SEORANG saudara ipar tempo hari menulis tulisan panjang di sebuah grup WhatsApp tentang pengalamannya, tepatnya, bercerita betapa tertekan dan menderitanya ketika pertama kali terkena stroke.
Kisahnya dibuat detail. Diawali cerita subuh ketika pertama kali tiba-tiba dirinya terjatuh di kamar mandi, kemudian sulit menggerakkan tangan kanannya, hingga kemudian tak sadarkan diri dan tiba-tiba menginap di rumah sakit.
Pekan ini tepat satu tahun masa pemulihannya. Kondisinya menunjukkan perkembangan yang cukup baik, meski tampak belum normal. Kini ia menjalani kehidupan baru, yaitu normal baru sebagai penyintas stroke.
Sebagai saudara, saya juga berusaha membantunya dengan dukungan moril. Berupaya terus berusaha mendorong diri dan keluarganya untuk tetap semangat agar selalu sehat secara fisik dan psikis.
Seiring dengan tulisan di WhatsApp itu, media sosial saya, Facebook dan Instagram tiba-tiba bermunculan video Reel tentang rumus kebahagiaan. Seolah seiring dengan tema obrolan WhatsApp yang bercerita tentang bagaimana menderitanya ketika mengalami sakit.
Tulisan ini tidak membahas apa itu stroke, diabetes, asam urat, kolesterol, atau penyakit degeneratif seiring dengan penuaan usia yang mengakibatkan ketidakmampuan sebagian organ tubuh bekerja secara normal. Saya bukan ahlinya.
Menurut saya, orang yang menderita penyakit gula atau diabetes, misalnya, sebenarnya memiliki harapan yang sangat tinggi untuk sembuh. Namun, sudah bukan rahasia lagi bahwa diabetes tidak bisa sembuh.
Yang harus dilakukan penderita diabetes adalah mengelola pikiran agar tidak stres, mengelola asupan menurut jenis, jumlah, dan jam (3J), rutin kontrol dokter serta menjaga kondisi tubuh tetap bugar agar pankreas tidak bekerja melebihi kemampuan normal.
Orang yang menderita diabetes berarti ada organ tubuhnya, yakni pankreas yang tidak lagi mampu menghasilkan hormon insulin sebagaimana mestinya. Padahal, insulin sangat penting bagi tubuh agar organ tubuh lainnya tetap bekerja normal.
Pankreas termasuk organ tubuh yang vital. Jika tidak lagi mampu berfungsi dengan baik, maka diperlukan obat agar kembali berfungsi. Penderita akan terus minum obat secara kontinu untuk mengatasi kadar gula yang tinggi. Bila obat sudah tidak lagi mampu, maka penderita membutuhkan insulin yang disuntikkan ke dalam tubuh.
Ketika penderita pertama kali mengetahui dirinya menderita, entah diabetes atau diabetes dan kolesterol, misalnya, maka ia akan merasa tertekan atau stres. Jangankan menderita diabetes dan kolesterol bersamaan, lha wong diabetes saja membuat orang tersebut stres, Tidak langsung tiba-tiba komplikasi.
Komplikasi terjadi secara bertahap, biasanya salah satunya lebih dulu, misalnya, diabetes lebih dulu. Lantaran mengalami stres atau gangguan psikis, maka kondisi fisik bisa semakin memburuk sehingga terjadi komplikasi.
Mengapa stres memperburuk kondisi fisik?
Pekan kemarin saya mengikuti sebuah Edukasi Online di kanal Undip TV tentang Kesehatan Mental Paska Pandemi. Di situ dijelaskan apa yang dimaksud dengan Koping (Indonesia) atau Coping (Inggris).
Secara singkat, saya memahami bahwa koping itu adalah usaha manusia untuk menghindari perasaan tertekan atau mengatasi stres. Secara logika, jika gagal menghindari stres, maka tentu saja akan stres.
Stres bisa jadi dialami oleh setiap individu, termasuk saya yang terlihat biasa saja. Tetapi ada usaha untuk memperlunak kegagalan menghindari stres yang disebut dengan Mekanisme Coping. Mekanisme ini digunakan untuk membantu melindungi perasaan tertekan, cemas, dan tidak berdaya.
