
Ilustrasi: freepik.com
ANDA pernah mengalami Quarter Life Crisis? Coba diingat-ingat lagi. Kadang seseorang akan menolak dan mengaku tidak pernah mengalami QLC, tetapi secara tidak sadar dia menunjukkan ciri-ciri perilaku QLC.
Saya sendiri pernah beberapa kali hingga usia hampir setengah abad saat ini. Ini lantaran setelah saya secara tidak sengaja membaca buku tentang QLC atau krisis usia seperempat abad.
Krisis ini terjadi di usia 25 sampai 30 tahun yang hampir dialami semua orang di dunia. Ada yang menyebutnya sampai 35 tahun, bahkan 50 tahun, tapi jarang terjadi.
Umumnya, orang yang mendekati usia 50 tahun dinilai sudah memiliki kematangan diri. Tapi, begitu lewat 50 tahun, mereka akan kembali mengalami penurunan. Secara perlahan akan kembali pada perilaku anak-anak yang butuh perhatian dan kasih sayang.
Kembali soal QLC, setelah saya mengingat-ingat kembali, pengalaman QLC itu terjadi ketika di tahun pertama saya bekerja tahun 2001. Kala itu, saya merasa ‘dituduh’ telah menjadi biang keributan di kampus di malam hari.
Peristiwa ribut-ribut mahasiswa protes dengan bagian administrasi malam itu kemudian dilaporkan kepada pimpinan. Esoknya, saya dipanggil, disidang, dan dimarahi pimpinan, tapi tidak diberi sanksi. Pimpinan menyesalkan kejadian itu dan berharap tidak terulang lagi.
Sepulang dari itu, saya merasa jatuh dan tidak berguna di tempat itu. Saya masih bersikukuh itu bukan salah saya, karena saya masuk kerja dari pagi sampai sore saja. Saya tidak ada perintah tertulis masuk malam hari.
Lantaran dongkol, saya kabur dari tempat kerja. Sialnya, saya kehilangan kunci kamar. Saya panggil tukang kunci, si tukang nyerah gak bisa buka. Akhirnya, saya jebol jendela atas kamar mandi, ambil tas, dan kabur ke Bontang di rumah saudara.
Tiga hari di sana, saya dicari teman kerja yang akhirnya menjadi kakak ipar saya di tahun itu. Dia mengajak saya bisnis dengan membuka lembaga pendidikan di Kabupaten Paser.
Selama dua hari itu, saya banyak mengobrol dengannya dan saling mengenal. Saat pulang, di dalam mobil itu dia tiba-tiba memberi nasehat. “Balik saja, mumpung pimpinan baik, masih diberi kesempatan,” katanya.
Terus terang, saya merenungi nasehatnya. Lebih-lebih, almarhum Bapak juga menasehati agar saya tahu diri. Belajar mengenal diri sendiri siapa saya sesungguhnya dan siapa orang yang berjasa pada saya.
Esoknya, saya kembali masuk kerja seperti biasa, seperti tidak ada masalah. Teman-teman menyambut saya dengan hangat. “Hai, Mas… apa kabar?” kata Rina, salah seorang staf administrasi, teman kerja saat itu. Dia menyambut ramah. Saya masih ingat senyumnya.
Di meja saya sudah ada seorang pegawai baru yang menggantikan saya. Dia bekerja sampai saat ini bersama saya. SK pegawai saya juga berubah. Mulai tahun itu, saya menjadi pegawai baru lagi, bukan dari saat pertama kali bekerja tahun 2000.
Selama bekerja kembali, saya mengalami pasang surut kehidupan, hari demi hari. Sukanya, ternyata banyak teman-teman pekerja yang merasa seperti keluarga. Mereka mendukung saya. Pimpinan bahkan membantu saya ketika saya akan menikah. Kurang apalagi coba?
Dukanya, seringkali saya gesekan dengan kakak ipar soal pekerjaan. Artinya, itu terjadi setelah saya menikah. Perubahan interaksi ini terjadi seiring dengan beban pekerjaan yang makin meningkat.
Kala itu, saya dan dia semakin lama semakin berjarak. Tidak seakrab sebelumnya. Saya merasa kehilangan teman. Saya mencoba memotivasi diri saya sendiri dengan membaca buku Membudayakan Etos Kerja Islami, karya almarhum KH. Toto Tasmara.
