
Ada yang bertanya heran, kenapa sekarang saya menulis kembali. Tidakkah ini basi? Mungkin dia tidak tahu, hampir setiap hari saya menulis. Ini kan pekerjaan. Memang, beberapa waktu ini saya getol menulis kembali tulisan-tulisan untuk publik lewat blog, kemudian saya bagi di obrolan daring dan media sosial.
Dari sana, saya mendapatkan berbagai macam reaksi. Ada yang memberi jempol dan membaca. Ada yang hanya memberi jempol, mengklik iklannya saja, tapi tidak membaca. Ada yang mengatakan saya haus pengakuan dan butuh perhatian. Macam-macam reaksinya. Padahal sebenarnya biasa saja.
Yup. Blog ini “asal tulis”, tapi terbuka untuk disponsori maupun dipasangi iklan berbayar, seperti Google Adsense. Eh, omong-omong, saya sedikit menyesal termasuk terlambat memanfaatkan Adsense. Padahal, mestinya mengambil kesempatan sejak dulu.
Kali ini, girah saya untuk menulis ‘meledak’ kembali sepulang dari liburan dan membuat konten video cerita perjalanan mudik di Youtube. Disana, saya belajar memberi narasi pada video. Nah, membuat narasi ternyata butuh skenario, butuh ditulis lebih dulu.
Suatu ketika dalam satu sesi obrolan daring, seorang teman memperlihatkan foto-foto karyawannya bekerja. Mereka diajari cara bermain Internet, media sosial, dan Admob. Dia mengaku, semua karyawannya yang ibu-ibu itu dibayar setengah UMR. Upah itulah hasil mereka bekerja, dengan modal laptop mereka sendiri.
Tapi, teman saya itu ingin belajar pada saya bagaimana memasang Adsense pada situsnya. Ini jelas aneh sekali. Rasanya tidak masuk akal, ya kan?
Semakin aneh, justru saya yang menjadi penasaran. Saya kemudian menyerah, dan menyanggupi berbagi dengannya. Saya ajari Adsense. Dia ajari Admob. Ih, lucu sekali kan? Dia orang udik.
Maka, jadilah blog ini dengan aneka iklan Adsense. Blog yang muncul di saat blog-blog yang lain mati suri. Lihatlah Friend List blog ini. Itu adalah kenalan, kolega, dan teman saya. Blognya masih mending. Jarang update. Isinya menyatu dengan pekerjaan mereka sehari-hari. Mereka bapaknya milenial.
Mereka itu ada yang jurnalis, profesional, berpengalaman, karya dan portofolionya tersebar dimana-mana. Pekerjaan mereka memang menulis, meneliti, mengelola staf dan karyawan, sampai mengurus gaji mereka.
Sekali waktu, kadang menjadi freelancer. Mencari data, observasi, survey, menganalisis, merancang, menulis program, menguji, dan membuat laporan. Itu semua baru sebagian pekerjaannya. Mereka juga suka menulis proposal dan kontrak. Tapi suka tidak lupa mengirim surat tagihan. Semua itu juga menulis.
Gus Mus, sapaan akrab KH Ahmad Mustofa Bisri, mengatakan bahwa tulisan-tulisan yang ditulisnya adalah “asal tulis”. Gus Mus menyebut hal itu dalam bukunya “Pesan Islam Sehari-hari”. Semua tulisannya itu bermula dari dorongan dalam dirinya. Gus Mus menyebut dirinya adalah seorang Muslim yang suka menulis.
“Pikir saya, paling tidak saya mempunyai catatan untuk diri saya dan keluarga saya sendiri; syukur ada saudara-saudara saya yang lain yang juga berkenan membacanya,” sebut Gus Mus.
“Bagi saya, asal tidak ada di antara tulisan-tulisan saya itu yang membuat Allah marah, sudah cukup. Semoga,” sebut Gus Mus. Betul sekali, itu yang perlu digarisbawahi.
Sementara itu, pak Mohamad Sobary, budayawan yang sejak era ‘90an saya baca tulisan-tulisannya di media massa, mengatakan bahwa tiap buku kumpulan, juga kumpulan kolom – siapapun penulisnya – selalu tampil dalam wajah serba plural. Wajah plural itu membuat tiap jenis kumpulan tulisan memiliki watak seperti sebidang taman bunga.
“Disana warna-warni bunga mekar. Dalam tiap kumpulan tulisan pun warna-warni persoalan dibahas,” tulisnya.
Yup, inilah yang saya kira menggambarkan media saya ini, mirip seperti sebidang taman bunga, asal tulis, tapi selama tidak membuat Allah marah. Mendekat pada berkah. Menjauh dari menyinyir.
“Barangsiapa terlalu nyinyir justru selalu terbukti, merekalah yang mengkhianati makna persatuan dan kesatuan itu untuk membikin tatanan selalu dalam suasana “horeg”, ricuh, kacau, khaos, gelisah, “unrest”, dan sesudahnya untuk dengan bangga berkata: harap semua pihak tenang, harap semua pihak menahan diri,” sebut pak Sobary.
Menurut pak Sobary, di tangan Gus Mus, tiap soal tak lepas dari sentuhan dan cara pandang keagamaan. “Ia di sini seolah hendak menegaskan kepada kita betapa luas jangkauan agama, dan bahwa hidup ini pun, ia tetap tak lepas dari urusan agama,” tulisnya.
Yang jadi pikiran saya adalah, kumpulan tulisan-tulisan itu adalah tulisan lawas, termasuk tulisan pak Sobary yag ditulis tahun 1996, meski buku baru terbit tahun 2018. Aneh. Masih relevan dengan kondisi sekarang. Apa ada pembaruan?
***