
Layanan Konseling Mahasiswa Undip. Foto: Tangkapan layar
PAGI itu saya mendengar pembicaraan si sulung dengan ibunya lewat telepon. Suaranya jelas sekali lewat speaker handphone. Saya ada satu meter di dekat ibunya.
“Ibu… gelasku pecah… huuu… huk… huk…” kata si sulung sambil nangis di kosannya
Ibunya seperti biasa tertawa menghiburnya.
“Ooooh… iya… nanti ibu belikan baru ya. Nanti Ibu kirim…” balas ibunya.
Sementara yang di seberang sana masih saja tersedu-sedu. Gelasnya pecah, tumbler rusak tutupnya gak bisa kembali dipasang. Dia kuatir hari itu ke kampus tidak membawa air minum. Menangislah dia tersedu-sedu. Huu… hu… hu…
Terus terang, saya yang mendengarnya jadi bengong, heran, kok bisa? Ini anak kenapa sih? Kok begitu saja menangis sampai terdengar sesenggukan, uhuk… uhuk… huuu… Saya sampai bingung itu nangis beneran apa becyanda… be cyan da?
Saya kemudian katakan sama ibunya bahwa kalau sampai menangis tersedu-sedu karena urusan sepele, itu seperti tandanya dia sedang tertekan.
“Kayak depresi ringan, merasa sangat sedih hanya untuk urusan sepele,” kata saya.
Tapi ya gak mesti juga, lanjut saya ragu. Gak bisa sembarangan menilai ini begini dan begitu. Lebih aman, saya menyarankan perlu pemeriksaan psikolog. Terus terang saya menjadi overthinking.
Si sulung sendiri termasuk Gen Z atau Generasi Z. Prof. Rhenald Kasali menyebutnya Generasi Strawberry yang punya ciri memiliki banyak ide dan gagasan kreatif, daya juang tinggi untuk meraih kesuksesan.
Kelemahannya, Generasi Strawberry adalah mudah menyerah, mudah terluka, lamban dalam bekerja, egois, dan pesimis terhadap masa depan. Nah kan mudah terluka.
Di kampusnya, saya cek ada fasilitas konseling. Mahasiswa bisa mendaftar online lewat Google Form dan memilih konselor yang dirasa dekat dicurhati, gratis.
Dulu, zaman saya kuliah sampai setelah wisuda, saya sering tambal gigi dan berobat demam gratis lewat poliklinik UB Malang di Jalan Dinoyo. Syaratnya hanya Kartu Poliklinik.
Waktu itu kondisi klinik masih sederhana, tidak seperti sekarang yang tampak ramai dan gedungnya lebih besar dan modern. Sekarang juga punya fasilitas lain seperti layanan konseling mahasiswa.
Sejak dulu, saya mengira layanan konseling itu terkait orang-orang yang bermasalah, nakal, gak bisa diatur, nilainya selalu jelek, gak naik kelas, suka mencuri atau kleptomania, dan masalah lainnya.
Memasuki pandemi, ternyata masalah semakin beragam karena banyak yang butuh konseling. Bukan hanya itu, masyarakat umum juga banyak yang mengalami masalah mental.
Di awal pandemi itu, saya sendiri sempat down ketika memasuki bulan puasa. Saya menduga karena pikiran tertekan karena pekerjaan harus daring, takut tertular virus, tidak bisa menjaga asupan ketika sahur dan buka puasa. Out-of-control. Gula darah tidak terkontrol. Apalagi saat itu tidak minum obat.
Oleh karena itu, akhir-akhir ini saya belajar tentang ilmu psikologi, bagaimana seseorang menjaga kesehatan mental, bagaimana proses seseorang mengalami depresi, mulai dari tingkat yang paling ringan sampai berat.

Hal ini penting lantaran saya sendiri kadang membutuhkan usaha sendiri, semacam self protection, untuk memulihkan kondisi tubuh dan pikiran. Gejalanya tampak ketika saya menjadi baper ketika ngobrol di grup WhatsApp, misalnya. Rasa malas, lemah, loyo jadi satu.
Dari buku yang kemarin saya beli, Merawat Luka Batin, penulis memberikan foto perbedaan otak penderita depresi dengan orang normal. Perbedaan itu tampak jelas sekali.
Satu hal yang saya baca, depresi bukan muncul tiba-tiba pada seseorang. Depresi butuh waktu yang lama sehingga masuk penyakit kronis. Di awal gejala timbul, seringkali diabaikan karena orang tidak mengenalnya, tidak tahu, dan sering menganggap remeh.
Apabila keluhan itu datang, seringkali orang yang mengalami gejala depresi, ketika dia mulai terbuka pada seseorang, malah sering dianggap hal biasa. “Ah biasa itu…” katanya.
Dia akan semakin tertekan, jatuh mental, baper ketika malah dinilai kurang bersyukur, kurang beribadah, kurang berdoa, kurang ngopi, kurang ngumpul bareng teman, kurang piknik, traveling kurang jauh, kurang becanda, atau kurang tertawa.
Sebagaimana penyakit kronis, depresi membutuhkan waktu penyembuhan yang sangat lama dan selalu membutuhkan obat. Apabila berhenti minum obat, misalnya, maka depresi itu bisa kembali muncul sehingga membutuhkan pengobatan yang lebih lama dan sulit.
Ya, sama seperti diabetes, terutama tipe 2 yang timbul akibat gaya hidup yang tidak sehat dan berlangsung lama. Begitu terkena diabetes, maka ia akan selalu tergantung dengan obat dalam waktu yang lama.
Apakah diabetes bisa dicegah? Bisa. Caranya, tinggalkan gaya hidup tidak sehat dan lakukan gaya hidup sehat seperti olahraga, jaga asupan sehat, pikiran tidak stres, lakukan aktivitas positif, dan lain-lain.
Begitu juga dengan kesehatan mental, apakah depresi bisa dicegah? Bisa. Caranya, lakukan gaya hidup sehat juga seperti berolahraga, jaga asupan sehat, pikiran tidak stres, lakukan aktivitas positif, dan lain-lain.
Oleh karena itu, usaha-usaha yang perlu saya lakukan adalah belajar tentang apa itu penyakit kronis, mulai dari diabetes, stroke, asam urat, hingga depresi dan stres. Ini penyakit kronis yang banyak dialami orang-orang di atas 50 tahun, meski ada yang di bawahnya.
Meski demikian, gak perlu overthinking atau berlebihan dalam menyikapi penyakit kronis, tidak perlu terlalu takut atau paranoid sehingga malah menjadikan seseorang tidak berkembang, tidak bisa bergerak maju, malah jadi sakit beneran. Itu juga tidak diharapkan.
Dengan mempelajarinya lebih awal, diharapkan kita bisa belajar dan mengetahui mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari sejak dini. Semestinya begitu.
Bukan malah sebaliknya menjadi penasaran untuk mencoba hal-hal yang dilarang, menganggapnya remeh, iseng, dan akhirnya malah terbakar.
Semoga kita senantiasa sehat walafiat. Semoga manfaat dan barokah. Aamiin.