MEMBACA buku karangan seperti ini bagi saya selalu menemukan bagian yang kadang saya sepakat, tapi juga ada bagian yang saya tidak sepakat. Mengapa? Ini karena penulis adalah manusia biasa, hanya saja memiliki kecerdasan dan kemampuan yang berbeda, mungkin di atas rata-rata.
Ciri manusia biasa itu tidak lepas dari kesalahan. Dia bukan seorang nabi yang dimuliakan dan tidak maksum, maksudnya, tidak lepas dari kesalahan. Sebagai pembaca, sah-sah saja jika ada yang tidak sepenuhnya sepakat. Lha wong buku ini bukan kitab suci kok.
Saya pernah melakukan kritik buku tentang pengasuhan anak yang ditulis penulis asing. Buku ini terjemahan Bahasa Indonesia. Salah satu penggemarnya meluruskan maksudnya dan memberikan sanggahan ke saya. Menurutnya, buku itu terjemahan sehingga ada perbedaan pemahaman. Saya disuruh menghubungi penulisnya.
Di perguruan tinggi, soal kritik mengkritik karya ilmiah adalah hal yang biasa. Lumrah. Malah disana dikembangkan sikap kritis, kreatif, bebas menciptakan karya dan inovasi. Tentu saja bukan karya sembarang karya. Dia harus memenuhi kaidah ilmiah, state-of-the-art, dilarang plagiat dan bohong, dan sebagainya. Ini penting sekali.
Saya pun membuka diri pada kritik mahasiswa. Kemarin saya dikritik, malah dimarahi dengan tanda seru, katanya saya memberikan soal yang salah. Saya diminta memperbaiki soal menurut dia. Setelah saya cek, sebenarnya dia lah yang salah. Ini menarik. Insyaallah nanti akan saya bahas di artikel lain.
Kembali ke buku Marie Kondo, ada bagian-bagian yang membuat dahi saya berkerut tajam. Di halaman sampul, misalnya, Dee Lestari menulis, “… buku ini bahkan bisa mengubah hidup Anda.”
Banyak orang membuat video YouTube dengan kata-kata serupa, misalnya, Inilah 10 Buku yang Mengubah Hidup Saya. Menurut saya sih, ini bahasa marketing, bahasa menjual barang dan jasa. Penjual biasa menggunakan bahasa bombastis, bahasa bersayap agar mengundang ketertarikan orang berpikir sehingga memberikan perhatian.
Tapi jika dibuat serius, menurut saya, istilah mengubah hidup itu sebenarnya adalah berawal dari diri sendiri, bukan buku. Buku tidak bisa berbuat banyak. Lha wong benda mati. Betul gak? Jadi, sebetulnya yang mengubah adalah diri sendiri. Bisa karena cara berpikirnya, perkataannya, dan/atau tindakannya. Ini sudah sesuai QS Ar Ra’d ayat 11.
So, ya… hikmah dari tulisan Dee itu membuat saya berpikir dan menemukan ayat yang sesuai. Artinya, saya juga belajar dari apa saja yang saya temui dai sebuah tulisan yang membuat dahi berkerut.
Saya akui, Marie Kondo adalah seorang yang ahli di bidang kerapian benda-benda di rumah. Walaupun saya tidak pernah tahu orangnya dan tidak pernah berkunjung ke rumahnya, tapi dari bukunya ini menyebutkan dia adalah konsultan kerapian. Selain itu, saya menilai tulisannya memang sangat mempengaruhi dan meyakinkan pembaca.
Di halaman 172, ia mengaku bahwa ia sadar sejak kecil tidak boleh bergantung kepada orang lain. Ia juga ingin dipuji dan diperhatikan orang tuanya.
“Sejak kelas satu SD, saya menggunakan jam beker supaya bisa bangun sebelum yang lain. Saya tidak suka bergantung kepada orang lain, susah mempercayai orang lain, dan tidak mampu mengungkapkan perasaan,” tulisnya.
“Karena tidak mudah percaya kepada orang lain, saya memiliki keterikatan yang kuat pada benda-benda… Benda-benda ragawi dan rumah sayalah yang mengajari saya untuk menghargai kasih sayang tanpa pamrih, bukan orang tua ataupun teman-teman saya…” tulisnya, masih di halaman yang sama.
Nah, dalam satu halaman ini saja saya sebagai pembaca dibuatnya bingung. Coba baca sekali lagi, sejak kecil dia tidak boleh bergantung pada orang lain. Dengan tidak boleh bergantung pada orang lain itu, Ia merasa orangtuanya, terutama ibunya tidak sayang padanya. Haem… pembaca mesti berpikir, nggak begitu juga kelesss… maksudnya…
Yup, dia memang mengakui kekurangan itu pada dirinya, mengaku dulu sangat kurang percaya diri akibat didikan atau salah paham dengan orang tuanya, tapi sekarang dia telah berubah sehingga bangga dengan lingkungannya, dengan benda-bendanya yang rapi, dengan orang-orang yang menggembirakan di sekelilingnya.
“Barang-barang dan orang-orang yang menggembirakan saya adalah penyokong saya. Berkat merekalah saya percaya bahwa saya akan baik-baik saja. Saya ingin membantu orang-orang lain yang merasa seperti saya dahulu, yang kurang percaya diri dan sulit membuka hati kepada orang lain,” tulisnya di halaman 173.
Marie Kondo ingin meyakinkan orang yang mengalami penderitaan yang sama, orang-orang yang tidak percaya diri agar berubah seperti dirinya melalui lingkungan sekitarnya dan kerapian barang-barang yang ada di tempat tinggal mereka.
Terus terang, saya belajar ilmu beres-beres Marie Kondo yang diberi nama KonMari ini. Betul sekali, saya menemukan orang yang sulit sekali beres-beres.
Semoga saya bisa menerapkan. Thanks!