
Anonymity, Trolling, and Cyberharassment
Teng!
Bunyi suara notifikasi di hape. Tanda ada pesan masuk di email. Ini hari masih dini hari. Pesan masuk tercatat pukul 3.02 WITA.
Saya buka, eh… ini pesan dari mahasiswa baru di Classroom. Dia baru saja mengumpulkan tugas pertama mata kuliah Teknologi Informasi.
“Hmm… rajin betul ya. Semoga semangat terus…” gumam saya, sambil membuka mata yang mengantuk berat.
Hari itu, saya sudah menerima pengumpulan sebagian tugas mereka. Ada yang ditulis sendiri, ada yang sepertinya copas dari AI.
Kok tahu dari AI?
Mudah. Biasanya menggunakan bahasa yang terlalu kaku, sangat baku, dan data yang digunakan gak lazim. Misal, dia mengaku menggunakan Reddit. Padahal, gen Z di Indonesia lazimnya menggunakan TikTok, X, atau Instagram. Jelas, ini meragukan.
Ada yang ditulis tangan. Sengaja saya minta satu kelas itu menjawabnya dengan tulis tangan. Ditulis pada selembar kertas, dipotret, dikumpulkan dalam format PDF.
Tapi, saya menyesal sekali setelah susah membacanya. Tulisan tangannya itu tidak bisa dibaca. Susah sekali. Style-nya melebihi tulisan resep dokter.
Mereka menulis apa sih?
Mereka menulis jawaban dari dua pertanyaan essay, yang saya kutip dari buku yang ditulis Joseph Valacich dkk. Judulnya, Information Systems Today, Managing in the Digital World, 9th Edition, terbitan Pearson Education Limited tahun 2023 hal 237.
Buku ini menjadi referensi kuliah hari itu lantaran membahas tentang peran teknologi informasi (TI) dan sistem informasi (SI) dalam mempengaruhi dunia bisnis modern. Sangat cocok dengan RPS.
Buku ini menggunakan studi kasus nyata untuk memperkenalkan topik-topik terkait TI dan memberikan pemahaman praktis tentang pentingnya sistem informasi dalam menciptakan nilai kompetitif.
Nah, di buku ini ada topik yang relevan dengan kehebohan yang sedang viral akhir-akhir ini, tentang anonimitas, trolling, dan cyberharrasment.
Disebutkan, di Internet, seringkali ditemukan seseorang menggunakan nama samaran (pseudonim), akun fiktif (fictitious account), atau server proxy untuk menyembunyikan jejak online.
Mereka menggunakan anonimitas untuk tujuan untuk perlindungan privasi, terhindar dari penindasan, dan manfaat lainnya, baik secara individu dan/atau secara komunitas.
Sayangnya, penggunaan anonimitas oleh seseorang seringkali mendorong munculnya sisi negatif. Awalnya berbuat iseng, genit, nakal, kurang ajar, meningkat bengis dan kejam, mudah menghakimi, sampai-sampai hal tergelap manusia seperti genosida.
Kenapa?
Ini yang disebut dengan masuk ke dalam kondisi deindividuasi, yaitu hilangnya kesadaran diri yang seringkali menyebabkan perilaku antisosial. Dia lupa siapa dirinya yang sebenarnya ketika dalam keadaan anonim.
Kita mungkin pernah membaca berbagai postingan yang menyudutkan pada sebuah forum di Internet. Diskusinya juga tidak menyenangkan, bahkan terjadi perkelahian di forum itu, tulis Valacich.
Orang-orang anonim ini kemudian sering menunjukkan intoleransi. Mereka marah terhadap orang lain yang mereka anggap jahat atau salah hanya karena berbeda pendapat. Orang-orang yang marah ini sering disebut sebagai troll.
Troll adalah orang yang menciptakan perselisihan di internet. Troll membuat orang lain kesal, memposting konten yang menghasut dengan maksud untuk memprovokasi pembaca agar memberikan respons emosional. Seringkali untuk kesenangan troll itu sendiri.
Nah, sebagian besar troll ini beroperasi secara anonim, melakukan pelecehan siber (cyber harrasment), yakni menggunakan internet untuk menguntit atau melecehkan seseorang, kelompok, atau organisasi.
Meski demikian, tidak semua orang akan berperilaku antisosial hanya karena mereka anonim. Lantaran hal itu dipengaruhi oleh karakter, kepribadian, pengalaman, atau norma sosial di lingkungan mereka.
Itulah, hanya kutipan dari bukunya Valacich… sebuah pengantar etika di pertemuan pertama.