
Saya mengenal Semarang ketika PSIS mengalahkan Persebaya Surabaya. Salah satu pemain yang saya ingat sampai saat ini adalah mas Ribut Waidi. Setelah saya cek di Wikipedia, ternyata betul. Itu terjadi tahun 1987 silam. Belum terlalu tua. 😀
Cerita ini mengawali perjalanan saya pertama kalinya di Semarang. Benar. Seumur-umur baru kali ini saya menginjakkan kaki di Semarang. Tak heran, saya belum mengenal kota ini sama sekali. Hanya pernah sekadar baca-baca dan lihat videonya saja.
Saat tiba di Stasiun Tawang petang itu, tak banyak pemudik yang baru datang. Saya pikir semua masih dalam jumlah yang wajar. Tidak ada horor macet ribuan orang seperti diberitakan di media massa itu. Kadang, media sosial terlalu heboh, penuh drama-drama yang menggemparkan.
Hanya saja, keanehan baru saya sadari ketika tak banyak tukang ojek atau driver taksi yang menawarkan jasa angkutan.
Situasi ini jelas berbeda jika dibanding di Kota Surabaya. Begitu menginjakkan kaki di Bandara Juanda, beberapa orang langsung mendatangi saya. “Kemana Pak, mari saya antar, ke Sidoarjo, Malang…” tawarnya.
Apalagi jika di Balikpapan, begitu lewat pintu keluar Bandara Sepinggan, bapak-bapak driver taksi datang menghadang menawarkan jasa pengantaran sampai di depan rumah.
“Aku lapar… cari makan dulu, biar kuat,” kata ibunya anak-anak. Yup. Kami berdua mengulang kembali perjalanan setelah 20 tahun berlalu. Saat itu, kami berdua sebagai pengantin baru yang sedang mudik. Selebihnya, kami selalu bersama anak-anak, lengket terus kayak perangko. Sekarang, anak-anak sudah pada gede.
Dalam perjalanan kali ini, saya sudah siap menjalankan moderasi. Maksudnya, saya sering salah paham dengan ibunya anak-anak yang kadang selalu ingin mengatur perjalanan. Ingin naik ini, naik itu, naik apalah. Jika hal itu terjadi, maka standarnya adalah pasrah, jangan menolak atau membantahnya. Serahkan emak-emak. Titik.
“Nasinya belum matang, yuk cari tempat lain…” kata istri, kesal gak sabar menunggu antrian ayam goreng kentaki. Oke, pasrah deh. Nah loh… Kami pun menuju antrian jemputan taksi. Banyak calon penumpang mengantri sambil mengecek aplikasi.
Saat di pos Gojek, saya melihat taksi biru logo burung berjajar bertiga, stand-by. Awalnya, salah satu pengemudinya menawarkan diri hendak mengantar. “Sebentar, saya cek dulu aplikasi, mau kemana saya,” kata saya cengengesan gak hafal tempat.
Tiba-tiba seseorang datang dan memberi kode. Pengemudi tersebut batal menawarkan jasanya. “Sudah ada yang pake,” katanya. Lho, kok cepat betul?
Kami kembali ikut mengantri ojol. Membuka aplikasi Gojek. Diminta oleh aplikasi ikut mengantri di depan stasiun. Satu dua mobil datang. Rombongan penumpang naik. Saya tidak tahu mana ojol yang menjemput saya. Tidak ada notifikasi. Ada banyak orang menunggu. Saya putuskan batal. Terlalu lama menunggu ketidakpastian.
“Yuk, kita jalan saja keluar stasiun, biar dapat driver,” ajak saya. Ternyata di luar stasiun sama saja. Tak ada driver. Semua tampak sibuk. Gojek sekalipun.
Lama terkatung-katung di jalan, saya mendekati seorang bapak tukang becak. “Pak, mau antar saya ke sini, kira-kira tiga kilometer lebih, maukah? Jalannya datar kok, gak naik turun,” kata saya sok tahu.
“Wah, sebentar ya, saya tanyakan dulu…” kata bapak itu, bertanya kepada orang-orang yang nongkrong agak jauh dari situ. Saya agak merasa aneh, kok bapaknya seperti tidak mengenal daerah itu ya. “Gak berani, Mas” jawabnya yakin.
Hah? Gak berani?
“Gimana, tukang becak saja gak mau antar, gak ada orang yang menawarkan diri, gak ada gojek, gak ada gocar, mungkin lagi lebaran…” kataku. Hari semakin malam. Belum ada makan malam.
“Okelah, gimana kalau kita jalan kaki saja, mau?” .
Kami pun berjalan memasuki Kota Lama yang penuh bangunan terawat peninggalan zaman Belanda. “Apik,” gumamku. Saya terpukau dengan keindahan lampu-lampu klasik. Petang itu mulai ramai. Sambil berjalan menyusuri pedestrian, saya ambil kamera dan cekrek-cekrek.
Tiba di IndoMei, kami istirahat. Ikut membeli secangkir kopi hanya karena ingin numpang duduk istirahat di ruangan ber-AC. Ikut juga membeli nasi, meski menunggu dimasak lebih dulu.
Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju penginapan. Sekali lagi, saya membuka aplikasi untuk mencari driver, tapi tetap saja tidak ada. Saya sudah berkali-kali membatalkan pesanan hanya karena terlalu lama menunggu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, sudah tiga jam tidak ada driver. Saya putuskan untuk jalan kaki. Keluar dari Kota Lama menyusuri jalan raya menuju arah selatan sejauh lebih kurang 3 km. Selama jalan kaki itu tidak ada satu orang pun yang menawarkan jasa pengantaran, meski mobil, motor, dan sesekali becak melewati kami.
Di tengah perjalanan, kami menjumpai bapak-bapak tukang becak yang sedang tidur istirahat.
“Pak, saya mau naik becak, mohon diantar di Sidodadi situ, mau ya Pak?”
Begitu mendengar saya, bapak itu lebih memilih kembali tidur. Mungkin mimpinya bersama bidadari tak ingin diganggu dua orang pelancong malam misterius.
Ini jelas aneh ya kan?
Di tengah gelap jalan raya yang mulai sepi itu saya tertawa sendiri menertawakan keanehan ini. Syukurlah, ibunya anak-anak cukup menyadari dan menerima kenyataan bahwa kali ini perjalanan benar-benar terasa jauh dengan berjalan kaki.
Saya jadi ingat lomba Gerak Jalan Surabaya – Mojokerto dulu yang menempuh jarak puluhan kilometer. Masih lebih jauh dibanding jalan kaki saya kali ini. Dengan mengingat yang lebih berat itu, perjalanan terasa ringan.
Tak terasa sekira pukul 23.30 wib sampai juga di penginapan dengan selamat. Kesalahan memilih penginapan yang terlalu jauh, membuat saya jadi lebih mengenal Kota Semarang. Serasa terjadi di sebuah Metaverse, tapi seharusnya tidak perlu merasakan lapar dan kaki gempor pegal-pegal.