“Kapan pulang?”
Itulah kabar dari ibu ketika mengontak saya sekira seminggu sebelum Lebaran.
Setelah itu, saya segera menyusun rencana kembali apa yang harus saya lakukan di sana. Termasuk menghubungi kembali teman-teman ataupun saudara yang bisa diajak tandem.
Syukurlah, meski tidak ada rencana mudik jauh hari sebelumnya, tapi tepat sebelum masuk masa liburan, saya telah mendapatkan cuti kerja selama 6 hari.
Mau mudik kah? Tanya teman-teman.
Sejak tahun lalu, seingat saya pernah mengatakan bahwa saya tidak mudik tahun ini. Tetapi, karena situasi yang dinamis, maka jawaban saya adalah: Saya tidak tahu. Saya belum punya tiket. Insyaallah, ada kesempatan dan sehat, saya berangkat.
Lalu, kalau memang tidak mudik, kenapa harus cuti?
Inilah, setelah mudik ini berlalu, saya merasakan ternyata cuti itu sangat perlu. Bahkan menjadi wajib untuk pekerja seperti saya. Maka, saran saya: ambilah cuti. Ada tidaknya rencana, terlaksana atau pun tidak, jika memang itu waktunya cuti, ya ambilah cuti. Titik.
Saat itu, yang terpikir oleh saya adalah siap-siap lebih dulu. Termasuk menyiapkan Itinerary, kendaraan, teman tandem, bekal, pokoknya semuanya deh. Jika sewaktu-waktu dibutuhkan saat itu, maka setidaknya sudah ada rencana dan persiapan.
Betul. Ndilalah kersaning Allah, ibu menghubungi saya. Menanyakan kabar dan kapan saya pulang. Duh, meleleh deh. Maka, mulai saat itulah saya membeli tiket sesuai jadwal cuti.
Menurut kabar, harga tiket pesawat naik gila-gilaan. Itulah kenapa saya ikut mengantre tiket mudik gratis kapal laut. Kupikir, sesekali kembali naik kapal laut. Semua penumpang tiket gratis, dapat makan, diberi hadiah, dan diantar sampai kota tujuan. Enak tenan. Tapi, waktunya tidak cocok dengan rencana cuti saya.
Oleh karena itu, saya pun memaksakan diri membeli tiket pesawat saja.
Mahal? Iya mahal.
Tapi setelah terbeli, saya malah merasa harganya masih terjangkau jika dibanding tahun 2017 yll. Saat itu, saya sudah tak dapat tiket. Mau tak mau, saya harus terbang lewat Jakarta untuk sekadar menuju Surabaya. Rute paling ideal saat itu, tapi aneh.
Alhamdulillah. Tahun ini akhirnya saya berhasil mudik. Meski seorang diri. Ibunya anak-anak ada rencana lain. Anak-anak juga masuk sekolah dan ujian semester.
Lantaran seorang diri, saya pun memberanikan diri dengan bekal backpacking 7 kilogram lebih sedikit sesuai batas bagasi kabin. Sesampai di tujuan, alhamdulillah, Iwan, teman kamar kos dulu di Malang, mau jadi teman tandem dengan kendaraan pinjaman kakak saya.
Beberapa tempat tujuan berdasar Itinerary, alhamdulillah, juga berhasil terpenuhi. Motoran berdua dari Surabaya, Japanan, Pare, Kediri, Srengat, nonstop mulai pagi sampai pagi kembali. Alhamdulillah lancar.
Kemudian lanjut menggelandang di Bumi Blambangan area Selatan, Barat, dan Utara selama tiga hari. Alhamdulillah semuanya juga lancar.
Sedangkan yang tidak tercapai dikunjungi di antaranya adalah Ponpes Gontor Ponorogo, tempat seorang ponakan yang tahun ini tes masuk santri. Saya ingin memberikan semangat dan ucapan selamat. Tapi, gagal karena waktu yang dibutuhkan tidak cukup satu hari dan butuh tenaga lebih.
Itinerary yang gagal berikutnya adalah melihat Blue Fire di Kawah Ijen, bahkan untuk sampai di puncak pun tidak. Gagal karena cuaca yang kurang bagus dan kendaraan gak kuat menanjak. Walau demikian, meski hanya sampai di lerengnya saja, tapi saya rasa penting untuk diketahui para backpacker pemula yang ingin mendaki Gunung Ijen.
Bagaimana cerita selanjutnya?
Ikuti saja dengan klik like, share, comment, dan subscribe channel youtube saya. InsyaAllah akan diupdate di sana. 😀
Semoga Allah paring manfaat dan barokah. Aamiin.