Rabu malam menjelang tidur pukul 22.00, saya gelisah. Dada terasa sedikit nyeri, panas. Nafas tersengal. Apakah ini tanda K0p1t memburuk? Ah, saya menepis kekhawatiran itu. Saya kemudian melanjutkan tidur kembali.
Sambil menatap langit kamar, saya kembali berpikir usai tes antigen siang hari itu. Kontak WA Kemenkes centang hijau mengirim pesan bahwa saya positif. Sesuai petunjuk Kemenkes, saya isolasi mandiri dan diminta konsultasi dokter lewat aplikasi telemedisin yang terdaftar Kemenkes.
Baru kali inilah dimulainya babak baru saya konsultasi dokter online. Unduh di Play Store dan konsultasi. Masukkan voucher yang diterima dari Kemenkes agar konsultasi gratis. Saya pilih dokter umum.
Saya kemudian tanya-tanya dokter, em… lebih tepatnya ditanyai dokter dan harus saya jawab. Akhirnya saya disarankan dokter isolasi terpusat dan diberi paket resep. Pertimbangannya, karena usia saya memenuhi syarat isolasi dan adanya penyakit penyerta.
Malam itu saya buka lagi catatan konsultasi dengan dokter tsb. Panjang banget tulisannya. Gimana nulisnya ya, kok bisa cepat banget langsung banyak gini? Pikirku. Sepertinya banyak yang copas. Mungkin ada template. Dokter tinggal copas dan pasien harus baca lebih dulu sebelum konsultasi dan masuk tahap pemberian resep.
Lantaran cukup banyak pesan dokter tersebut, saya langsung mencari bagian yang paling relevan: obat dan apa yang harus saya lakukan. Mirip nonton video tutorial di YouTube: skip-skip bagian yang tak relevan hehe… Maklum, sampai tengah malam itulah saya belum minum obat k0p1t.
Mau minum bodrex lagi, buat apa? Lha wong sudah tidak ada demam. Hanya saja nafas ini terasa agak berat. Sudah jam segini juga obat yang dikirim Kemenkes belum juga datang. Lagian ngapain sih ditunggu? Ini kan urgent. Mendesak. Jangan meremehkan! Begitu kata dokter tempo hari di rumah sakit memberi pesan.
Jangan meremehkan, kata dokter itu seperti sebuah punch down! Makceplak! Menohok sekali rasanya!
Saat di malam itulah, saya baru sadar benar-benar tidak tahu kondisi tubuh yang sebenarnya. Tidak bisa juga merasakan tanda-tanda keanehan tubuh. Hanya batuk-batuk yang kalau ditahan bisa nyembur dari mulut dan ambyar. Saya tidak tahu suhu tubuh sendiri apakah aman di kisaran 36 atau kritis di atasnya.
Saya juga tidak tahu berapa saturasi oksigen yang tersisa. Apakah ada lendir di dada dan tanda-tanda lain-lainnya. Saya tidak tahu semua itu. Tidak ada alat apapun di rumah yang bisa membantu melihat, mengontrol, mengelola, dan mencetak laporannya. Saya tidak mau ambil risiko. Saya bergegas bangun dari kasur malam itu dan berangkat menuju rumah sakit.
Di ruang sebelah kulihat ibunya anak-anak sudah tidur pulas. Bareng si ragil. Aku jawil dia. Maaagh… eh, nggak begitu sih… iih… enggak… ehgr…
“Antarin ke rumah sakit. Dadaku panas. Bawa kartu BPJS,” kataku setengah berbisik.
Kami berdua bergegas. Naik motor. Saya bonceng ibunya anak-anak menuju rumah sakit provinsi yang ada di dekat rumah. Wush… sedikit ngebut, tapi enggak ngebut kok. Ngebut sih. Mirip diburu pemburu rente…
“Positif. Dada sesak. Butuh penanganan cepat,” kata ibunya anak-anak kepada petugas keamanan ketika sampai di depan pintu Unit Gawat Darurat. Petugas berseragam coklat mirip seragam pak polisi itu membukakan pintu. Dia mengarahkan istri mengurus administrasi lebih dulu. Sedangkan saya diantar menuju tempat tidur beroda itu.
Wah… Cepat banget ya layanan rumah sakit ini. Top lah petugasnya pada all-out. Gumamku.
Sebenarnya, ini yang saya suka dari istri. Ssst… jangan bilang siapa-siapa loh… Begini. Soal anak-anak sakit, misalnya, dia yang paling perhatian. Termasuk, menjadi sangat perhatian pada saya usai saya disemprot dokter akibat lama tidak kontrol berobat. Oke Dok! Maaf. Jangan marah. Laa tagdhob falakal jannah. Hihihi…
Itulah kenapa selama dua minggu ini, saya dituntutnya harus taat dan disiplin minum obat. Setiap sebelum dan sesudah makan, saya disuruhnya minum obat. Bener. Disuruh istri, gaes! Begh…
Dia selalu ingat kata dokter yang kemarin bilang begini: Jika tidak minum sesuai dosis, misalnya, 3x dalam sehari, tapi diminum cuma dua atau sekali, maka justru akan sulit sembuh. Jangan seenak udel lo!