Buku ini, terus terang membuka wawasan saya bagaimana bekerja dengan etos kerja Islami. Saya banyak merenung dan mengambil pelajaran. Selang beberapa waktu kemudian, saya memberikan buku itu kepada kakak ipar saya tersebut. Saya membeli buku baru lagi untuk saya.
###
Dari kisah saya tersebut, tampaknya ada pola yang bisa dipelajari bahwa seseorang akan menuju pada kematangan diri setelah mengalami berbagai macam krisis kehidupan. Saat ini, kita mengenalnya dengan sebutan Life Crisis. Saya yakin, Anda memiliki pengalaman masing-masing.
Saat krisis itu Anda alami, jangan diam saja dan mengabaikannya atau malah menghindarinya lari dari kenyataan dan solusi. Bicarakan dengan orang yang Anda percaya. Ceritakan perasaan kepada orang yang dipercaya bisa membantu menjadi lebih baik. Kadang dengan menulisnya di buku pribadi, di blog, di media sosial akan membantu melepaskan beban.
Lakukan hal-hal yang membuat dirimu bahagia dan buat perubahan positif. Bersabar pada proses perubahan itu. Jangan memaksakan diri di luar batas. Bersyukur berada di lingkungan orang-orang yang baik dan mendukung dirimu tumbuh dan berkembang.
Saya sepakat dengan apa yang dikatakan ahli dan pakar bahwa untuk menuju proses kematangan diri, seseorang akan mengalami beberapa tahapan dalam kehidupannya. Tahap pertama adalah Identity Exploration (IE), terutama soal asmara dan pekerjaan.
Pada Tahap IE, seseorang akan mencoba mengeksplorasi dirinya sendiri dengan segala kemungkinan dengan tujuan untuk mengenal dirinya sendiri. Kerja dengan tekanan yang tinggi, misalnya, cocok atau tidak? Suka kerja di lapangan atau di belakang meja?
Ketika selesai mengeksplorasi berbagai macam kemungkinan soal pekerjaan dengan tekanan tinggi, misalnya, ia akan banyak menemukan ketidakstabilan dirinya. Lanjut atau keluar? Ya atau tidak? Tahap ini membuat orang bimbang yang disebut Instability.
Namun, ketika selesai menyelesaikan pekerjaan dengan baik, dirinya akan menemukan kepuasan batin. “Ternyata saya bisa menyelesaikan dengan mudah ya,” katanya. Apabila tidak puas, gagal, dia akan kecewa.
Pada tahap ini, seseorang akan menikmati pekerjaannya meski dengan tekanan tinggi. Ia sudah menemukan cara terbaik bagaimana mengatasi tekanan tinggi itu dengan mudah, gampang. Artinya, ia akan fokus. Ini masuk tahap Self Fokus (SF).
Meski demikian, SF tidak bisa terus menerus berjalan seiring dengan usia. Seseorang yang bekerja dengan posisi tertentu, misalnya, sebagai Cleaning Service, suatu saat ia akan timbul keinginan untuk naik level.
“Gak bisa kerja begini terus. Pingin juga naik jenjang sebagai Supervisor, terus Manager, naik gaji juga ya kan,” katanya suatu saat. Dirinya pasti berpikir ingin ada peningkatan, ada perubahan nasib.
Oleh karena itu, pada titik tertentu dirinya akan goyah. Pada tahap ini disebut dengan Feeling in-between (FiB). Ia sadar ada di persimpangan jalan. Sadar perjalanannya seolah tidak memiliki titik ujung. Padahal, secara umur bukan lagi anak muda seperempat abad.
Ketika sudah berhasil melalui tahap FiB, dia akan masuk The Age of Possibilities. Di tahap ini dia akan merasa paham tentang tidak terbatasnya kemungkinan. Paham dan optimis bisa melakukan apapun yang dia mau berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah ia lalui selama puluhan tahun.
Itulah, sekarang ini ada banyak video Reel di media sosial yang berisi cuplikan pesan-pesan bijaksana yang membuat kita belajar, merenung, dan berpikir kembali. Salah satunya, IG @tanyarifandy ini. Katanya begini.
“Orang yang udah usia 40 tahun ke atas, itu udah di fase dimana dia tuh gak mau ribut-ribut lagi, dia gak suka ikut campur urusan orang, dia gak suka berdebat sama orang, apalagi iri sama orang lain, enggak, dia diam bukan berarti gak beripikir, dia mengalah bukan berarti kalah, tapi karena dia tahu yang paling dia butuhkan adalah ketenangan,” kata Rifandy Tambunan.
Semoga bermanfaat.