Hari minggu itu, tumpukan cucian cukup banyak, tapi bingung tidak ada gantungan baju. Sy kemudian pergi ke sebuah supermarket untuk membeli gantungan, tapi malah mampir ke sebuah toko mebel karena melihat jemuran.
“Cik, ini berapaan?” tanya sy pada encik toko mebel itu.
Dia kemudian menjawab dengan isyarat tangan, sambil mengucapkan kata-kata seperti orang yang sulit melafalkan huruf ‘R’.
“Oh… boleh kurang?” kata sy baru mengerti, encik ini tidak bisa mendengar. Ia menyandang tuna rungu.
Dia pun menjelaskan, jemuran yang sy pilih lebih bagus dibanding jemuran aluminium yang ada di sebelahnya.
Dia menyebut, masih dengan bahasa isyarat disertai suara, ada beberapa kelemahan pada jemuran aluminium. Harganya pun selisih 100 ribu lebih murah daripada jemuran yang sy pilih.
Sy cukup lama berpikir jadi atau tidaknya membeli jemuran. Maklum, saat itu rupiah di dompet tidak cukup ditukar dengan jemuran.
Sepanjang ia menjelaskan, tampaknya cukup meyakinkan. Sampai saja sy menduga ia memiliki cukup keahlian menjual. Mungkin saja ia pernah belajar Direct Selling. Dengan gayanya yang, menurut sy, cukup baik itu, sy menjadi tertarik. Tapi, sy berusaha untuk tidak begitu saja menyerah.
Sy kemudian masuk ke dalam toko, sambil melihat-lihat perabotan mebel lain yang ia jual, sekaligus menanyakan harganya.
“Ini mahall, 5 juta,” katanya, dengan lidah tedal, menyebut harga sebuah lemari hias sederhana, terbuat dari kayu berkualitas.
Dari caranya melayani, sy menjadi tertarik. Sy kembali menuju pintu keluar di teras toko untuk melihat kembali jemuran itu.
Sampai pada suatu ketika, sy cukup yakin dan merasa tidak salah memilih jemuran, kemudian menyudahinya dengan membelinya.
“Baik Cik, sy ambil yang ini,” sebut sy sambil memegang jemuran stainless steel itu.
“Cik, diantar ke rumah ya, bayarnya di rumah saja, sy ambil uang dulu, ini uang mukanya,” kata sy sambil mengulungkan uang seratusan ribu.
Sampai disini, ia cukup mengerti apa yang sy katakan. Ia memahami sy dengan memperhatikan gerakan mulut sy. Sedangkan sy tidak begitu mengerti bahasa isyarat.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, sy jadi merasa heran sendiri mengapa sy membeli jemuran. Padahal, niat awal ingin membeli gantungan baju di supermarket, toko di sebelahnya.
####
Hingga hari ini, sy merasa beruntung dengan jemuran ini. Bobotnya yang ringan, kuat, mulus, cantik, tidak merusak pemandangan, membuat sy makin rajin mencuci baju. Kalau perlu, tengah malam pun dijabanin. Cucian deh lu… 😀
Libur akhir pekan hari ini adalah hari yang sangat pas untuk cuci-cuci. Tapi cuaca berubah-ubah. Di atas tampak sedikit mendung, seolah diam memayungi rumah. Kadang, mak cring, tiba-tiba disertai rintik hujan!
Meski hanya rintik-rintik, tapi lumayan bikin baju-baju dan bantal basah kuyup, teles kebes, kata orang Solowesi. Beruntung, jemuran sekali angkat, mak wuss… masuk kembali ke tempat teduh. Cukup portabel, seperti flashdisk hehe…
Dalam hitungan menit cuaca kembali terang, sinar matahari kembali menyengat. Jemuran kembali siap dijemur. Beberapa kali sy angkat keluar masuk keluar, sambil cengingisan sendiri. Hujannya jalan-jalan, pikirku hehe…
Sampai pada akhirnya, supaya cepat kering, tepat panas kembali menyengat agak lama, jemuran ditaruh di pinggir jalan seperti di foto ini… 😀
Yah, apa saja bisa buat pelajaran. Konon orang bijak mengatakan, belajarlah dari jemuran, yang tak pernah mengeluh diajak berjemur. 😀
Semoga barokah. Aamiin