Suatu hari saya hadir sebagai peserta salah satu Workshop yang diadakan resmi salah satu direktorat di bawah Kementerian. Saya datang tepat pukul 08.00 pagi persis sesuai dengan waktu undangan.
Duduk di sebelah kanan deretan tempat duduk, bersama dengan para undangan yang mungkin saja saya mengenalnya satu atau dua orang. Selebihnya, saya hampir tidak mengenal sama sekali. Saya juga belum melihat teman-teman saya yang sama-sama diundang.
Sambil menunggu acara dibuka, saya membuka ponsel dan membaca pesan-pesan yang masuk. Tak lama kemudian datang seorang ibu, salah satu pejabat menghampiri saya. “Pak Subur…” sapa ibu ini yang didampingi stafnya. Terjadilah obrolan hangat antara saya dan ibu ini. “Pak Subur Anugerah…” kata ibu ini kepada stafnya. Stafnya kemudian mencatat pada sebuah catatan.
Memasuki sesi pembukaan acara, tiba-tiba nama saya disebut pembawa acara untuk maju ke depan memimpin pembacaan doa. Makduarrr! Kaget sekali. Seakan tidak percaya dan saya merasa salah mendengarnya, saya konfirmasi dengan memberi isyarat kepada ibu ini yang saat itu sedang membuka acara duduk di meja bersama narasumber.
Ternyata benar. Ibu menunjuk saya dan mempersilakan maju ke depan untuk memimpin doa bersama mengawali kegiatan Workshop. Akhirnya saya maju berdiri di depan dan mulai memimpin doa bersama. Syukurlah, pembacaan doa selesai dengan lancar. Hanya saja tak ada doa dalam bahasa Indonesia. Seluruh doa yang saya gunakan berbahasa Arab.
Kenapa bahasa Arab? Karena ini yang menurut saya paling mudah dengan segala situasi dan kondisi, termasuk dadakan, tanpa catatan. Urut-urutan doanya begini, diawali Istiadzah. Bismillah. Hamdalah. Shalawat. Doa untuk pemimpin dan umat. Doa penolak bala berharap acara lancar. Doa sapu jagad untuk peserta. Shalawat. Hamdalah. Selesai.
Peristiwa ini, ditunjuk memimpin doa bersama dalam forum resmi, adalah pengalaman pertama seumur hidup saya. Lazimnya pengalaman pertama, tentu sangat berkesan. Alhamdulillah, semua lancar. Bagus, begitu kata teman saya yang duduk di seberang. Saya tidak tahu seandainya saya tidak siap saat itu.
Pengalaman tersebut ternyata mengilhami saya bahwa untuk menghadapi ketidakpastian dibutuhkan kesiapan. Tanpa kesiapan, saya yakin saat itu akan sangat malu sekali jika gagal. Yang menjadi pertanyaan saya adalah darimana ibu ini tahu bahwa saya bisa memimpin doa? Sampai sekarang saya tidak tahu jawabannya.
#####
Terkait situasi dan kondisi saat ini yang merupakan kejadian luar biasa pandemi virus korona di seluruh dunia, termasuk di sekitar tempat tinggal saya. Tampak sekali terlihat ada banyak ketidapastian di sekitar. Lihat saja ada banyak surat edaran yang muncul berkali-kali, merevisi surat edaran sebelumnya dengan surat edaran berikunya. Ini terjadi di hampir semua tingkatan organisasi.
Di awali dari Wuhan China, ketika terjadi epidemi atau wabah di bulan Januari 2020, saya melihat, menurut sudut pandang saya, penanganan wabah yang begitu cepat direspon lambat oleh pemerintah China. Kala itu, saya sampai tidak habis pikir dan mengira bahwa sudah semestinya walikota Wuhan langsung mengumumkan pada warga kota untuk segera menutup wilayahnya.
“Kenapa pemerintah China lambat? Kenapa walikota Wuhan tidak segera ambil tindakan? Bukannya mereka sudah diberitahu bahwa ini adalah sangat serius!” begitu kurang lebih gumam saya waktu itu.
Saya kemudian menyadari kekeliruan saya setelah mengikuti perkembangan selanjutnya di media massa. Tugas walikota bukan pada ranah membuka dan menutup wilayah. Saya pikir, ini terkait prosedur yang harus dipahami dalam suatu pemerintahan di sebuah negara. Dari media tersebut dikabarkan pemerintah China melakukan ‘pemecatan’ terhadap beberapa pejabatnya. Saya tidak tahu persis apakah yang dipecat termasuk pejabat Wuhan atau bukan.
Saya mendapat kesan bahwa pemerintah China benar-benar tegas dan keras dalam mengatur negaranya. Ini bisa dilihat dari apa yang sudah disiapkan oleh pemerintah China dengan langsung membangun rumah sakit darurat Huoshensan dan Leishensan berkapasitas ribuan tempat tidur. Masing-masing rumah sakit tersebut dibangun dalam hitungan hari.
Termasuk keputusan paling kritis adalah pemerintah China melakukan Lockdown atau karantina provinsi Hubei, dengan episentrum kota Wuhan yang berisi 11 juta penduduk. Militer dan petugas Satpol PP turun tangan menertibkan masyarakat yang tidak mengikuti perintah karantina. Jelas ini bukan keputusan yang gampang.
Alhasil, dalam waktu dua bulan karantina, China tampak sekali berhasil ‘menahan’ serangan virus korona. Apa yang membuat pemerintah China mengambil keputusan ini karena pengalamannya dengan kejadian serupa ketika wabah virus SARS terjadi beberapa tahun silam. Tampak sekali, kesiapan menjadi sangat penting untuk menghadapi banyak situasi ketidakpastian.
Seperti apa yang disampaikan Pak Arif Satria, Rektor IPB saat ini dalam tulisannya, saya setuju dengan pemikirannya bahwa apapun bentuk dan sumber ketidakpastian, yang penting adalah kesiapan kita untuk selalu optimis menghadapinya dan mampu mentransformasi ketidakpastian menjadi kepastian. Optimisme ini penting, karena Tuhan akan bertindak sesuai prasangka hambaNya.
Semoga bermanfaat.