SAYA tidak menyangka seorang mahasiswi datang memberi tahu bahwa saya diminta menjadi juri lomba azan tingkat SMA. Mahasiswi ini salah satu panitia kegiatan Islamic Fair di kampus, yang digelar oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Islam Al Izzah Universitas Mulia selama tiga hari, 25-27 Maret 2022.
“Kok tahu saya bisa azan, dari mana Mbak?” tanya saya kepada mahasiswi itu, dua hari sebelum pelaksanaan.
Dia mengaku baru semester dua, tapi semangatnya luar biasa naik turun tangga gedung lantai empat hanya untuk menemui saya. Dia kemudian cerita bahwa dia diberitahu Bu Isa Rosita agar menemui saya.
Awalnya saya agak ragu, masak sih pilih saya? Kan banyak orang yang lebih mengerti soal azan? Apa gak salah pilih?
Karena yang menunjuk adalah Ketua Program Studi Informatika yang notabene adalah ‘atasan’ saya, maka mau tak mau saya harus manut, taat bil ma’ruf. Saya pun menyanggupi.
Saya masih tak habis pikir dari mana Bu Isa tahu saya bisa azan ya? Apakah dulu pernah mendengar saya sedang azan? Kapan dan di mana ya? Mimpi kali ya… 😀
Tepat pada waktu pelaksanaan, saya kembali dijemput oleh mahasiswi itu lagi. Naik turun tangga ke lantai empat. Saya kemudian diantar ke ruang kelas di Kampus Cheng Ho. Di sana sudah menunggu peserta, pengantar atau suporter, panitia, dan seorang juri, Ustaz Muhammad Taufik.
Saya minta langsung saja dibuka dan dimulai. Satu persatu mereka maju sesuai nomor urut. Mengucapkan salam. Memperkenalkan diri dan asal sekolah. Satu persatu langsung azan. Sampai selesai.
Ada lima kriteria penilaian yang diberikan oleh panitia. Saya wajib mengikuti apa yang diminta oleh panitia. Kriteria itu antara lain Penampilan, Vokal, Intonasi, Kefasihan, dan Adab. Bagi saya yang akan menilai dengan memberikan komponen seperti Makhraj dan Tajwid, Lagu, dan Adab.
Nah, pertama, Penampilan. Tidak ada keterangan tertulis dari panitia apa yang harus dinilai dari penampilan masing-masing peserta. Salah satu panitia memberi tahu bahwa Penampilan dengan Adab itu bisa saja sama. Tapi menurut saya tidak sama.
Penampilan itu penting. Bukan melulu soal pakaian dan kerapian, tapi juga soal kepantasan. Ingat, kegiatan ini diselenggarakan resmi oleh organisasi mahasiswa di kampus. Saat pembukaan pun dibuka oleh Rektor.
Untuk itu, peserta harus mengetahui di mana dirinya akan berlomba dan hendaknya menyiapkan diri agar mengenakan pakaian yang sesuai, memperhatikan kerapian, sopan, dan pantas untuk kegiatan tersebut. Kegiatan resmi itu, di mana saja tempatnya, mau di sekolah atau di kampus, paling aman selalu kenakanlah sepatu.
Saya melihat masing-masing peserta mengenakan pakaian yang rapi, lengan panjang, kopiah, baju Koko atau gamis. Hanya saja yang berbeda adalah ada yang mengenakan sepatu, dan ada yang mengenakan sandal. Nah, itu yang menjadi perhatian saya untuk dinilai.
Kedua, Vokal. Saya menilai vokal ini berkaitan dengan nada dan lagu. Azan di zaman sekarang ini sangat bervariasi, mungkin efek dari perkembangan Internet. Ada yang lagu Makkah, Madinah, Mesir, atau lokal Indonesia. Rata-rata seluruh peserta bagus, tapi dari delapan peserta tersebut, ada empat orang yang paling menonjol. Saya sampai bingung memilihnya.