###
“Gimana, BPJS-nya bisa?” tanyaku pada ibunya anak-anak duduk di pinggir tempat tidur beroda empat itu. “Bisa,” katanya menahan kantuk. Syukurlah. Sebab tempo hari tidak bisa. Diharuskan ke Puskesmas lebih dulu. Baru dirujuk ke rumah sakit kota. Kalau dirujuk lagi ke provinsi.
Saya diukur tensi. Seingatku 140/90. Masih normal ya. Begitu juga saturasi masih 98. Normal. Pergelangan tangan mulai dipasang gelang berlabel. Ada nama saya di label itu. Tanda sekarang sebagai pasien yang harus dirawat di rumah sakit.
Syukurlah. Berarti saya harus siap opname. Gapapa. Sekalian saja. Daripada risiko ya kan? pikirku.
Kemudian dokter yang jaga malam itu datang. Wajahnya tidak asing. Termasuk tenaga kesehatan yang baju kurung hijau itu. Meski bermasker, saya masih mengenal wajahnya. Mereka juga tampak mengenal saya. Merekalah yang menolong anak ragil saya tahun lalu ketika muntah darah. Saya masih terkesan dengan pelayanan, keramahan, dan kecepatannya.
“Saya positif Dok, gejalanya Senin (28/2) kemarin, tapi baru tes Rabu (2/3) hari ini. Malam ini dada nyeri. Belum ada minum obat sama sekali. Hanya minum bodrex kalau pas demam,” kata saya.
Dokternya mangut-mangut mendengarkan. Dia minta ditunjukkan hasil tes antigen. Dia tampak berhati-hati dan cukup berpengalaman. Saya dimintanya periksa darah di lab lebih dulu.
Malam itu, saya diambil darah di lengan dan foto ronsen area dada. “Dipeluk Pak, tarik dan tahan napas, kepala mendongak ke atas,” kata petugas bagian radiologi. Cekrek! Mirip bunyi foto tustel.
Usai menunggu hasil pemeriksaan lab, dokter datang. “Bapak normal, yang turun ini trombosit. Di sini 142, mestinya 150, tapi ini masih tidak apa-apa, kecuali kalau turunnya jauh di bawah itu,” kata dokter.
Menurutnya, trombosit bisa saja turun jika kondisi memburuk, tapi juga bisa naik. Dan kemungkinan untuk sembuh juga sangat tinggi. Saya jadi teringat dari banyaknya kasus saat ini lebih ringan dan cepat pulih. Seperti flu biasa.
Saya juga mengamati reaksi orang-orang ketika mendengar seseorang terpapar atau positif k0p1t juga saat ini sudah seperti hal yang biasa. Tidak seheboh dua tahun yang lalu di awal pertama kali diumumkan Presiden maupun Satgas. Tidak pula sekhawatir tahun lalu pasca lebaran ketika delta menyerang dan banyak sekali korban meninggal.
Meski demikian, dokter memberi saya pilihan. Apakah memilih rawat inap atau rawat jalan. Kalau rawat inap, maka selama 10 hari saya harus tinggal di rumah sakit dan tidak boleh pulang meskipun lima hari sudah segar bugar.
Pukul 23.30 malam itu, saya pulang kembali ke rumah. Tangan masih berlabel, mirip seorang pasien kabur dari rumah sakit. Istri menggenggam sejumlah paket obat. Saya cek, tidak ada Favipiravir. “Kosong, kalau Bapak ada dari Kemenkes nanti diminum saja,” kata dokternya.
Akhirnya, syukurlah malam itu bisa minum obat ya kan. Sambil menunggu kiriman paket obat isoman Kemenkes.
Untuk memastikan paket obat benar-benar dikirim apotek, saya coba menghubungi Kemenkes. Saya ingin bertanya apakah saya perlu ke apotek yang tertera nama apoteknya di situs isoman Kemenkes tsb, atau cukup menunggu obat datang di rumah saja? Sayang, hari ini kontak tsb tidak ada layanan. Usut punya usut, hari ini tanggal merah Hari Raya Nyepi.
Semoga kita semua sehat walafiat selalu. Aamiin.
//
Note:
– Usaha ke UGD ini bukan dalam rangka tidak mau ke Puskesmas, tetapi memang sedang cemas dan butuh pertolongan mendesak saat itu. Apalagi waktu untuk ke Puskesmas tidak memungkinkan pada hari esoknya mengingat hari Libur Nasional.
– Update, paket obat dari Kemenkes lewat layanan Isoman ini diterima di rumah yang diantar petugas Si Cepat hari Sabtu (5/3) pukul 13.09 Wita.