Alhamdulillah. Perkuliahan selama satu semester Genap 2019/2020 akan berakhir pekan ini. Terbayang, kesibukan sana-sini sudah melintas di kepala. Walau masih ada satu kelas lagi yang belum kelar, tapi pekan ini pekerjaan mengoreksi sudah harus DICICIL. Mengoreksi ujian, tugas, kuis, presensi kehadiran, plus nilai ETIKA yang memiliki bobot 15%.
Mengapa nilai ETIKA ini PENTING dan menjadi bagian Nilai Akhir?
Menurut Peraturan Rektor UM no. 001/Per/Rektor/UM/I/2020 tentang Tata Aturan Penilaian Pembelajaran di Lingkungan Universitas Mulia tanggal 7 Januari 2020, menyebutkan bahwa Penilaian dilakukan berdasarkan komponen Sikap dan Pengetahuan dengan proporsi 25% Sikap dan 75% Pengetahuan. Rinciannya, komponen Sikap terdiri atas Kehadiran (10%) dan Etika (15%). Sedangkan komponen Pengetahuan terdiri atas Tugas (15%), Kuis (15%), UTS (20%), dan UAS (25%).
Secara pribadi saya sangat setuju pemberian nilai ETIKA menjadi bagian dari nilai akhir. Dari pengalaman sebelumnya, saya pernah mengeluh tentang betapa beratnya memberi nilai akademik saja tanpa memperhatikan attitude. Saya melihatnya langsung di kelas. Ini beban moral. Cieleh…
Penilaian seperti ini sarat dengan LIKE and DISLIKE, suka dan tidak suka saja. Ini berbahaya bagi mahasiswa yang sudah dicap dosen tertentu. Saya pernah melihat hal ini. Setiap kali mahasiswa itu mengulang, setiap itu pula nilainya berakhir tidak lulus. Terus berulang 3 kali.
Bagaimana jika tidak melihat langsung di kelas, apakah masih bisa menilai ETIKA ketika kuliah ONLINE?
Tempo hari saya memeriksa paper salah satu mahasiswa. Judulnya sangat bagus. Saya sampai harus membaca ulang beberapa kali sampai paham judul tersebut. Itu baru judul saja. Ketika baca isinya, saya menemukan bahasa Indonesia yang tidak terstruktur. Kosa kata tersusun melompat-lompat. Ada yang tidak sambung. Nah, disinilah terasa manfaat pentingnya belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Saya kemudian sadar bahwa paper yang saya baca ini hasil terjemahan, apalagi kalau bukan Google Translate. Paper saduran yang diubah sedikit obyek risetnya. Dan yang paling fatal adalah dihapus dan diganti nama penulis aslinya. Dari penelusuran, akhirnya diketahui ada beberapa penulis aslinya. Ada pakar, ada saintis, tapi dengan gampang diganti nama satu orang mahasiswa ini. Alamak!
Termasuk beberapa hari yang lalu memeriksa PROPOSAL SKRIPSI yang penuh dengan COPY-PASTE. Saya sampai memintanya memperbaikinya. Setiap kali diajukan kembali, saya temukan tanpa perbaikan. Terus berulang begitu tanpa ada perbaikan. Saya merasakan, inilah dosen pembimbing yang diabaikan bimbingannya.
Jadi, saya rasa ini soal ETIKA yang harus menjadi bagian nilai penting. Saya yakin setiap dosen atau pengajar memiliki karakter dan cara sendiri untuk menilai ETIKA mahasiswanya. Inilah bagian penting pendidikan. Seperti dijelaskan dalam Peraturan Rektor, nilai ETIKA bisa diambil dari budi pekerti mahasiswa tersebut, bisa dari ketepatan waktu mengikuti kuliah online, atau antar mahasiswa yang saling memberi nilai (nilai sejawat). Masalahnya, ini sulit diterapkan di kuliah ONLINE.
Menurut saya, yang paling mudah adalah menilai ETIKA itu berasal dari KONSISTENSI, dari apa yang sudah jelas mereka SEPAKATI. Dan ada buktinya. Apa itu?
Mereka harus sepakat dengan pernyataan ini setiap kali mengerjakan UJIAN atau TUGAS ONLINE, misal begini:
Dengan ini saya menyatakan bahwa jawaban UTS/UAS ini saya isi secara mandiri dan dengan sejujur-jujurnya dari lubuk hati yang paling dalam sesuai hasil belajar saya, tanpa plagiasi atau menyontek jawaban teman/orang lain. Apabila terbukti plagiasi, maka saya siap menerima sanksi berupa pengurangan nilai sebesar 70%.
Bagaimana mengetahui mereka melakukan PLAGIASI?
Ada banyak cara, metode, alat, bahkan tools yang bisa dimanfaatkan seperti Google, Turnitin, Plagscan, bahkan Researchgate apabila bentuknya berupa paper. Saya sendiri membuat aplikasi sederhana untuk mencari PLAGIASI kode pemrograman. Dengan aplikasi ini, saya menemukan kode-kode program yang sama persis hasil COPY-PASTE. Ini sangat memudahkan dan membantu mengoreksi ratusan berkas digital.