Ketiga, Intonasi. Seorang Muadzin memang harus memiliki suara yang lantang, tapi lembut, enak didengar, dan tidak menggelagar seperti petir, duarr! Nah, dari empat orang ini, ada tiga orang yang bersuara tinggi, tapi satu di antaranya terasa keras, kurang empuk hehe…
Keempat, Kefasihan. Dari dua orang sisa ini, salah satunya cukup fasih didengarkan dari Makhraj yang dia ucapkan, mulutnya terbuka tertutup sesuai dengan huruf atau lafalnya. Saya menilai dari lafal yang dia ucapkan. Lafal itu antara lain seperti ini.
– Allahu akbar, bukan allahuakhbar (kho’) atau allahuakebar (qof). Ini saya katakan kepada mereka. Mereka juga mengakuinya. Saya tahu ada ustaz yang bersuara bagus, tinggi, dan mengajarkan cara azan yang benar juga. Tapi, dia suka melafalkan allahuakebar. Saya dengarkan berulang kali tetap dia ucapkan allahuakebar, beberapa kali begitu. Artinya memang dia begitu, ya sudah. Ini mungkin yang menyebabkan beberapa peserta meniru melafalkan allahuakebar juga.
– Bisa membedakan akhiran ‘ha’ vs ‘hak’ pada hayya alash sholah dengan hayya alal falah.
– Azan subuh ada lafal assholatu khoirum minan naum. Ustaz saya dulu memberitahu saya ketika membaca ‘naum’, maka bacaan um pendek saja, satu alif, bukan ‘nauuuuum’ panjang banget, apalagi diberi nada dan lagu. Malah terdengar aneh ya kan?
Oiya, lagu dan nada boleh-boleh saja digunakan asalkan wajar, tidak dibuat-buat sampai berlebihan, terdengar dipaksakan. Kalau sampai berlebihan, malah bagi pendengar akan terasa kurang enak sekali. Malah jadi salah niat ingin didengar dan dipuji orang.
Kelima, Adab. Seorang Muadzin haruslah orang yang memiliki adab atau perangai yang baik, budi pekerti atau akhlak yang mulia. Coba bayangkan kalau saja yang menjadi Muadzin adalah seorang pemabuk. Nah, Adab atau budi pekerti ini saya nilai secara keseluruhan, mulai dari maju ke depan, memperkenalkan diri, melantunkan azan dengan baik, dan mengakhirinya juga dengan baik.
Termasuk Adab atau etika perilaku yang baik seorang Muadzin ketika melantunkan azan, seperti mulai persiapan diawali dengan niat, kemudian bersuci wudhu, berpakaian rapi sopan dan pantas, menghadap ke kiblat, menarik nafas, menutup kedua telinga atau salah satunya, dan sebagainya.
Saya lihat ada sedikit perbedaan yang dilakukan masing-masing orang dari kelompok tertentu. Ada yang pada lafal hayya alash sholah kepala perlahan menengok ke kanan, dan hayya alal falah ke kiri, tapi ada juga yang tidak melakukan. Ada yang melafalkan kembali ashadu alla ilaha illallah wa ashadu anna muhammadarrasulullah.
Bagi saya, nilai paling tinggi adalah ketika mereka melantunkan azan tersebut membuat saya tertunduk dan bergetar. Cetar begitu. Benar. Salah satu di antara mereka berhasil menggetarkan saya. Saya kemudian tak ragu memberi nilai terbaik. Mas yang ada di foto itu juga bagus. Berkopiah, bersarung, baju hitam ala Nahdliyin. Dia juga sangat menghayati. Pantas jadi salah satu juara.
Nah, itulah penilaian dari saya. Saya sendiri sempat memberi pesan bahwa kemampuan azan seluruh peserta sudah cukup baik. Barangkali hanya sedikit belajar dan koreksi saja. Untuk itu, mereka harus benar-benar menerapkannya di masjid masing-masing. Jangan sampai masjid hanya terisi orang-orang tua saja yang menjadi Muadzin.
Saya ceritakan kepada mereka bahwa suatu ketika di sebuah masjid ketika pelaksanaan azan, yang memulainya adalah seseorang yang sudah tua. Melihat hal itu, saya mengajukan diri untuk menggantikannya. Orang tua tersebut pun berkenan.
Oke. Semoga bermanfaat.