
Beli buku Merawat Luka Batin karya dr. Jiemi. Foto: dok. pribadi
SEMALAM saya mengajak istri jalan-jalan ke Mall, mau cari buku dan kacamata. Pertama kali menginjakkan kaki di Mall itu, saya kaget. Tampak banyak toko yang tutup. Sama seperti video yang viral di media sosial hari-hari yang lalu.
Sampai di toko buku ini, pengunjung tampak lengang. Padahal, masih pukul 8 malam. Saya mencoba memindai satu persatu buku yang dipajang. Banyak judul buku yang sudah saya kenal.
Terus menuju ke belakang. Ambil satu buku di rak, baca, kemudian kembalikan. Ambil lagi, baca lagi, dan kembalikan. Kebanyakan buku-buku terjemahan, seperti karya Dale Carnegie dan kawan-kawan.
Tidak puas dengan buku terjemahan, saya bergeser mencari nama penulis yang orang Indonesia asli. “Supaya langsung mudah dipahami daripada terjemahan,” pikir saya.
Terus bergeser dari rak satu ke rak buku berikutnya. Mencoba mengenali nama pengarangnya. Ketemu. Judul bukunya masih sama dengan yang dulu, tapi sekarang ada tambahan teknologi yang digunakan.
Saya mengenal penulisnya. Sekarang, penulis itu menambahkan gelar baru baru di depan namanya, Doktor. Mungkin supaya tambah pede?
Atau mungkin Strategi Marketing. Karena sekarang ini mungkin orang menilai menjadi penulis buku itu berarti orang pintar. Minimal punya gelar Master, Doktor, dan Profesor tentunya. Kalau tanpa gelar, bisa jadi dikira buku hasil copas, ChatGPT, atau mengarang bebas. Ups…
Saya terus bergeser dari rak ke rak, terus… terus… dan menemukan buku ini. Merawat Luka Batin, karangan dr. Jiemi Ardian, Sp.K.J. “Ini dia penulis Indonesia,” pekik saya dalam hati.
“Pikiran hanyalah pikiran. Pikiran bukan realitas,” tulis dr. Jiemi, yang langsung saya baca ketika membuka buku itu pertama kalinya.
“Terus menerus memikirkan hal yang keliru tentang diri kita (apalagi pikiran negatif) akan membuat kita terjebak dalam pikiran itu,” tulisnya.
Hmm… saya langsung berpikir, betul… betul… betul… ada benarnya. Pantas ada saja orang yang sering menuduh saya melakukan ini, melakukan itu, berbuat ini dan itu yang sama sekali tidak saya lakukan.
Lha iya, lha wong sudah dibantah berkali-kali, eh, masih saja ngeyel, masih saja berkeras menuduh dan terus menuduh. Mau bilang HENTIKAN! Tapi rasanya tiada guna. Biarkan saja. Harus dia sendiri yang menghentikannya. Jika tidak, betul-betul terjebak dalam pikirannya. Gumam saya.
“Karenanya, kita perlu menghentikan diri sendiri dari menyakiti pikiran kita sendiri, diawali dengan pikiran otomatis ini,” kata dr. Jiemi. Nah, betul kan?
Eit… Apa itu pikiran otomatis?
Saya mencari-cari dalam buku itu belum ketemu apa itu pikiran otomatis. Tetapi, mungkin yang dimaksud adalah Monkey mind.
Apa itu Monkey mind?
Monkey mind adalah bagian dari pikiran kita yang selalu terdistraksi, terpecah, dan sulit fokus. Monkey mind bergerak sangat cepat dan seringkali berpindah sehingga mengganggu kreativitas kita.
Monkey mind berkeras untuk selalu minta didengar, selalu menarik perhatian di saat kita menikmati hari ini agar menjadi sibuk untuk merenungkan masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan.
Repotnya, Monkey mind adalah bagian pikiran kita yang membuat kita mudah terganggu ketika melakukan sesuatu. Itulah kenapa ketika kita sedang Salat, misalnya, seringkali tiba-tiba pikiran beralih pada sesuatu, ya kan?
Apakah Monkey mind bisa dihentikan? Ternyata tidak. Itulah sifat dari kera yang suka melompat.
Lalu, gimana dong?
Ya, menurut dokter spesialis kejiwaan ini, kita memang tidak bisa menghentikan pikiran yang suka berpindah dengan cepat. Tetapi, kita bisa melihatnya dengan jelas, memperlambat lajunya, dan menilainya dengan objektif.
Seperti apa? Silakan baca sendiri bukunya ya… ini dokter ahli di bidang Mindfulness.