
Mendiang Dono Warkop DKI dan Skripsinya. Foto: Google
Di awal tahun 2023 ini Skripsi mendiang pak Wahjoe Sardono, atau yang sering dikenal Dono Warkop DKI, viral. Gara-gara dipos salah satu akun media sosial, di saat momen salah satu anak pejabat kaya sedang bermasalah dengan hukum.
Sang anak pejabat ini, ceritanya, pernah sekolah di beberapa sekolah ternama, tapi tidak pernah tuntas. Hal ini lantaran, kabarnya, sering bermasalah dan dikeluarkan oleh sekolahnya.
Sementara itu, Skripsi mendiang pak Dono berjudul Hubungan Status Sosial Ekonomi Keluarga dengan Prestasi Murid di Sekolah. Beliau mengambil Studi Kasus di sebuah SMP Negeri di Desa Delanggu, Klaten, Jawa Tengah. Di desa ini pula ia pernah tinggal semasa kecil bersama keluarga besarnya.
Media menulis, menurut hasil skripsinya itu, mendiang menyimpulkan bahwa pendidikan orangtua yang baik mempunyai pengaruh terhadap pendidikan anak-anaknya. Sebab, di desa itu orangtua yang berpendidikan memiliki harapan terhadap masa depan anak.
Kesimpulan itu diperolehnya setelah melakukan studi di desanya di tahun 1978 ketika ia menyelesaikan Skripsi.
Viralnya Skripsi tersebut dihubungkan dengan si anak pejabat kaya yang tersandung kasus hukum. Kemudian muncul pertanyaan, apakah studi pada skripsi pak Dono itu masih relevan dengan kasus anak pejabat tersebut?
Jawabannya, tentu saja masih relevan. Bagaimanapun juga orangtua yang berpendidikan berharap anak-anaknya juga berpendidikan minimal sama atau di atas pendidikan dirinya.
Sama halnya seperti saya. Saya berharap anak-anak saya, meski dia perempuan, juga memiliki pendidikan dengan jenjang yang minimal sama atau bahkan lebih tinggi daripada saya.
Adanya kasus anak pejabat tersandung kasus hukum seolah menjawab studi tersebut tidak lagi relevan. Pada kenyataannya, dari satu kasus tersebut si anak belum mampu mewujudkan harapan orangtua terhadap masa depannya sendiri.
Saya melihat, hal itu bukan semata soal privilege orangtua dan kemudahan akses pendidikan saja, tetapi juga terkait soal sikap dan perilaku sang anak yang mungkin saja belum dibahas di skripsi tersebut.
Dukungan orang tua juga sangat perlu, tidak hanya dari sisi finansial, tapi dorongan semangat psikologis yang ditunjukkan melalui sikap dan perilaku orangtua kepada anak itu juga sangat penting.
Baru-baru ini seorang pesohor YouTuber muda mengeluarkan pernyataan yang sangat menohok ketika diskusi di podcast Deddy Corbuzier, kemudian viral.
Dia bilang kurang lebih begini, “Sekarang orang b**oh bukan karena nggak dapat akses edukasi, tapi karena mereka malas. B**oh itu karena malas. (padahal, sekarang ini) you have everthing,” katanya.
Pernyataannya itu kemudian diamini oleh Dedy Corbuzier. “Iya betul,” kata Deddy.
Menurut pesohor itu, Internet banyak menyimpan informasi edukasi yang luar biasa berlimpah. Jika seseorang bisa mengambil manfaat dan belajar dari sana, dia akan bisa merubah nasibnya.
“Di HP lu, mau informasi apapun ada. Lu mau jadi programmer. Gue berani jamin nih, siapapun yang nonton ini, mau jadi programmer dengan gaji 20 juta bisa dengan modal Google dan YouTube,” katanya, ringan.
Mendengar itu, saya agak ragu ikut mengamini. Gak bisa semua digebyah uyah masbro. Memang sih, di tempat saya tinggal ini, kota penyangga IKN, kekuatan akses Internet tak terbatas sudah hampir bukan menjadi masalah.
Teman-teman saya bahkan saat ini menjalani S3 luar negeri cukup dari rumahnya, tidak perlu pergi ke kampusnya. Mereka bisa ikut seminar Internasional, seminar kolokium, bimbingan, semua cukup daring. Bahkan, beberapa perguruan tinggi ternama dari Amerika, Inggris, Australia, kabarnya akan segera membuka kelas S2 dan S3 di sini.
Dengan Internet, dunia seperti tidak memiliki batasan wilayah. Tampaknya pernyataan The World is Flat itu akan mendekati kebenaran. Secara bertahap, ke depan semua daerah akan memiliki akses yang sama dengan Jakarta dan kota-kota metropolitan lainnya di Indonesia.
Dari sini saya mulai memahami, sepertinya betul apa yang dikatakan pesohor YouTuber itu jika kondisi infrastruktur daerah cukup mendukung.
Dengan infrastruktur seperti saat ini, harusnya mereka – kalau yang dimaksud adalah mahasiswa di kota ini – mampu mengerjakan tugas, ujian, bahkan sekadar klik presensi daring lewat genggaman tangannya yang tak butuh waktu lebih dari 5 menit!
Tapi kenapa itu tidak dilakukan? Membaca pun tidak? Alasannya selalu sibuk kerja, sepertinya 24 jam kerja, tapi di depan bosnya bilang sibuk kuliah. Itu cuma alasan saja, bukan?
Kan bisa minta dosennya ubah nilai. Kalau perlu merengek dan mengiba agar dikasihani dan diberikan keringanan tugas susulan agar cepat lulus. “Saya cuma tanya kok, boleh apa enggak,” begitu katanya, terkekeh.
Ya, bisa jadi betul banget kata pesohor itu, mereka malas, procrastinator atau orang yang suka menunda-nunda pekerjaan, tidak respek atau meremehkan, atau bahkan tidak bisa menjadikan prioritas utama yang wajib diselesaikan tepat pada tempat dan waktunya.
Terus terang, saya sendiri juga punya rasa malas, kadang bisa kambuh, bisa pula menjadi tidak respek pada orang lain yang juga tidak respek. Tapi tentu saja saya juga harus bangkit dan berubah, segera menyadari bahwa ini adalah kesalahan.

Ketika saya menulis ini, saya terkagum-kagum dengan ibu-ibu yang berhasil wisuda program Doktoral UGM ini. Berhasil menyelesaikan studi S3-nya di tengah pekerjaan dan urusan keluarganya, bahkan memperoleh IPK 4. Wow… super sekali.
Saya akui ini berat sekali. Sulit rasanya membagi semua urusan itu diselesaikan dalam satu waktu sekaligus, kecuali memang sudah menyadari dengan sepenuh hati dan bertanggung jawab menyelesaikannya. Tak ada keluh kesah.
Mungkin benar apa kata dr Aisyah Dahlan, wanita itu bisa bekerja lebih dari satu dalam satu waktu atau Multitasking. Alasannya, karena corpus collosum atau serabut otak wanita lebih tebal dibanding pria. Otak kiri dan kanan wanita tersambung lebih banyak.
Tetapi, ia mengingatkan kelebihan ini memiliki efek samping, yakni tidak sinkron antara perkataan dengan perbuatan. Misalnya, jika wanita bilang ke kanan, tapi tangannya menunjuk ke kiri. Paling viral adalah sein kanan, belok kiri. Hati-hati ya ibu-ibu.