada lagi barang berharga yang digunakan untuk menggantinya. Saran mereka, berutang hendaklah yang produktif, yang sekiranya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Yang menguntungkan, begitu!
Saya sendiri jauh hari tidak ingin mengikuti arisan-arisan itu lagi dengan dua pertimbangan. Pertama, saya ingin bebas merdeka, tidak ingin terikat tanggungan arisan atau utang. Tidak ingin membebani tagihan bulanan selain tagihan telepon, pulsa, air, listrik, transportasi, berapa saja besarnya. Karena, untuk membeli sesuatu misalnya, saya ingin lebih dulu memiliki rencana untuk membelinya. Sedangkan arisan tidak ada dalam daftar rencana. 😀
Memang, di awal menikah dulu saya pernah mengikuti arisan kecil-kecilan dengan teman kantor. Tujuannya saat itu saling membantu. Nilainya hanya 25 ribu saja. Sehingga jika waktunya mendapatkan arisan, maka nilainya tidak terlalu tinggi untuk digunakan membeli barang berharga, misalnya televisi. Lebih kepada membantu teman.
Dulu, ketika pertama kali saya membeli televisi, sepeda motor, hingga rumah, saya berutang dengan cara mencicil atau mengambil kredit. Dengan begitu, saya memiliki ancang-ancang atau persiapan sampai seberapa besar kekuatan dan kemampuan saya mencicil utang. Ancang-ancang untuk menabung misalnya. Meski menabung itu sulit bagi sebagian orang, tetapi memiliki komitmen, tekad, kemampuan, kemauan, dan usaha menabung berapa saja nilainya, saya yakin itu sudah bentuk usaha yang bagus!
Bukankah sudah banyak bukti orang-orang yang memiliki kemampuan dan kemauan kuat menabung untuk pergi haji, umrah, atau membeli hewan kurban, meski sehari-hari hidup dalam keadaan pas-pasan? Bahkan beberapa teman saya berhasil membeli sepeda motor, mobil, hingga rumah besar dengan menabung.
Berbeda dengan arisan. Saya tidak tahu kapan mendapatkan uang arisan alias mbethok. Begitu mendapatkan uang arisan, maka kelemahan saya adalah ingin segera menghabiskannya. Ini karena saya memang manusia biasa yang juga biasa tergoda dengan harta. Bukankah harta, tahta, dan wanita adalah godaan dan cobaan yang cukup berat?
Lihat saja godaan dapat uang arisan ini. Jika tidak punya rencana membeli sesuatu, maka uang arisan yang ada di tangan saat itu akan terasa cepat habis tanpa sisa. Digunakan membeli sesuatu yang, kadang setelahnya sangat menyesal membelinya, seperti mentraktir bareng-bareng di restoran, atau membeli barang konsumtif yang sesungguhnya tidak menjadi prioritas dan tidak dibutuhkan. Saya pernah melihat sendiri orang yang pertama kali mendapat uang, langsung habis seketika setelah digunakan membeli bak sampah. What?!
Kedua, saya merasakan mudaratnya lebih besar setelah melihat sendiri adanya perselisihan dan pertikaian antar anggota. Ini pernah terjadi. Bandar macet karena uang arisan disalahgunakan bandar tanpa diketahui dan izin para anggota. Akibatnya, sudah dapat diduga terjadi pertikaian. Apalagi ada anggota yang sudah mendapatkan uang arisan pada putaran pertama, tetapi tidak mau mengembalikan karena uangnya sudah habis untuk membeli sesuatu. Terus, aku kudu piye?
Memang seluruh peserta arisan harus siap terima risiko, baik yang menjadi anggota maupun bandar. Ada bandar dan seluruh peserta yang benar-benar melaksanakannya dengan penuh menjaga kepercayaan, jujur, amanah, dan mampu bekerja sama dengan baik. Tapi adakalanya ada bandar yang lalai dan mudah tergiur meminjam dan memanfaatkan uang arisan untuk keperluan pribadi dengan maksud akan ia kembalikan pada waktunya. Tapi siapa tahu di kemudian hari berat mengembalikannya?
Saya pikir, dua alasan itulah saya tidak ingin ikut arisan. Begitu juga berharap anak-anak maupun ibunya anak-anak. Kalaupun terpaksa mengikuti arisan karena lain dan suatu hal, maka saya berharap niatnya dengan benar, budi luhur, membina hubungan kekeluargaan dalam rangka menjalin silaturahmi, membantu sesama saudara dan teman. Wata’awanu alal birri wattaqwa.
Semoga Allah paring aman selamat lancar sukses barokah. Aamiin.