Dalam edukasi online tersebut, Mekanisme Coping ada dua, baik secara Fisiologis maupun Psikologis. Secara Fisiologis lebih kepada manifestasi atau tanda dan gejala yang terlihat pada fisik penerima stressor (penyebab stres). Orang tersebut kemudian memilih strategi mengatasi stres. Bagi yang berhasil mengatasi stres, secara fisik dan psikologis tampak sehat.
Sedangkan secara Psikologis, orang akan melakukan penyesuaian ketika menghadapi stressor. Dia akan butuh waktu untuk berpikir lebih lama atau lebih cepat untuk mengambil keputusan, apakah memilih strategi Fighting, Avoidant, atau Compromising.
Strategi Fighting atau melawan, misalnya, penderita diabetes akan berusaha melawan sekuat tenaga untuk segera sembuh. Berbagai upaya dilakukan untuk sembuh, tetapi apa daya kekuatan diri sudah menurun, sudah tidak lagi sama seperti sebelumnya. Semakin ia berusaha melawan dengan keras ingin cepat sembuh, justru semakin membuat dirinya lemah.
Usaha untuk Fighting akan bagus apabila seseorang mampu berpikir tenang, mampu mengukur dan mengendalikan dirinya untuk bersikap realistis, memiliki pemahaman yang baik tentang bagaimana mengelola stres.
Avoidant, strategi menghindar dan menyangkal bahwa dirinya tengah menderita. Ia bahkan tetap mengonsumsi makanan secara normal sebagaimana sebelumnya. Ia menganggap dirinya dalam kondisi sehat. Tepatnya, ia tidak mampu menilai dirinya sedang tidak sehat.
Avoidant berusaha menyangkal hasil tes kadar gula yang tinggi di atas 200 dan mengatakan alatnya yang rusak. Menyangkal seluruh hasil pemeriksaan laboratorium. Menghindari berobat ke dokter. Takut jarum suntik, tidak suka minum obat pahit, dan lain sebagainya.
Konsekuensi akibat dari penyangkalan ini akan memperburuk kondisi tubuh sehingga terjadi komplikasi. Termasuk penyangkalan adalah sikap meremehkan. Saya pernah diperingati dokter agar tidak meremehkan minum obat rutin tepat waktu. Sempat dituturi kenapa minum obat itu harus rutin sesuai waktu dan dosisnya.
Dan ketiga adalah strategi Compromising, memilih kompromi daripada konflik. Kemampuan memilih kompromi ini juga kadang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, seperti kuatir dirundung (bullying) sebagai penakut, misalnya, sehingga batal memilih kompromi menjadi melawan (Fighting).
Perundungan membuat seseorang terpengaruh pendiriannya. Padahal, untuk melawan tidaklah mampu. Itulah mengapa memilih lingkungan yang mendukung dan menghindari lingkungan yang beracun (toksik) itu penting bagi kesehatan mental.
Ada beberapa tips Mekanisme Coping dengan pilihan Compromising, antara lain menurunkan ekspektasi atau keinginan di luar kemampuan. Tidak berharap melakukan suatu hal yang melebihi kemampuan itu dapat membantu mengatasi stres.
Termasuk Compromising adalah meminta bantuan kepada orang lain. Hal ini terkait dengan lingkungan yang mendukung, yakni orang-orang yang mau dan mampu membantu merawat dirinya. Orang yang menderita stroke, misalnya, selain butuh dokter, dia juga membutuhkan orang-orang yang merawat dirinya mengatasi stres.
Compromising berikutnya adalah bertanggung jawab terhadap situasi yang dihadapi. Dia juga harus bertanggung jawab terhadap kesehatan dirinya sendiri, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya.
Tetap menjaga hubungan suportif dengan orang lain. Tetap menjaga emosi dan ketenangan diri ketika berada dalam situasi sulit. Semua ini adalah usaha mengurangi stres dan menjaga agar fisik dan psikis tetap sehat dan bahagia.
Semoga selalu bahagia dan terhindar dari stres.