So, ya… jika siswa atau mahasiswa sudah menyatakan SEPAKAT tapi kenyataannya TIDAK, maka ini menjadi bagian dari komponen nilai ETIKA. Meski bobotnya hanya 15%, tapi SANGAT mempengaruhi komponen lainnya. Jadi sebenarnya ETIKA ini besar bobotnya.
Untuk mendapatkan nilai, Turnitin sangat bagus memberikan penilaian berupa persentase. Beberapa perguruan tinggi ada yang memberikan batasan 30% plagiasi, atau bahkan kurang dari itu. Semakin kecil persentase plagiasi, semakin bagus paper itu. Sayang, untuk menggunakan Turnitin harus berlangganan, tidak gratis.
Tidak menggunakan Turnitin karena berat di ongkos ya tidak apa-apa. Tidak perlu berkecil hati karena keterbatasan. Masih ada cara lain mengoreksi dengan gampang dan memberikan nilai secara OBYEKTIF dan EDUKATIF.
Sedikit cerita, saat kuliah ONLINE, siapapun pengajarnya tidak bisa melakukan OBSERVASI atau mengamati mahasiswa secara langsung seperti laiknya di kelas. Meskipun di layar tampak mahasiswa sedang memperhatikan, tapi kadang itu
palsu. Seringkali ketika sedang cas-cis-cus di depan layar, pada kenyataannya mahasiswa tidak menyimak. Ini bukan asumsi. Ini nyata dan ada bukti rekamannya.
Rekaman kuliah ini kadang saya gunakan untuk pelaporan bahwa hari itu saya melaksanakan perkuliahan ONLINE. Laporan ini menjadi PRESENSI atau bukti kehadiran bahwa saya telah mengajar. Memang, administrasi tidak membutuhkan video, tapi cukup tangkapan layar saja. Masalahnya, saya kadang lupa tidak Take-Screenshot. Nah, rekaman ini menjadi bentuk KESIAPAN saya. Inipun sudah jamak dilakukan PNS/ASN usai mengikuti upacara ONLINE dengan mengirimkan bukti foto atau video.
Ketika pelaksanaan kuliah ONLINE, saya tetap menjalankan perkuliahan NORMAL seperti biasa. Semua rekaman kuliah terdokumentasi dengan baik. Ini juga menjadi kebiasaan baru, NEW NORMAL. Usai kuliah, saya upload dokumentasi di Playlist Channel YouTube saya.
Seiring berjalannya waktu, di tengah kondisi wabah yang makin hari makin meluas ini, saya tetap mengajar seperti biasa. Bahkan, saya merasakan tanggung jawab mengajar ONLINE luar biasa lebih berat jika dibanding dengan OFFLINE di kelas sebelumnya. Mengapa? Ini lantaran menyiapkan materi ONLINE tidak semudah yang dibayangkan, apalagi di masa darurat wabah virus korona dan situasi yang sulit diprediksi dan tidak menentu. Bahkan, ke depan masih banyak kemungkinan terjadinya perubahan dan ketidakpastian.
Apa yang bisa saya lakukan di tengah lautan perubahan dan ketidakpastian ini? Seorang pakar mengatakan, lakukan ADAPTASI, ya… berusaha adaptif terhadap situasi dan kondisi yang berjalan saat ini.
Salah satu usaha adaptif itu adalah melihat KEPASTIAN. Di awal semester ketika hari pertama masuk kuliah, saya pernah menyampaikan dalam kontrak kuliah bahwa nilai akhir akan diambil dari 4 komponen saja, yaitu tugas, kuis/UTS, UAS, dan presensi kehadiran. Kontrak berubah seiring masuknya masa darurat Covid-19 saat itu. Pembelajaran yang berlangsung di kelas yang baru berjalan 1-2 pekan, berubah menjadi Online. Dengan kondisi tersebut, saya harus SIAP.
Kuliah terus berjalan di tengah perubahan-perubahan yang terjadi dalam kurun 1 semester ini. Dari 16 pekan tatap muka, berubah menjadi 12 pekan saja. Nilai akhir yang semula saya ambil hanya 4 komponen saja, kini menjadi 6. Saya harus SIAP.
Satu KEPASTIAN yang terlihat saat ini adalah sudah menerima surat pemberitahuan dari LLDIKTI 11 bahwa laporan Semester Genap 2019/2020 harus sudah kelar sebelum tanggal 15 Juni 2020! Dengan adanya tanggal KEPASTIAN ini, kita terus menyelesaikan pekerjaan secara NORMAL dan ADAPTIF.
Inilah sepenggal cerita di tengah gelombang KETIDAKPASTIAN: ada TEKNIK, CARA, atau METODE sebagai bentuk ADAPTIF kita. Ada KESIAPAN di dalam menyambut KEPASTIAN.
Semoga Allah paring sukses barokah. Aamiin.