Tahun ini bagi saya menjadi catatan sejarah perjalan mudik yang berbeda jika dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ya, hampir semua orang sudah faham dengan kondisi saat ini: wabah virus korona melanda di hampir seluruh negara di dunia.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Jawa Timur dan Bali adalah tujuan silaturahim perjalanan mudik saya bersama anak dan istri. Tujuan mudik biasa di Surabaya, kemudian ke Japanan Porong, Pare, Kediri, dan Srengat Blitar. Di kota inilah keluarga orang tua saya tinggal. Usai mudik, saya biasa mencari alternatif jalan pulang. Biasa mengambil jalan dari Bali menuju ke Kalimantan.
Di perjalanan inilah kadang yang membuat hati ini rindu, suasana seru, membuat adrenaline naik turun. Ada perjuangan berat yang mengharu-biru. Di tahun 2015 ada pengalaman kecut berebut naik pesawat di Bandara Sepinggan. Menunggu keberangkatan dari pagi sampai tengah malam yang melelahkan. Situasinya mirip seperti berebut naik bus antar kota. Penumpang sulit diatur. Lucu, tapi itulah fakta. Yang jelas ada banyak cerita mudik di tahun-tahun berikutnya.
Tahun 2017 malah saya harus memutar lewat Jakarta ke Surabaya. Mau tak mau, suka tidak suka saya membeli tiket Balikpapan ke Jakarta lebih dulu untuk kemudian menuju Surabaya. Pasalnya, di saat itu tidak ada pilihan tiket mudik lagi karena sudah habis.
Terakhir tahun 2019 kemarin. Ketika ada tiket gratis dari BUMN, saya mencoba untuk ikut antri tiket. Ternyata peminat tiket lebih banyak dari yang saya perkirakan. Membludak, berjubel, berkerumun, berebut tiket gratis, dan sulit sekali diatur petugas pembagi tiket. Sampai saja petugas emosi dan mengancam membatalkan pembagian tiket gratis.
Meski sempat terjadi silang sengkarut antara petugas dengan calon pemudik, tapi dalam waktu satu jam tiket mudik gratis ludes. Selain karena tiket ludes dan tidak kebagian, saya urung mengambil tiket karena jadwal keberangkatan kapal tidak sesuai dengan masa cuti kerja.
Mudik, bagi saya memiliki kesan dan pesan sendiri sehingga sering saya abadikan dalam bentuk video dan foto yang sebagian sudah masuk di Channel YouTube saya. Meski ada sebagian dokumentasi yang hingga sekarang masih belum dilakukan editing lantaran butuh effort dan waktu yang melelahkan.
Momen-momen mudik itu rasanya melekat dalam benak saya. Untuk mengingatnya, kadang saya membuka kembali dokumentasi yang tersimpan di hard-drive. Diawali tahun 2015 sampai dengan 2019. Di tahun 2014 mundur ke belakang, sebenarnya ada dokumentasi, tapi tidak tersusun rapi.
Tidak heran, dalam suasana wabah virus korona tahun ini, saya memendam rasa untuk mudik. Sebagai gantinya, saya mendaftar tiket mudik digital dari detik.com. Penasaran saja. Saya pilih nebeng dengan Bus Jakarta Surabaya. Keberangkatan tanggal 21 Mei 2020 yang lalu. Setelah mengikutinya, alamak, mudik virtual ini ternyata berbeda dengan yang saya kira. Yah, namanya saja virtual, tapi lumayan cukup menghibur kerinduan yang membuncah untuk mudik, bertemu dan bercanda dengan orang-orang Surabaya yang medok.
Sedikit cerita pengalaman terkait perbedaan orang Surabaya asli dengan orang yang tinggal di kota kabupaten di Jawa Timur. Meski secara bahasa sama, sama-sama ngoko, tapi saya hampir bisa mengenali orang Surabaya asli dengan orang Jawa Timur lewat gaya berbicaranya, terutama logat yang medok dan style-nya.
Misal, orang Surabaya dengan Malang. Lihat saja, keduanya punya gaya dan logat yang berbeda. Surabaya dengan Solo misalnya, meski orang Solo menggunakan bahasa ngoko dan syle-nya mirip orang Surabaya, tapi ada ciri khusus yang terlihat, seperti… ini agak sensitif, orang Surabaya itu ceplas-ceplos, gaya ini tidak dimiliki orang Solo yang terkenal kalem dan lemah lembut. Bisa saja orang Solo memaksakan diri ceplas-ceplos, tapi… masih terlihat kok bedanya di karakter. Bener deh.
Nah. Mengenal orang-orang berdasarkan daerahnya masing-masing inilah yang membuat saya tertarik untuk memanfaatkan waktu mudik. Ada beberapa catatan saya tentang mudik. Bahkan sempat ada ide untuk membukukannya.
Di Makassar, walaupun hanya satu hari, saya mengobrol panjang lebar dengan salah satu orang asli Makassar. Arti sebuah kata dalam bahasa Makassar dipengaruhi logat yang kental, tekanan nada yang naik turun. Contohnya, kita dan kita. Ayoo… bedain nadanya. Pasti beda artinya.
Pengalaman perjalanan mudik dari satu daerah ke daerah lain, kemudian berbaur dengan penduduk asli daerah tersebut, membuat saya ingin menuliskannya. Saya butuh kerja keras untuk menyusun bukunya. Indonesia ini terlalu luas dan kaya untuk dipelajari dan ditulis. Memang sih, harus ada tekad dan komitmen untuk menulisnya.
Alhamdulillah. Tepat di Hari Lebaran kemarin, 25 Mei 2020, saya berhasil mudik virtual dengan Ibu, Bulik, Paklik, dan saudara. Sama halnya mudik di tahun sebelumnya. Asal domisili dari Bontang, Balikpapan, Surabaya, Japanan, Kediri, dan Srengat Blitar. Kota yang terakhir ini yang gagal terhubung karena versi aplikasi WhatsApp yang berbeda. Satu lagi gagal terhubung karena dalam perjalanan. So, cukup 6 keluarga saja.
Teknisnya, saya yang mengatur pertemuan, mengkonfirmasi kesiapan, mengingatkan agar memasang WhatsApp yang terbaru, memulai pertemuan, menghubungi yang belum hadir, dan lain sebagainya. Ya. Saya menggunakan WhatsApp mengingat mereka adalah orang-orang tua yang sehari-harinya hanya mengandalkan WhatsApp untuk berkomunikasi.
Jika menggunakan Zoom atau Google Meet, saya khawatir malah tidak bisa berjalan dengan mulus, kecuali untuk orang-orang yang memang sudah siap baik dari sisi teknologi maupun keterampilan.
Termasuk reuni dengan teman-teman SMA yang kini berdomisili tersebar di beberapa kota di Indonesia. Meski yang hadir hanya 4 orang saja, tapi setidaknya mewakili kotanya masing-masing, dari Balikpapan, Surabaya, Semarang, dan Bandung. Mereka mewakili kerinduan untuk bertemu bertatap muka. Di tahun 2018 yang lalu, mereka belum sempat bertemu di Surabaya saat itu.
Semoga Allah paring manfaat barokah. Aamiin.