
Saran mahasiswa. Sumber: dok. pribadi

HARI Sabtu pagi sampai siang kemarin saya melaksanakan pertemuan daring Google Meet dengan tiga orang secara berturut-turut bergantian. Dimulai dari seorang mahasiswa, eh… mahasiswi yang sedang ujian Laporan Kuliah Kerja Praktek, kemudian diikuti salah satu klien dalam rangka membina hubungan profesional sejak tujuh tahun yang lalu, dan terakhir bimbingan teknis juga dengan seorang mahasiswa.
Yang jelas, mereka bertiga tidak ada yang saling mengenal. Mereka juga tidak tahu bahwa saya melayani mereka berturut-turut. Hanya saja saya telah membuat janji bertemu daring dengan mereka di waktu tersebut. Untuk mengatur waktu itulah, saya menginisiasi pertemuan daring agar semua dapat diakomodasi. Inilah salah satu ikhtiar dan hikmah Pandemik Covid-19.
Dalam pertemuan daring itu saya paling dominan melakukan coaching layaknya seorang pelatih pada tim sepak bola. Melihat proses-proses yang terjadi, menunjukkan strategi proses satu menuju proses yang lain, mengevaluasi, mekakukan troubleshooting, dan lain sebagainya. Yup, mirip juga seorang dokter yang giliran melayani pasien satu persatu.
Nah, dalam salah satu pertemuan tersebut ada satu bagian yang menurut saya menarik, tapi belum sempat saya ungkap kepada yang bersangkutan. Satu bagian ini adalah saran mahasiswi pada bagian akhir presentasinya. Saran itu dia tulis begini.
“Saya berharap ke depan pelaksanaan KP khususnya mahasiswa yang tidak memiliki pekerjaan tetap akan lebih mudah mendapatkan informasi mengenai tempat-tempat pelaksanaan kegiatan KP sehingga tidak ada lagi mahasiswa yang mengajukan surat permohonan praktik kerja ke dua atau lebih instansi pemerintahan maupun perkantoran yang berbeda. Dengan begitu, mahasiswa tidak lagi menunggu surat balasan dari instansi pemerintah atau perkantoran,” paparnya.
Wait… Ini menarik. Terus terang saya jadi curiosity dengan saran ini.
Pertama, saran ini ditujukan untuk siapa? Apakah untuk instansi yang dituju, yaitu pemerintah atau perkantoran, atau kah ditujukan untuk perguruan tinggi mahasiswi ini, dalam hal ini prodi?
Sebaiknya kenali konten dan konteks saat memberikan saran. Saran dalam sebuah laporan KP, Skripsi, Tesis, atau karya tulis ilmiah, misalnya, harus relevan dengan konten bahwa itu adalah karya ilmiah — yang berarti bebas dari asumsi-asumsi tanpa dasar, tetapi harus memenuhi kaidah ilmiah seperti berorientasi data, menggunakan metode analisis yang sesuai dengan cara yang benar, implementasi, verifikasi dan validasi dst.
Sedangkan disebut relevan konteks setidaknya memperhatikan dalam rangka apa membahas sesuai judul dan topik pembahasan.
Jika Anda membahas KP dengan topik perbaikan prosedur pendaftaran KP, misalnya, maka saran yang sebaiknya ada setelah Anda lakukan pembahasan adalah perbaikan prosedur atau metode yang Anda sudah bahas tersebut.
Sebuah saran tentu harus menuju pada perbaikan atau peningkatan metode, peningkatan solusi, dan luaran dampaknya sesuai topik pembahasan.
Di luar itu, saran Anda akan melebar kemana-mana dan semakin menjadi tidak relevan. Sering deh saya membaca saran yang ditujukan untuk pihak kampus, pihak tempat kerja, pihak dosen lapangan, dosen pembimbing, malah saran yang ditujukan untuk mahasiswa itu sendiri.
Mahasiswa juga seringkali tidak malu-malu dan sangat percaya diri menyebutkan sarannya. Menurutnya, kampus sebaiknya harus melakukan ini dan itu, atau dosen harus melakukan ini dan itu, dan sebagainya. Dosen akhirnya hanya bisa memaklumi saja, tersenyum kecut… 😀
Kedua, mahasiswi ini menyebut: “Dengan begitu, mahasiswa tidak lagi menunggu surat balasan dari instansi…”
Wait… Jangan alergi dengan kata menunggu. Jika Anda tidak mau menunggu, mengapa Anda sebut menunggu? Lah, buat apa menunggu? Mending ditinggal ngopi wae lah… 😀
Menurut saya, frasa “menunggu” ini jika salah tempat akan diterjemahkan berbeda sehingga menjadi bagian dari Mental Block. Orang akan terjebak dengan kalimat yang bisa mempengaruhi orang lain agar tidak mau menunggu sebagai sebuah alasan untuk menolak sebuah proses, atau menunggu sebagai sebuah alasan untuk menolak sesuatu.
