Sejak awal mendengar nama Lawang Sewu, saya tidak begitu saja percaya bahwa gedung ini memiliki seribu pintu. Usut diusut, ternyata hanya memiliki 400an buah daun pintu. Dari Wikipedia diperoleh, justru yang berjumlah seribu adalah jendela-jendela yang besar sebesar pintu rumah saat ini.
Ketika mendengar Lawang Sewu, yang ada di benak orang adalah penampakan makhluk astral yang menyerupai Noni Belanda dan Mbak Kunti. Ah, saya tidak ingin cerita soal itu. Saya hanya ingin mengatakan bahwa saat ini usaha meremajakan Lawang Sewu tampaknya berhasil sejak diresmikan mendiang Ibu Ani Yudhoyono tahun 2011 silam.
Terus terang, saya ikut kagum melihat pemeliharaan cagar budaya Lawang Sewu dan Kota Lama Semarang yang gemerlap lampu menyala terang di malam hari.
Di Kota Lama serasa berada di Negeri Belanda di Eropa sana. Kalau ingat nonton film Eropa pasca perang dunia kedua, ingatan saya seperti melihat pemandangan malam yang dibayangi latar kabut dan burung hantu. Diterangi sinar bulan yang mengintip di celah mendung hitam dan sedikit kilat.
Sebagai warga Balikpapan, kota penyangga Ibu Kota Negara (IKN), jika saya bandingkan, pandangan saya melihat kota penyangga ini seperti melihat kota masa depan ala film Star Trek. Nantinya akan menjadi kota masa depan yang betul-betul super canggih. Kendaraan menggunakan drone berseliweran. Tapi, lupakan dulu bayangan seperti itu. Saat ini masih banyak yang perlu dibenahi terus menerus dan berkelanjutan.
Saya rasa masih perlu belajar juga pada Semarang. Meskipun saat ini penuh dengan cagar budaya ala kota tua zaman Belanda, saya sebagai tamu tidak lepas dari gadget dan barcode atau QR Code. Bahkan, untuk mandi atau sekadar menuju musala saja, saya harus membawa gadget.
Untuk apa?
Gadget adalah kunci!
Coba saja, masuk ke Lawang Sewu, Anda akan membeli tiket sebesar 20 ribu untuk dewasa. Pada selembar Tiket tersebut tertera QR Code yang akan ditempelkan pada pintu masuk. Tanpa itu, pintu tidak akan terbuka dan Anda akan diminta petugas jaga di sana untuk membeli Tiket di loket resmi. Sebelum membeli tiket pun, Anda akan diminta membuka aplikasi peduli lindungi pada gadget Anda dan diminta menunjukkan kelayakan berkunjung.
Sekali lagi. Gadget adalah kunci! Ya, memang gadget menjadi kunci yang sebenarnya menggantikan anak kunci yang sering macet. Anda benar-benar dipaksa menggunakan gadget jika dan hanya jika… Ah, mbuh…
Begitu selesai melalui pintu masuk, kami dihadang dua penunggu Lawang Sewu. Satu berbulu hitam lebat hingga menutupi wajah dan mukanya. Satu lagi kelir hitam biasa tapi gempal.
Penunggu ini tidak berwajah seram dan horor, justru lucu dan imut. Penunggu ini jinak sekali. Ibunya anak-anak malah mendekat sambil merogoh isi tasnya mengambil bungkusan mirip kacang merah. Bungkusan itu ia beli di depan pintu masuk Universitas Diponegoro. Di situ, ia temui juga penunggunya tinggal bersama bapak security kampus.
Yup, penunggu itu adalah mister khoceng alias kucing-kucing yang terlantar…
Ibunya anak-anak kini mudah tersentuh setelah kucing kesayangannya terbuang. Ia berkali-kali mencari kucingnya tersebut di tempat dimana dibuang.
“Siapa yang kasih makan?” Keluhnya…
#######