Menolak proses: Inginnya, segalanya harus cepat beres. Padahal kan perlu proses. Lazimnya sebuah proses tentu butuh waktu. Itu berarti ada proses menunggu. Wait… begitu kata sistem komputer Anda ketika loading.
Sedangkan menunggu sebagai alasan untuk menolak sesuatu, misalnya, Anda mengajak seseorang untuk segera berangkat ke sekolah. Terus seseorang itu menolak, “Nggak, aku menunggu papaku aja yang antar…”
Kembali ke laptop. Dalam kasus ini, mahasiswa melihat ada kekurangan pada proses pendaftaran, yakni waktu tunggu yang mungkin lama. Maka, saran Anda tersebut akan menjadi ide atau gagasan bahwa itu berarti ada kelemahan pada proses pendaftaran.
Selanjutnya silakan Anda membuat usulan perbaikan dan rancangannya. Karena Anda sendiri yang tahu dan menemukan proses pendaftaran itu sangat lambat dan merugikan mahasiswa menunggu lama. Metode apa yang kira-kira cocok diterapkan dan diwujudkan dalam penelitian selanjutnya. Silakan Anda implementasikan.
Loh, saya kan memberikan saran, Pak? Ya, seharusnya dosen dong yang harus memperbaikinya…
Waduh… Mahasiswa boleh-boleh saja kritis, tapi mbok ya mikir ini semua dalam konten dan konteks apa? Membuat saran dalam laporan ilmiah kan? Nah, jika Anda mengaku mahasiswa, maka kewajiban Anda lah memperbaikinya. Tapi jika Anda bukan mahasiswa, maka usulan Anda akan ditampung dosen yang ada di perguruan tinggi tersebut. 😀
Omong-omong, soal menunggu, saya sedikit ada cerita gak enak dengan penjual jaket yang marah-marah pada saya karena saya tidak jadi membeli jaketnya. Ini penjual kecil sih, yang biasa meng-iklankan produknya di Facebook.
Pedagang kecil biasanya tidak ada sistem yang sifatnya membina hubungan dengan pelanggan. Mereka hit and run, jual putus, selesai. Seperti mitra gojek dengan pelanggan. Gojek sendiri juga melarangnya. Gojek punya strategi sendiri.
Nah, suatu ketika saya melihat iklan jaket tersebut di Facebook. Kebetulan saya juga sedang mencari jaket. Saya kemudian klik iklan itu dan dibawa ke sebuah website. Website ini hanya berupa gambar jaket dan form yang harus diisi pelanggan.
Setelah mengisi form, saya dibawa pada kontak WhatsApp dan diminta konfirmasi pembelian. Terus, data yang sudah saya masukkan tadi tidak bisa diakses lagi. Artinya, sistem penjualan ini tidak menyediakan aplikasi untuk mengelola profil user.
Wait… saya jadi mikir lagi. Saya juga ingat tempo hari sudah beli jaket, masih bagus, murah lagi. Saya agak ragu meneruskan transaksi. Seperti biasa, saya abaikan transaksi dan tidak konfirmasi sebagai cara saya batal membeli.
Seperti biasa, jika calon pembeli tidak jadi membeli, sistem akan memberi waktu tunggu hingga sekian menit atau sekian jam untuk memberi kesempatan pelanggan berubah pikiran. Saya pernah diberi waktu tunggu paling lama sampai 24 jam pada sistem e-commerce besar.
Ternyata dugaan saya salah. Penjual ini menunggu saya! Dia mengirimkan pesan ke saya kapan saya akan menyelesaikan pembayaran. Awalnya saya abaikan.
Esoknya dia kirim lagi. Kali ini dengan menagih pembayaran. Saya pun merespon disertai maaf bahwa saya tidak jadi membeli.
Dia kepo dan tanya, kenapa saya tidak jadi membeli. Saya jawab, jaket saya masih bagus.
Penjual ini kemudian menuduh saya main-main mempermainkan dia. Dia memberitahu saya bahwa pesanan saya sudah masuk, penjual sedang menunggu dan dia minta saya konfirmasi segera. Bukan hanya itu, penjual ini mengomel menasehati saya lain kali jika mau beli lagi pada penjual yang lain, saya dimintanya untuk konfirmasi. Lhuuk… ?
Kenapa harus menunggu? Keputusan menunggu itu ada di tangan Anda sendiri. Anda bisa menerapkan keputusan itu dengan memberi batas waktu pada sistem sehingga Anda tidak perlu menunggu. Jangan sia-siakan waktumu hilang begitu saja dengan menunggu. Buat apa menunggu jika bisa ditinggal ngopi? 😀
Semoga manfaat dan barokah. Aamiin.